Mohon tunggu...
Elisabeth Murni
Elisabeth Murni Mohon Tunggu... Editor - dream - journey - discover

Ngeblog di RanselHitam.Com, berkolaborasi di Maioloo.Com, masak-masak di kitabrasa, jualan wedang rempah budhe sumar. Menerima jasa edit dan tulis ini itu.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Saat Si Gembel Diruwat*

13 Juli 2011   08:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:42 846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_122507" align="aligncenter" width="640" caption="Menunggu Giliran Jamasan (Sash"][/caption] Hari beranjak siang saat rombongan besar arak-arakan melintas satu persatu. Meski mentari menampakkan diri dan bersinar dengan terang, semua orang yang berdiri di sepanjang jalan tetap memakai jaket tebal atau minimal berlilitkan syal dan topi kupluk. Udara dingin dan angin yang bertiup cukup kencang terasa lebih kuat dibandingkan dengan sinar matahari yang hangat. Saya pun turut berdesak-desakan dengan masyarakat yang ingin menyaksikan ritual pemotongan rambut gimbal atau yang dalam bahasa lokal lebih jamak disebut sebagai rambut gembel. Ritual pemotongan rambut gembel ini merupakan puncak acara dari perayaan Dieng Cultural Festival yang dilangsungkan setahun sekali. Selain pemotongan rambut anak gembel, DCF yang dilangsungkan pada tanggal 1-3 Juli ini juga menampilkan aneka pertunjukan seni tradisi seperti tek-tek, tarian topeng, warok, hingga pagelaran wayang. Berhubung saya sampai di Dieng hari Sabtu (2/7) sore, maka saya tidak sempat menyaksikan pertunjukan kesenian tersebut kecuali pertunjukan wayang di tengah kabut pekat dan saya pun hanya bertahan sekitar 30 menit karena tidak kuat menahan hawa dingin. Setelah arak-arakan melintas dan melanjutkan perjalanan ke Masjid Dieng Wetan untuk menemui rombongan kirab dari desa lain, saya pun bergegas pindah posisi menuju Sendang Sedayu atau Sendang Maerokoco yang terletak di utara Darmasala Kompleks Candi Arjuna. Di sendang ini nantinya 8 anak gembel akan dijamas oleh ketua adat menggunakan kembang tujuh rupa yang diambil dari Tuk Bimalukar, Tuk Sendang Buana, Tuk Kencen, Tuk Goa Sumur, Kali Pepek, dan Tuk Sibido. Setelah dijamas, anak-anak gimbal yang berikatkan kain kafan dikepalanya dikirab menuju Kompleks Candi Arjuna untuk dicukur. Anak-anak berambut gembel ini tidak disebabkan faktor keturunan, melainkan biasa tumbuh alami pada anak-anak di dataran tinggi Dieng. Sebelum rambut mereka berubah gembel, biasanya mereka akan mengalami demam tinggi disertai mengingau. Sakit ini tidak bisa diobati hingga akhirnya akan sembuh sendiri, dan saat sudah sembuh rambut sang anak akan menjadi kusut dan menyatu. Menurut kepercayaan mereka rambut tersebut tidak boleh dipotong sebelum sang anak memintanya sendiri. Jika orang tua tetap nekat memotong rambut gembel tersebut, maka akan tumbuh lagi terus menerus. Ketika bocah gimbal sudah meminta untuk dipotong rambutnya maka dilakukanlah ruwatan. Sebelum dipotong, bocah tersebut boleh mengajukan permintaan apapun dan wajib di turuti oleh orang tua. Seperti yang terlihat pada hari itu, pelataran candi arjuna dipenuhi oleh berbagai barang, mulai dari sepeda mini merah muda, kambing, ayam, anting-anting emas, baju, hingga barang-barang yang terliha “aneh” seperti ratusan tempe mentah, ratusan tahu goreng,  hingga berkeranjang-keranjang ikan asin. Semua barang-barang tersebut merupakan permintaan bocah gembel yang hendak diruwat. Setelah semua rambut anak gembel dipotong oleh ketua adat, rambut tersebut kemudian dilarung di Telaga Warna. [caption id="attachment_122491" align="aligncenter" width="448" caption="Prosesi Pemotongan di depan Candi (sash"]

1310544610768890731
1310544610768890731
[/caption] [caption id="attachment_122492" align="aligncenter" width="448" caption="Bocah Gimbal (Sash"]
13105446541186252513
13105446541186252513
[/caption]

*) sebuah reportase yang amat sangat terlambat dari Dieng Culture Festival ;))

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun