Mohon tunggu...
Elisabeth Murni
Elisabeth Murni Mohon Tunggu... Editor - dream - journey - discover

Ngeblog di RanselHitam.Com, berkolaborasi di Maioloo.Com, masak-masak di kitabrasa, jualan wedang rempah budhe sumar. Menerima jasa edit dan tulis ini itu.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kisah Panji #2

3 Oktober 2010   15:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:45 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Saya pikir saya sudah sembuh. Saat menyadari bahwa saya tak lagi membaca semua berita yang dia tulis guna mengetahui seharian kemarin dia berada dimana dan kira-kira bersama siapa saja.

Saya pikir saya sudah sembuh. Saat saya menyadari bahwa saya tak lagi membuka profil facebooknya tiap hari guna melihat foto terbaru dirinya yang di tag oleh rekan-rekan kerjanya.

Saya pikir saya sudah sembuh. Saat saya menyadari bahwa saya sudah tidak lagi terganggu dan merindukannya saat mendengarkan lagu-lagu yang menjadi kesukaannya, dan lagu yang seringkali dia lantunkan untuk saya.

Saya pikir saya sudah sembuh. Saat saya tidak lagi gelisah di tiap malam menunggu sms yang tak kunjung datang darinya, meski hanya dua potong kata “sudah tidur?” ataupun kalimat panjang “aku belum sampai rumah, ada acara mendadak. Maaf tadi gak sempat ngajakin kamu”.

Saya pikir saya sudah sembuh. Saat saya tak lagi kecewa dengan jawaban ‘tidak’ darinya, menggantikan semua jawaban ‘iya’ seperti tahun-tahun yang lalu tiap kali saya ingin bertemu dengannya untuk membicarakan hal-hal penting atau sekadar berbagi kisah dan gelisah ditemani coklat hangat dan cahaya kunang-kunang.

Saya pikir saya sudah sembuh. Saat saya dengan berat hati bisa menerima sikapnya yang jauh berubah tanpa saya berhak tau kenapa. Tak ada lagi pesan pendek di dini hari. Tidak ada lagi senyuman yang tersungging. Tidak ada lagi kekhawatiran yang berlebihan. Tidak ada lagi lagu untuk saya. Tidak ada lagi tepukan kecil dikepala. Tidak ada lagi cerita tentang hari-harinya. Tidak ada lagi pokok-pokok doa yang dibagikan.

Saya pikir saya sudah sembuh. Saat saya menyadari bahwa sedikit demi sedikit saya sudah bisa menerima kenyataan jika dia memang seharusnya tidak perlu ada dalam kehidupan saya. Saya harus melupakannya. Sebelum semua saling menyakiti dan tersakiti.

Setelah sekian lama mencoba bertarung melawan hati dan perasaan, mencoba membangun pertahanan sekuat mungkin, mencoba membentengi diri dengan menutup semua jalur yang akan menghubungkan saya padanya, tiba-tiba saya melihat bayangannya berkelebat melalui celah-celah sempit yang seharusnya tidak terlihat oleh saya.

Saya pikir saya sudah sembuh. Namun kali ini nampaknya saya salah. Masih ada sesuatu yang berdesir lirih disini saat saya melihatnya. Masih ada bekas luka yang kembali perih. Masih ada gulungan kisah yang kembali berputar seperti layar tancap di benak. Masih ada sedih yang tertahan di dasar hati. Masih ada butiran yang menggenang di pelupuk mata. Masih ada secuil harapan tentang kemungkinan semua kembali lagi seperti semula.

Ternyata saya tidak sekuat yang saya kira. Teryata saya belum sembuh. Ternyata saya tak mampu melupakannya. Ternyata saya ingin tetap bersamanya.

Inu Kertapati, saya mencintaimu. sangat!

Prabu Jenggala, maafkan ananda.

Galuh Candra Kirana

----------------------------------

Ini bukan cerita bersambung. Namun, jika Anda ingin membaca yang sebelumnya silahkan klik disini ataubisa juga klik yang ini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun