Kita perlu mendorong lahirnya “Poros Biru” sebagai opsi alternatif. Poros Biru Indonesia diletakan pada kesadaran sebagai bagian dari mozaik Indonesia yang beragam. Poros ini bukan saja sekadar memunculkan figur kandidat Capres-Cawapres alternantif, namun sekaligus juga mampu mendorong dan menantang kandidat Capres-Cawapres yang sudah ada untuk lebih bergairah melakukan kompetisi politik secara lebih sehat, santun, dan bermartabat.
Wacana Pemilihan Presiden (Pilpres) yang terus bergulir kini seakan terus mengerucut pada dua figur Calon Presiden (Capres) yang paling menonjol: Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. Dengan berbagai manuver politik, partai-partai dan para pengusung kedua kandidat kuat Capres ini terus menggadangnya secara massif ke mana-mana. Safari politik yang dilakukan dua kubu kandidat Capres ini bahkan terkadang tampak zig-zag dan overlap satu sama lain. Berbagai agenda dan momentum sosial-politik pun terus diciptakan dan bahkan terus diperebutkan kedua kubu ini, termasuk dan terutama ruang-ruang media yang kian beragam sebagai sarana komunikasi publik yang paling efektif.
Di satu sisi, fenomena ini tentu sangat baik bukan saja bagi para kandidat Capres untuk mempopularisasikan visi dan programnya. Publik pun akan semakin terbantu untuk tahu lebih banyak mengenai visi, program, dan rekam jejak para Capres yang kelak akan menjadi penghulu negeri ini. Namun begitu, popularisasi dan promosi massif yang dilakukan kedua kubu kini sudah sampai pada taraf overdosis. Alih-alih mempromosikan visi dan program secara kreatif dan produktif, yang terjadi justru sebaliknya. Kampanye hitam yang dilakukan kedua kubu melalui berbagai media sosial, sms, BBM, dan media lainnya begitu banyak kita saksikan. Kedua kubu acapkali hanya saling serang, saling menghakimi satu sama lain secara vulgar.
Model kontestasi dan kompetisi seperti ini tentu tidak akan membuat kita semakin dewasa dalam berpolitik dan berdemokrasi. Gegap-gempita promosi yang dilakukan dua kubu ini bahkan seolah membuat kita terlena sehingga menutup mata dan menapikan kemungkinan-kemungkinan alternatif lain yang bisa jadi justru lebih baik. Indonesia yang begitu luas ini, kini seolah hanya memiliki dua orang figur saja yang layak menjadi kandidat Capres.
Poros Biru
Ditengah hiruk-pikuk pencapresan Jokowi dan Prabowo oleh masing-masing kubu pendukungnya, selayaknya kita juga memikirkan dan menawarkan, bukan saja sekadar kandidat Capres lain, tapi wacana tandingan sebagai penyeimbang yang mampu menjadi alternatif yang prospektif terkait soal Pilpres dan Capres. Dalam konteks ini, menurut hemat saya, kita perlu mendorong lahirnya “Poros Biru” sebagai opsi alternatif. Poros ini bukan saja sekadar memunculkan figur kandidat Capres-Cawapres alternantif, namun sekaligus juga mampu mendorong dan menantang kandidat Capres-Cawapres yang sudah ada untuk lebih bergairah melakukan kompetisi politik secara lebih sehat, santun, dan bermartabat.
Dari dua belas partai politik yang bertarung dalam kontestasi elektoral 2014, ada tiga partai “bernuansa biru” yang meraih suara cukup signifikan: Partai Demokrat (10 persen), Partai Amanat Nasional (8 persen), dan Partai Nasdem (7 persen). Akumulasi perolehan suara ketiga partai ini tentu cukup untuk mengusung pasangan kandidat Capres-Cawapres dalam Pilpres 9 Juli 2014 nanti. Ketiga partai ini pun sejatinya punya banyak figur kuat yang layak “dijual” menjadi kandidat Capres-Cawapres yang patut diperhitungkan. Karena itu, ketiga partai ini sebenarnya punya potensi untuk berkoalisi membangun “poros biru” sebagai wacana alternatif yang sangat prospektif.
Namun begitu, “Poros Biru” yang saya maksudkan dan saya tawarkan di sini tentu saja bukan sekadar merefer pada ketiga partai yang kebetulan memiliki simbol dominan berwarna biru seperti Partai Demokrat, PAN, dan Nasdem semata. Sebagaimana kita mafhumi bersama bahwa filosofi warna biru mengagregasikan perlambang kejujuran, ketenangan, kesetiaan, dan keharmonisan. Psikolog dari Antioch University, Leatrice Eiseman (2006) menyebutkan “biru” memiliki arti stabil dan dapat diandalkan. “Blue has a stable meaning because it is the color of the sky, despite gray skies and rain, we know in the clouds the color of the sky was still blue,” ujar Eiseman dalam bukuMessages and Meanings.
Dalam konteks Pilpres dan Capres, Poros Biru tentu harus proaktif mempromosikan nilai-nilai kejujuran, keterbukaan, kesetiaan dan keharmonisan dalam ajang kontestasi politik elektoral dengan segala rangkaian tahapan yang akan kita lalui bersama. Inilah sebenarnya inti dari misi dan signifikansi dibangunnya Poros Biru. Mengenai kandidat Capres-Cawapres alternatif pun Poros Biru bisa segera menawarkan terobosan. Banyak nama yang bisa dipromosikan, baik orang partai maupun non-partai yang kapabel dan kredibel. Sebut saja misalnya beberapa nama yang kini sedang ikut dalam Konvensi Partai Demokrat, seperti Irman Gusman, Dahlan Iskan dan Anies Baswedan. Tokoh dan petinggi PAN Hatta Rajasa yang punya pengalaman dalam sejumlah kementerian pun patut dilirik. Demikian pula figur lainnya seperti Jusuf Kalla, Mahfud MD, Abraham Samad, atau bahkan nama-nama lain yang memiliki kompetensi tapi belum terendus radar lembaga survey dan media, seperti Yudi Latif, Teten Masduki, Bupati Bantaeng Prof. Dr. Ir. H.M Nurdin Abdullah, M.Agr yang juga sangat fenomenal dan figur-figur potensial lainnya di seluruh pelosok negeri. Semua masukan publik terkait wacana Pilpres dan Capres bisa segera ditampung, dijaring, disaring, dan kemudian ditawarkan melalui format dan mekanisme ‘ala konvensi’ yang menjunjung tinggi nilai-nilai sportifitas, kejujuran, keterbukaan, kemajemukan, kesetaraan, dan nilai-nilai luhur demokrasi lainnya secara kredibel dan akuntabel.
Indonesia: Potensi dan Keragaman
Saya merasa beruntung memiliki kesempatan untuk mengunjungi seluruh provinsi di negeri ini dalam ragam penelitian yang telah saya lakukan dengan berbagai institusi. Perjalanan dan pekerjaan penelitian yang telah saya lakukan di berbagai tempat itu sungguh telah menguatkan keyakinan saya mengenai potensi dan keragaman negeri ini. Di sejumlah provinsi dan kabupaten kota masih banyak orang baik yang memiliki prestasi dan potensi untuk memperbaiki negeri ini. Sayangnya, lembaga survey, media, dan tentu kita pada umumnya masih terperangkap pada glorifikasi Jawa dan Jakarta. Karenanya, potensi-potensi alternatif, dan pilihan-pilihan kemungkinan dari luar Jawa itu seringkali tidak diapresiasi atau bahkan kita sepelekan.
Dalam konteks politik, tentu menjadi amat sangat reduksionis jika wacana Pilpres dan Capres kita hari ini hanya digiring dan didominasi warna “merah” dan “kuning” atau sekadar “ijo royo-royo”. Pun apalagi hanya berorientasi pada Jakarta dan Jawa sebagai satu-satunya kiblat politik dan ekonomi negeri ini. Kini saatnya merayakan perbedaan, memunculkan politik Indonesia yang kaya warna, menawarkan sebanyak mungkin ragam alternatif dan kemungkinan-kemungkinan, menyuguhkan pilihan-pilihan yang beragam, tentu saja dengan cara dan mekanisme yang sehat, santun, dan bermartabat.
Dengan menyadari segenap potensi dan keragaman yang tersaji di negeri ini, Poros Biru Indonesia harus mendorong cara dan upaya yang bijak dan elegan dalam mengawal proses transisi kepemimpinan nasional melalui kompetisi dan kontestasi elektoral secara legal. Poros Biru Indonesia harus menempatkan dirinya pada upaya serius untuk mencari sebanyak mungkin pilihan alternatif terbaik. Poros Biru Indonesia harus diletakan pada kesadaran sebagai bagian dari mozaik Indonesia yang beragam. Visi dan orientasi Poros Biru Indonesia adalah mendorong dan mempromosikan keterbukaan politik melalui ikhtiar yang sungguh-sungguh untuk membuka peluang kandidasi Pilpres seluas-luasnya sehingga proses politik elektoral yang mahal ini benar-benar mampu mengantarkan Capres-Cawapres terbaik bagi bangsa dan negeri ini. Semoga ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H