Awan kelabu menggelantung di sebelah utara. Pelan namun pasti, gumpalan hitam itu begerak ke selatan, ke tempat saya berdiri. Semoga tidak hujan, doa saya dalam hati. Suasana di sekitar saya semakin ramai. Orang-orang terus berdatangan, besar, kecil, laki-laki, perempuan, anak-anak hingga orang dewasa. Semua tumplek blek di jalanan. Berbaur menjadi satu. Teriakan anak-anak berbaur dengan suara penjual mainan yang menjajajakan dagangannya, ditambah bunyi klakson mobil dan gamelan kaset, suasana bertambah riuh. Sudah satu jam saya berdiri, dan yang saya tunggu belum juga muncul. "Waduh saya ndak tau mbak, tadi si denger-denger sudah sampai di pasar Ambarketawang. Kalo biasanya jam segini sudah lewat," jawab seorang ibu atas pertanyaanku perihal gerbong kirab yang belum juga muncul. "Mbak baru pertama liat ya?" wanita paruh baya itu ganti bertanya. "Uhm, inggih bu," jawab saya sambil mengangguk. Pundak saya sudah pegal, dari tadi menggendong ransel yang cukup berat. Tiba-tiba saya menyesal, kenapa tadi tidak mengikuti anjuran kawan untuk menitipkan ransel di rumahnya. "Ranselmu tinggal aja, cukup bawa kamera," kata kawan saya tadi, tapi saya ngeyel. Merasa ada yang kurang jika tidak menyandang ransel. Dan inilah akibatnya. Saya terbebani dengan ransel yang berisi barang-barang tidak penting selain kamera dan botol minuman. Untungnya tak berapa lama yang saya tunggu muncul. Kirab pengantin Bekakak mulai terlihat di ujung jalan. Kerumunan di pinggir jalan semakin merapat, semua berdesakan ke depan. Para ibu mengandeng anaknya dan medekap erat-erat supaya tidak hilang di keramaian, sedangkan si anak meronta, mereka berusaha melepaskan diri, kemudian berlari mendekati peserta kirab. Saya bersiap, tak ingin ketinggalan peristiwa. Satu persatu peserta kirab lewat di depan saya. Mulai dari ogoh-ogoh, peleton inti, prajurit bregodo dari berbagai kesatuan, perangkat desa, komunitas jatilan, kereta kuda, anak-anak gendrewo, serta pengantin bekakak dan segenap ubo rampenya. Di tengah riuhnya suasana dan kilatan blizt hujan turun. Orang-orang mengeluarkan payung, mantel, dan apapun yang bisa digunakan untuk melindungi diri dari sebuan rintik hujan. Saya tetap bertahan. Peserta kirab terus berjalan, tak peduli hujan. Mereka tersenyum. Anak-anak gendrewo tak lagi berwarna hitam, semuanya luntur bersama air hujan. Mereka tertawa. Tujuan mereka satu. Membawa pasangan pengantin bekakak ke Gunung Gamping untuk dipersembahkan kepada 'penunggu' Gunung Gamping. Supaya tidak ada lagi orang yang bernasib sama dengan Ki Wirosuto, meninggal dibawah reruntuhan gunung. Menjelang senja arak-arakan sampai di Gunung Gamping. Pengantin bekakak di angkat menuju altar. Di tengah rintik hujan pasangan pengantin di sembelih. Ritual pengorbanan tuntas sudah. Darah yang tercecer ke tanah menjadi penanda bahwa tak perlu lagi ada orang yang menjadi korban di Gunung Gamping tahun ini. Di bawah altar orang-orang berebut gunungan. Entah sekedar ikut-ikutan atau memang berniat mengalap berkah. Saya melihat sepintas, meringsek di tengah kerumunan, kemudian bergegas pulang.
Hujan turun dan segalanya menjadi basah. Selain itu tiada yang berubah. Bangunan basah dan berkilat-kilat. Aspal basah dan berkilat-kilat. Pepohonan menjadi basah dan menetesneteskan air. Angin melemparkan curah hujan ke segala arah. Semua orang basah kuyup. Semua orang tetap menonton karnaval. (Karnaval, Seno Gumira Ajidarma)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H