Mohon tunggu...
Elisabeth Murni
Elisabeth Murni Mohon Tunggu... Editor - dream - journey - discover

Ngeblog di RanselHitam.Com, berkolaborasi di Maioloo.Com, masak-masak di kitabrasa, jualan wedang rempah budhe sumar. Menerima jasa edit dan tulis ini itu.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

[Horor Koplak] Mbak Enggak Cantik Penunggu Studio Musik

12 Januari 2017   22:43 Diperbarui: 12 Januari 2017   22:57 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meski tampilan preman gini sebenarnya saya ini penakut. Karena itu saya nggak pernah mau diajakin nonton film horor. Mau dibayarin pun saya ogah. Daripada nggak berani pergi ke kamar mandi sendiri malam-malam, masak iya mau ngompol. Ntar saingan sama anak saya dong.

Berlawanan dengan saya yang penakut, bapak saya justru sangat pemberani. Beliau satu-satunya orang di kampung yang berani keluar masuk kuburan jam 1 malam. Bukan buat cari wangsit sih, cuma biar menang duit taruhan “siapa paling berani” dari orang-orang yang ronda. Beliau juga yang iseng gangguin orang-orang yang sedang “cari ilmu” dengan cara mandi di pertemuan dua anak sungai dekat rumah kami pukul 3 dinihari. Gara-gara bapak keluar sambil pakai sprei putih dan jalan di bantaran sungai, akhirnya orang-orang tersebut ketakutan dan nggak pernah berendam malam-malam lagi. Parah emang bapak ahahaha #ampunpak #anakkualat.

Bapak selalu bilang gini “Hantu itu nggak perlu kamu takutkan, nduk! Kamu justru harus hati-hati dengan manusia,” sebagai anak yang baik saya cuma manggut-manggut aja. “Nggih, pak”.

Sebelum saya ketemu hantu beneran, saya masih percaya kata-kata bapak. Tapi saat saya lihat dengan mata kepala sendiri ya ngewel, untung nggak sampai ngompol dicelana. Kisah ini saya alami sekitar April 2007, pertama kalinya saya lihat mahluk halus dan berharap itu juga pengalaman yang terakhir.

Jadi ceritanya gini ....

Jeng jeng jeng..... (background musik yang biasa ada di film-film horor)

Pertengahan bulan Februari 2007 saya diterima kerja partime di sebuah studio music dan recording di dekat Pasar Demangan, Jalan Gejayan Jogja. Sebut saja nama studio tersebut Bunga (bukan nama sebenarnya). Selain biar dapat duit jajan tambahan, alasan saya kerja partime adalah untuk mengobati hati yang gulana akibat LDRan Jogja-Aceh sama mas pacar yang belum lama jadian #halah. Daripada menggalau di kos kan mending energinya dipakai buat kerja ye kan?

Hari-hari awal kerja semuanya berjalan baik-baik saja. Saya selalu ngambil shift sore, mulai pukul 16.00 – 22.30 WIB. Kerjaan saya sebenarnya enak, cuma ngurusin orang rekaman, booking studio buat latihan, atau ngatur jadwal anak-anak yang les musik. Nanti kalau jam kerja selesai saya beres-beres studio, matiin semua alat musik, kunci pintu, capcus pulang.

Biasanya saya pulang jalan kaki menyusuri jalan Gejayan sampai Karangmalang. Kalau jalannya cepet 20 menit bisa sampai kos-kosan, tapi kalau lagi capek sampai rumah bisa jam 11 malam lebih. Kalau dipikir sekarang saya merasa keren dan pemberani banget lho. Cewek, malam-malam jalan sendirian lewat samping kuburan dan kampus yang sepi pulak. Sasha memang jagoan #hiakdess #dibalangsandalberjamaah.

Memasuki bulan kedua kerja dan sudah akrab dengan orang-orang yang sering datang ke studio saya beberapa kali mendapat kalimat “Wah mbak Sash berani ya disini sendirian sampai malam,” atau “Mbak nggak pernah diganggu ya?”. Penasaran dengan maksud pertanyaan-pertanyaan tersebut akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya kepada Mas Yugo yang biasa jadi sound enginering saat ada band yang rekaman. Dia cuma ketawa-ketawa tanpa mau menjawab.

Hingga akhirnya pada suatu malam sekitar pukul 21.00 WIB. Saat itu studio sedang kosong karena tidak ada jadwal latihan maupun band yang rekaman. Saya sibuk mengerjakan tugas kuliah sambil terkantuk-kantuk di meja resepsionis. Sedangkan Mas Yugo terlihat serius mengedit hasil recording. Selain kami berdua di area studio, ada dua orang asisten rumah tangga yang tinggal di rumah utama sang pemilik  (studio menempati bangunan depan rumah).

Di tengah malam yang hening mendadak terdengar teriakan Mas Yugo “Sash jangan iseng dong!”. Saya yang nyaris terlelap di tumpukan buku pun sontak kaget dan langsung menghampiri Mas Yugo “Siapa yang iseng mas?”

“Kamu kan yang ngelemparin pulpen ke aku? Bikin kaget tau”

“Hah? Enggak! Dari tadi aku duduk di kursi ya. Aku ngerjain tugas dan nyaris ketiduran,”

“Beneran bukan kamu?” tanyanya menyelidik

“Bukaaaan”

“Oh yawes nek gitu. Lanjutin aja kerjaanmu.” Mas Yugo pun kembali ke ruangannya meninggalkan saya yang penasaran.

Beberapa hari kemudian hal yang sama terulang lagi. Saat sedang memasang senar gitar yang putus Mas Yugo teriak “Duh jangan iseng dong! Sakit nih!” rupanya ada stick drum yang terlempar ke arahnya. Padahal ditempat itu nggak ada siapa pun selain saya. Dan saya jelas nggak mungkin melempar stick drum tersebut.

Penasaran dengan semua keanehan yang terjadi saya pun bertanya sekali lagi. Dan kali ini Mas Yugo menjawab “Iya Sash. Jadi disini tuh ada yang nunggu. Cewek. Kalau aku lagi lembur malam-malam dia sering jalan bolak-balik tapi nggak pernah ganggu. Cuma akhir-akhir ini aja kok jadi sering ada yang lempar-lempar. Mungkin warga baru. Kamu nggak usah takut. Kalau suatu saat kamu dilihatin itu tandanya dia pengen kenalan sama kamu,” katanya.

Dem, dem, dem. Mendengar penjelasan Mas Yugo saya langsung jiper. Ternyata oh ternyata di studio ini ada penunggunya. Pantesan kok suasananya terkesan misterius. Apalagi ruang les yang ada di lantai dua, kesannya benar-benar dingin. Bulu kuduk saya selalu meremang tiap masuk ke ruangan tersebut. Tapi bener kata Mas Yugo, selama saya nggak digangguin mah woles aja.

Namun rupanya ketenangan saya tidak berlangsung lama. Tidak sampai dua minggu dari kejadian Mas Yugo dilempar stick drum, saya mengalami malam yang tak mungkin terlupakan.

Malam itu berjalan sangat lambat. Sejak dimulainya shift saya pukul 4 sore, hanya ada 2 sesi pemakaian studia selama 2 jam. Jam 8 ke atas ruangan kosong karena tidak ada yang memakai. Suasana begitu sepi, apalagi gerimis sempat singgah sejenak. Saya yakin sampai jam 22.30 nanti nggak bakal ada yang menyewa studio. Dan tebakan saya tepat.

Setelelah nyaris kaku dilanda bosan, akhirnya jam di ponsel menunjukkan pukul 22.00 WIB. Saya pun mulai membereskan studio latihan, mematikan semua ampli dan juga AC. Setelah ruang studio beres saya mulai memberesi meja saya dan mematikan komputer.

Sebenarnya semua hal ini merupakan pekerjaan saya sehari-hari. Namun entah kenapa malam itu saya merasakan ada hal yang berbeda. Saya merasa sedikit takut. Apalagi dari tadi anjing pemilik rumah kerap melolong. Kata beberapa kawan, anjing itu memiliki kemampuan untuk melihat hal-hal tak kasat mata. Jika ada anjing yang melolong di malam hari itu bisa menjadi pertanda keberadaan mahluk halus.

“Ah sial, kenapa saya harus ingat hal-hal semacam ini, bikin tambah takut saja!” desis saya dalam hati. Sambil bolak-balik melihat jam saya terus berusaha menenangkan diri dengan merapal mantra “Tenang Sash, nggak ada apapun. Jangan takut!”.

Begitu jam 22.30 tepat saya langsung meraih kunci dan berjalan cepat keluar ruangan. Saya ingin cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Saat lewat di samping tangga saya merasakan ada sesuatu. Ada kelebat bayangan seperti orang duduk di anak tangga. Aslinya saya penasaran, tapi saya memilih untuk terus melangkah tanpa toleh kiri kanan.

Sampai di luar mau tak mau saya harus berbalik arah guna mengunci pintu. Awalnya saya tetap menundukkan kepala dan fokus pada gembok. Namun entah kenapa tiba-tiba saya mendongak dan memandang anak tangga. Pada anak tangga keempat saya melihat ada sosok berambut panjang yang sedang duduk sambil menundukkan kepala.

Saat itu pula saya langsung merasa lemas dan gemetaran dengan hebat. Saya lari kencang ke Jalan Gejayan tanpa sempat mengunci studio. Untunglah di jalan saya bertemu dengan salah satu asisten si bos yang hendak mampir ke rumah. Melihat saya yang gemetaran, pucat, dan ketakutan dia langsung senyum sambil berujar “Abis lihat mbaknya ya?” siaaaaaal. Rupanya semua orang sudah tahu keberadaan “mbaknya”.

Dengan singkat saya pun cerita kejadian yang baru saja saya alami. Dia pun akhirnya mengajak saya untuk kembali guna mengunci studio. Dan sebelum dikunci dia membuka pintu sekali lagi untuk melihat kondisi di dalam. Kalian tahu apa yang dia katakan “Iya Sash, mbaknya masih duduk di tangga!”...

Gara-gara kejadian itu akhirnya saya pun memutuskan untuk resign dari studio music tersebut. Nyali saya terlalu ciut untuk menghadapi “mbak-mbak” yang katanya pengen kenalan sama saya. Mungkin kalo yang pengen kenalan itu mas-mas ganteng saya pertimbangkan deh!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun