Mohon tunggu...
Sofian Munawar
Sofian Munawar Mohon Tunggu... Editor - PENDIRI Ruang Baca Komunitas

"Membaca, Menulis, Membagi" Salam Literasi !

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Review Buku: "Masalah Agraria dan Kemakmuran Rakyat Indonesia"

10 November 2011   13:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:50 3261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_249568" align="alignleft" width="300" caption="sumber: google image"][/caption]

Pendahuluan

Masalah agraria dengan segala dinamika dan problematikanya seringkali masih dipandang sebagai “rimba-belantara” bagi sebagian besar warga bangsa kita. Hal ini bukan saja karena masih terbatasnya sumber referensi di bidang ini, tapi juga kerena ada semacam ‘disain’ tertentu dimana persolan agraria seperti sengaja ditutup-tutupi, bahkan dipersulit untuk mewacanakannya seperti terjadi pada masa kolonial hingga masa Orde Baru.

Menurut Sadikin Gani (2006) sepanjang sejarah kekuasaan formal Orde Baru, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang secara hakiki bertujuan mewujudkan keseimbangan distribusi penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria untuk mencapai keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia didiskreditkan dan didelegitimasikan sebagai produk PKI. Padahal, jika ditelusuri secara jernih ide-ide pokok yang mendasarinya, dan sejarah pembentukkannya, UUPA 1960 merupakan kebijakan nasional yang lahir dari kesepakatan semua unsur kekuatan politik yang hidup waktu itu, baik itu golongan nasionalis, Islam, sosialis maupun komunis. Masalah ketimpangan dan konflik agraria yang terus mengemuka hingga kini merupakan warisan dari serangkaian politik agraria yang pernah diterapkan di Indonesia sejak jaman penjajahan hingga Indonesia merdeka di bawah Orde Baru. Ketika Orde Baru berkuasa, rezim yang mengklaim dirinya sebagai antitesis Orde Lama ini menerapkan strategi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, di mana investasi modal menjadi motor penggerak utamanya. Pondasi ideologi populis yang dipancangkan pemerintahan Sukarno dibongkar dan diganti dengan gagasan-gagasan kapitalisme. Implikasinya, segala upaya yang telah dirintis pemerintahan Sukarno untuk meletakkan reforma agraria sebagai basis pembangunan tidak diberi ruang hidup.

Bahkan, ketika angin reformasi mengantarkan kita ke arah transisi demokrasi pun, kita seolah masih terstigmatisasi untuk tidak begitu mewacanakan persoalan agraria secara massif. Tak heran jika kemudian persoalan agrarian seringkali masih dipandang sebelah mata. Masalah agraria bukan menjadi persoalan fundamental yang urgen sehingga banyak pihak –termasuk dan terutama para pengambil kebijakan– melihat dan memahaminya secara parsial dan serampangan. Ini antara lain dapat disimak dari agenda reformasi yang kerap dikumandangkan dimana reforma agraria tidak masuk menjadi prioritas penting.

Dalam situasi dan konteks inilah buku Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia karya Mochammad Tauchid menjadi penting sebagai ”pengugah”. Melalui buku ini, Tauchid seolah mau menggedor kesadaran kita dan mengingatkan bahwa masalah agraria merupakan persoalan fundamental bagi bangsa ini. Ia mengawali tulisannya dengan suatu pernyataan yang begitu mendalam: ”Soal agraria (soal tanah) adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan. Soal tanah adalah soal hidup, soal darah yang menghidupi segenap manusia. Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk itu orang rela menumpahkan darah, mengurbankan segala yang ada untuk mempertahankan hidup selanjutnya”.

Banyak hal yang dapat dielaborasi dan dikritisi dari buku tersebut. Namun begitu, tulisan review ini akan lebih fokus mengulasnya dalam konteks kajian teori politik, terutama kajian epistimologi kekuasaan. Namun begitu, dalam pembahasannya disadari akan sulit untuk hanya memokuskan pada satu tema kajian secara absolut sehingga bisa jadi juga akan bersinggungan dengan tema kajian teori politik lainnya seperti strukturasi dan contentious politics dimana sejumlah persoalan agraria yang ditulis dalam buku tersebut memiliki relevansi dan signifikansinya dalam konteks kasus-kasus agraria yang muncul akhir-akhir ini.

Persoalan Agraria: Dari Masa(lah) ke Masa(lah)

Buku setebal 609 halaman itu mendeskripsikan banyak hal seputar isu agraria, namun secara umum dikategorikan dalam dua bagian besar. Bagian pertama yang terdiri dari enam bab mengulas persoalan agraria mulai dari masa kekuasaan raja-raja nusantara hingga masa kolonialisme Belanda. Sementara dua bab berikutnya pada bagian kedua mengulas masalah agraria pada masa penjajahan Jepang serta dasar-dasar hukum dan politik agraria kontemporer.

Cerita-cerita adiluhung tentang masa keemasan kerajaan di Nusantara ternyata menyimpan banyak ironi. Salah satu ironi itu adalah persoalan agraria dimana hukum pertanahan saat itu sepenuhnya didasarkan atas feodalisme yang begitu memberatkan rakyat. Dalam sistem feodalisme yang nyaris berlaku di seluruh Nusantara saat itu tanah adalah milik raja secara mutlak. Bahkan bukan hanya tanah saja, rakyat adalah milik raja juga. Rakyat laksana benda sehingga ia menjadi hamba yang dapat digunakan untuk apa saja demi kepentingan dan kehormatan raja.

Sebagai illustrasi, misalnya, di Kerajaan Mataram baik di Yogyakarta maupun di Surakarta dulu dinyatakan bahwa tanah itu ”kagungan dalem”. Artinya, tanah adalah milik Sultan dan Sunan. Rakyat hanya sebagai deelbouwer (pemaro) dan hanya berhak meminjam (wewenang anggaduh) atas tanah. Hal serupa juga terjadi di Gorontalo. Pada hari penobatan raja, para kepala adat (bete-bete) menyerukan ucapan di hadapan raja, yang artinya kira-kira: ”Angin, api, air, tanah, dan semua orang yang ada di sini adalah kepunyaan seri paduka”. Begitu juga di daerah-daerah lainnya hampir di seantero Nusantara dimana raja memerintah, menganggap bahwa segala isi negerinya –termasuk dan terutama tanah– adalah hak mutlak dari raja.

Menurut Tauchid, sistem feodalisme saat itu merupakan perbudakan, baik dalam arti ekonomi, politik, maupun sosial kultural. Tanah dikuasai raja, sementara rakyat yang mengerjakan tanah mempunyai kewajiban untuk menyerahkan sebagian besar hasilnya. Rakyat dijadikan alat untuk kepentingan kekuasaan dan kehormatan raja karena segala peraturan dan hukum-hukum juga dikendalikan seluruhnya oleh raja sebagai pemegang kuasa. Perbudakan saat itu juga disempurnakan dengan idiom-idiom kultural-religius seperti dengan kata-kata ”manunggaling kawula gusti”. Raja menganggap dirinya sebagai wakil Tuhan di dunia untuk melindungi rakyatnya sehingga rakyat berkewajiban mengabdi kepada raja sebagai bentuk manifestasi pengabdian kepada Tuhan. Karena itu pemerasan terhadap rakyat justru dirupakan sebagai kewajiban ilahiyah untuk bakti sebagai kewajiban moral-spiritual yang harus dipenuhi. Rakyat bukan hanya takut karena hukuman dari undang-undang, tetapi juga takut atas murka dan kutukan Tuhan yang dimanifestasikan pada ketundukan total terhadap titah raja.

Namun, hak atas tanah dan tenaga rakyat yang secara de jure merupakan kekuasaan raja, secara de facto pada praktiknya lebih banyak berada pada tangan para abdi dalem sebagai pegawai kerajaan. Kewajiban menyerahkan bakti oleh pegawai-pegawai kerajaan kepada raja biasanya ditimpakan kepada rakyat pada level paling bawah. Karena para abdi dalem kerajaan ingin mengurangi beban berat yang dipikulnya, maka iamembagikan beban itu seringan-ringannya dan terpaksa menambah orang dalam daerah bawahannya. Untuk itu maka ia terus membagi-bagi bebannya kepada orang-orang baru di bawahnya sehingga pada akhirnya kondisi ini berakibat pada pengecilan (versnippering) tanah garapan rakyat.

Pada kurun berikutnya, kedatangan VOC dan kolonialisme Belanda telah mengubah pola pemilikan tanah. Penaklukan raja-raja Nusantara oleh Belanda sekaligus juga berarti perampasan atas kekuasaan raja. Hak raja atas tanah dan tenaga rakyat dengan beragam pengaturannya secara otomatis juga berpindah ke tangan pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1811, Raffles, salah seorang Gubernur Jenderal Belanda berkata: ”Raja-raja sudah hilang. Gubernurmen yang menggantikannya. Karena itulah Gubernurmenlah yang menerima hak-hak yang dulu ada pada raja, yaitu hak memiliki semua tanah, juga tenaga rakyat bilamana diperlukan”.Pada saat itulah muncul beragam pengaturan atas tanah yang didasarkan atas Ordonansi Belanda, seperti: Hak Eigendom, Hak Opstal, Hak Erfpacht, serta Hak Pakai dengan segala implikasi dan beban sosial-politik yang menyertainya.

Arah politik agraria kolonial dapat dilihat dari aneka produk hukum yang dilahirkannya. Ciri terpenting dari politik agraria kolonial adalah pengalokasian sumber-sumber agraria khususnya tanah dan tenaga kerja demi akumulasi modal oleh perusahaan. Untuk melegalkan usaha ini, Agrarische Wet 1870 diundangkan di Hindia Belanda. Agrarische Wet telah membuka peluang luas bagi investasi perkebunan dan pertanian yang sekalgus menggusur areal pertanian rakyat.Sementara itu, hak-hak adat masyarakat atas tanah diletakkan sedemikian rupa kepada kelompok feodal melalui azas domeinverklaring. Kondisi ini menjadikan rakyat hidup dalam dua kewajiban yang menghisap dan memberatkan.

Secara detil, Tauchid mendeskripsikan bahwa selama masa kolonialisme Belanda tanah dan rakyat Indonesia diperas-habis untuk kepentingan Belanda. Produksi tani Indonesia menurutnya merupakan andalan pemerintah Belanda dalam perdagangan dunia saat itu. Bagi Belanda dan kaum modal asing lainnya, Indonesia merupakan sumber kekayaan, hingga 15% dari penghasilan nasional negeri Belanda saat itu. Indonesia sungguh menjadi gantungan hidup negeri Belanda sebagaimana diakui sendiri oleh Baud, salah seorang menteri Belanda yang mengatakan bahwa ”Java was de kruk, waarop Nederland dreef”. Tabel berikut merupakan sebagian komoditas agraria Indonesia yang menjadi andalan utama pada masa kolonialisme Belanda.

Hasil

Tahun

Kuantitas

1929 (%)

1939 (%)

diantara jajahan

di dunia

Kina

94

91

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun