[caption id="attachment_83585" align="aligncenter" width="512" caption="Pemasangan Patung Nasi Bungkus (Sash"][/caption]
Terinspirasi dari gerakan nasi bungkus yang dicetuskan oleh entah siapa pada saat terjadi erupsi Merapi tahun lalu, seniman Yogya Budi Ubruk menciptakan sebuah instalasi seni berbentuk patung nasi bungkus, lengkap dengan biting (lidi), daun pisang, dan Koran pembungkusnya. Patung berukuran raksasa itu ditempatkan di depan Monumen SO 1 Maret atau Kawasan Titik Nol Yogyakarta.
Seperti yang kita ketahui bersama, setelah terjadi erupsi merapi pagi harinya muncul himbauan baik melalui sms maupun jejaring sosial supaya masing-masing keluarga membuat nasi bungkus untuk didistribusikan bagi korban Merapi di barak-barak pengungsian. Dalam hitungan jam, ribuan nasi bungkus berdatangan ke lokasi barak-barak pengungsian. Hal ini tidak hanya terjadi sekali dua kali, namun berhari-hari bahkan berminggu-minggu hingga kondisi Merapi kembali normal.
Gerakan nasi bungkus ini juga pernah dilakukan oleh warga Yogyakarta pada saat terjadinya gempa bumi 2006. Saat itu masyarakat Yogya yang tidak terkena dampak gempa berduyun-duyun membuat dapur umum dan mengirimkan nasi bungkus kepada warga lain di wilayah bencana. Semangat gugur gunung dan kegotongroyongan inilah yang mengawali pembuatan patung nasi bungkus.
Menurut Ong Hari Wahyu selaku pelopor kegiatan, nasi bungkus merupakan spirit masyarakat Jogja. Melalui nasi bungkus kita akan melihat begitu besarnya rasa kebersamaan dan kegotongroyongan warga Jogja. Satu kabupaten terkena bencana, kabupaten yang lain langsung bersatupadu membantu meringankan beban tanpa mengharapkan imbalan. Tidak hanya warga ‘kaya’ yang bisa membantu, warga kelas menengah kebawah pun bisa membantu sesamanya dengan membuat satu atau dua bungkus nasi. “Hal inilah yang membuat Jogaj tetap dan selalu istimewa,” tegasnya.
Nasi bungkus merupakan simbol pemersatu warga Yogyakarta, simbol guyub rukun warga. Tak ada perbedaan dalam nasi bungkus. Hery Zudianto selaku Walikota Yogyakarta mengungkapkan bahwa nasi bungkus entah dimakan oleh siapapun ya bentuknya tetap seperti itu. Dibungkus koran/kertas bekas dan daun, serta dijepit menggunakan biting (lidi). Tak peduli dimakan pejabat atau rakyat. Nasi bungkus manjadi penanda spirit kebersamaan, spirit persatuan, spirit gugur gunung yang harus terus dipupuk dan dibina di tengah arus budaya global dan hedon.
Sebelum patung ini diresmikan oleh Walikota pada Jumat (7/1) kemarin, patung ini dikirab dari Taman Budaya Yogyakarta menuju Kawasan Titik Nol. Kirab diikuti oleh duplikasi bregodo prajurit Lombok abang, seniman jogja yang mengenakan batik dan surjan, serta mbok-mbok gendong Pasar Beringharjo yang mengendong nasi bungkus dan membagikan kepada warga yang mneyaksikan acara ini. Tak selang lama setelah proses peresmian usai, warga pun nampak antusias untuk berfoto dengan latar patung nasi bungkus.
[caption id="attachment_83586" align="aligncenter" width="512" caption="Duplikasi Bregodo Lombok Abang Berpose Sebelum Kirab Dimulai (Sash"]
Note: Catatan tentang gerakan nasi bungkus yang ditulis oleh mas Robjanuar bisa dibaca disini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H