Mohon tunggu...
Elisabeth Murni
Elisabeth Murni Mohon Tunggu... Editor - dream - journey - discover

Ngeblog di RanselHitam.Com, berkolaborasi di Maioloo.Com, masak-masak di kitabrasa, jualan wedang rempah budhe sumar. Menerima jasa edit dan tulis ini itu.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Untaian Rindu dalam Sepiring Sushi

19 Agustus 2017   21:12 Diperbarui: 24 Agustus 2017   13:12 1347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Potongan sushi berbentuk segitiga berbaris rapi di atas piring datar berwarna putih. Namun kali ini ada yang berbeda. Saya tidak menjumpai tobiko (telur ikan terbang) berwarna oranye cerah tersusun di atasnya. Sebagai ganti tobiko, saya justru menjumpai taburan bubuk cabai berwarna merah yang menyebar hingga ke pinggiran piring. Penasaran, saya pun mengambil potongan sushi dan memasukkannya ke dalam mulut. Sembari mengunyah hot tuna sushi, pikiran dan perasaan saya campur aduk. Deretan kenangan berkelebat di angan layaknya gulungan roll film. Mendadak saya dilanda rindu.

Pernahkah kamu merasakan rindu yang sedemikian hebatnya? Rindu yang terus membayangi tiap gerak dan hadir dalam tiap tarikan nafas. Rindu yang terasa begitu menyiksa namun di sisi lain juga menghadirkan mimpi dan harapan. Rindu yang membuat kita terus berjuang untuk mewujudkannya.

Saya pernah mengalami rindu semacam itu. Namun bukan rindu pada seseorang, melainkan rindu pada suatu tempat. Ternyata saya tidak sendirian. Seminggu yang lalu saya jumpa seseorang yang pernah dilanda rindu demikian hebat, lantas dia merajut mimpi untuk menutaskan rindu tersebut. Sosok tersebut adalah David Cahyanto, pemilik Nagoya Fusion.

Mendapatkan beasiswa kuliah di Nagoya, Jepang, beberapa tahun silam, menjadikannya semakin mencintai kuliner Jepang. Tampilannya yang cantik serta cita rasanya yang teramat unik menjadi dua dari sekian banyak alasan yang membuatnya jatuh cinta. Lidahnya menjadi hafal dan terbiasa menikmati kuliner Jepang dengan langgam Nagoya.

Selepas studi, David kembali ke Indonesia. Meski sudah berada di tanah air, ternyata dirinya kerap terkenang dengan aneka hidangan asli Jepang. Sayangnya, mencari restoran Jepang di Jogja pada masa itu terbilang sulit. Jika ada, harganya dibanderol cukup mahal. Berhubung memiliki ibu yang pandai memasak, David memilih untuk bereksperimen membuat aneka olahan hidangan khas Jepang. Tak berhenti sampai di situ, berawal dari rindu dia menjadikannya sebagai bahan bakar untuk menciptakan mimpi baru, yakni membuka resto khusus makanan Jepang bertajuk Nagoya Fusion.

japan-lagi-599846f3b684834dcc79a042.jpg
japan-lagi-599846f3b684834dcc79a042.jpg
Tak tanggung-tanggung, dia juga membuka sistem kemitraan dengan orang-orang yang ingin membuka restoran Jepang namun masih bingung bagaimana memulainya. Dengan sistem kemitraan, David akan menjadi mentor bagi pemilik modal dan mendampingi mereka membuat restoran Jepang hingga berdiri. Berbeda dengan sistem kemitraan lain, David tidak meminta royalti kepada pemilik modal dan tidak memaksa mereka membeli bahan makanan di tempat David.

Nagoya Fusion, Kompromi Rasa Untuk Lidah Indonesia

Beralamat di Jalan Dr. Sardjito no 11, Nagoya Fusion menawarkan aneka kuliner Jepang yang sudah disesuaikan dengan lidah lokal. Sesuai namanya, fusion, restoran ini memadukan citarasa dua negara tanpa menghilangkan rasa asli. Oleh karena itu meski bertajuk resto makanan Jepang, menu-menu di Nagoya Resto bisa dinikmati semua orang bahkan bagi orang yang baru pertama kali mencicipi kuliner Negeri Matahari Terbit.

Seperti sore itu, saya dan beberapa kawan sudah mengisi deretan kursi kosong yang ada di Nagoya Resto. Di banding deretan resto yang menyajikan Japanese food di Jogja, ukuran Nagoya Resto boleh jadi sempit dan tidak terlalu fancy. Tak ada ornamen khas Jepang yang ramai dan instagramable. Satu-satunya interior yang bisa dijadikan penanda restoran Jepang hanyalah mural di dinding berupa kuil berlatar Gunung Fuji serta logo Nagoya Resto berwarna merah cerah. Dalam benak saya membatin, mungkin resto ini lebih mengedepankan rasa daripada ornamen semata. Sebab bukankah yang dinilai dari sebuah tempat makan adalah kenikmatan rasa dan bukan keindahan interiornya? Saya pun mendapatkan jawab dari pertanyaan ini tanpa menunggu lama.

nagoyasai-5998aa8b1774da5f1043b892.jpg
nagoyasai-5998aa8b1774da5f1043b892.jpg
Tak berapa lama menanti, pegawai resto yang memakai pakaian berwarna merah hitam ala Naruto mendatangi meja sambil membawa mangkuk besar berisikan ramen. Saat saya masih takjub melihat ukurannya yang jumbo, menu-menu lain terus berdatangan susul-menyusul. Ada sushi, udon, katsu, dan lain-lain. Tak lupa juga deretan gelas-gelas tinggi berisi es ocha.

Setelah puas mengambil gambar, kami pun mulai mencicipi satu demi satu menu yang tersaji. Ternyata benar, semua menu sudah disesuaikan dengan lidah lokal. Lidah saya tidak terkejut dengan perpaduan bumbunya, justru sangat menikmati dan ingin nambah terus. Apalagi saat menggigit potongan sushi. Perpaduan tuna, alpukat, nori, dan bumbu lainnya terasa pas di lidah. Tidak ada rasa amis ikan mentah, karena semua ikan sudah dimasak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun