Pendahuluan
Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu instrumen terpenting dalam sistem politik-demokratik modern. Pemilu bahkan telah menjadi salah satu parameter utama yang secara mondial diakui masyarakat internasional untuk melihat demokratis tidaknya suatu negara. Tak heran jika kemudian Chehabi dan Linz (1998) menyebutkan bahwa ketika perang dingin berlangsung, hampir semua negara ingin berusaha mengidentifikasi diri sebagai negara demokratis dengan cara melaksanakan pemilu secara berkala. Walau pada saat yang lain, pemilu seringkali dilakukan hanya untuk melegitimasi tindakan nyata rejim yang otokratik.[1] Karena dalam kenyataannya, masyarakat internasional kini hampir menyepakati bahwa tidak ada satu pun negara yang dikategorikan sebagai negara demokratis apabila tidak menyelenggarakan pemilu, terlepas dari bagaimana kualitas pelaksanaannya.
Idealnya, pemilu merupakan proses sekaligus sarana demokratis untuk menyalurkan aspirasi rakyat. Pemilu merupakan proses sirkulasi elit yang bersifat inklusif dimana semua warga secara terbuka memiliki kesempatan untuk memilih dan dipilih. Melalui prosesi pemilu, rakyat memiliki kesempatan untuk menentukan beragam harapan, keinginan dan berbagai kepentingannya melalui pilihan-pilihan politiknya yang disalurkan dalam pemilu. Dalam tataran idealitas-nornatif, bahkan, melalui mekanisme pemilu inilah rakyat menentukan pilihan haluan kehidupan bernegara secara paripurna. Karena itulah dalam konteks pemilu, rakyat sebagai pemilih memiliki urgensi tersendiri. Karena itu pula, dalam konteks pemilu, perilaku pemilih menjadi salah satu elemen penting untuk dikaji. Kajian atas perilaku pemilih bukan saja dimanfaatkan untuk mendulang suara, namun terutama untuk melihat dan memahami konstelasi harapan dan kepentingan rakyat dalam konteks politik demokratik.
Tulisan ini ingin mencoba mengkaji perilaku pemilih dalam dua masa pemilu, yaitu Pemilu 2004 dan Pemilu 2009, baik pemilu legislatif (Pileg) maupun pemilu presiden (Pilpres). Kedua momen pemilu tersebut menarik dan sekaligus penting, bukan saja karena dinilai banyak pihak telah memperlihatkan ’keberhasilan’ prosesi demokrasi[2], tapi sekaligus juga memperlihatkan berbagai kejutan baru yang antara lain tampak dari pola pergeseran pemilih.[3] Namun demikian, karena berbagai keterbatasan, tulisan ini akan berfokus pada fenomena perilaku pemilih di Kota Yogyakarta dalam dua ajang pemilu, yaitu Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. Secara berurutan, uraian tulisan ini akan diawali dengan deskripsi dasar teoretik mengenai perilaku pemilih, potret politik Kota Yogyakarta, serta kaca benggala Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 yang lebih spesifik mendeskripsikan konstelasi pergeseran perilaku pemilih dalam dua masa pemilu tersebut di Kota Yogyakarta.
Dasar Teoretik Perilaku Pemilih
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk melihat dan memetakan pola pergeseran pemilih dalam pemilu adalah dengan menggunakan pendekatan voting behavior (perilaku pemilih). Dieter Roth (2009) menyebutkan bahwa apabila kita membicarakan teori perilaku pemilih, maka tidak ada satu teori yang benar, karena juga tidak ada hanya satu teori mengenai perilaku manusia pada umumnya. Namun menurutnya, secara umum terdapat tiga macam pendekatan atau dasar pemikiran yang berusaha menerangkan perilaku pemilu, yaitu pendekatan sosiologis atau sosial struktural, model psikologi sosial, dan model pilihan rasional (rational choice).[4] Menurut Dieter Roth, ketiga pendekatan itu tidak sepenuhnya berbeda, dan dalam beberapa hal ketiganya bahkan saling membangun dan mendasari serta memiliki urutan kronologis yang jelas. Perbedaan antara ketiga pendekatan ini terletak pada titik beratnya satu sama lain.
Pertama, pendekatan sosiologis atau sosial struktural, Pendekatan ini menekankan pentingnya beberapa hal yang berkaitan dengan instrumen kemasyarakatan seseorang seperti, (a) status sosio-ekonomi (seperti pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan, dan kelas), (b) agama, (c) etnik, bahkan (e) wilayah tempat tinggal (misalnya kota, desa, pesisir, ataupun pedalaman). Beberapa hal ini menurut sarjana yang mengusungnya, Lipset (1960) dan Lazarsfeld (1968) hanya untuk menyebut beberapa nama, mempunyai kaitan kuat dengan perilaku pemilih. Penelitian mengenai perilaku ini awalnya diprakarsai sarjana-sarjana ilmu politik dari University of Columbia (Columbia’s School) yang mengkaji perilaku pemilih pada waktu pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) tahun 1940. Mereka mendapati pola perilaku pemilih yang menunjukkan adanya kaitan erat antara pemilih dengan aspek-aspek sosial struktural yang lebih dominan. Lazarsfeld (1968) misalnya memberi contoh bahwa dari segi kelas, para pemilih dari kelas bawah dan kelas menengah di AS berkecenderungan mendukung Partai Demokrat, sementara kelas atas menyokong Partai Republik. Demikian pula halnya jika dilihat dari aspek agama, penganut agama Kristen Protestan di AS cenderung memilih Partai Republik dibandingkan dengan mereka yang memeluk agama Katolik.[5]
Kedua, pendekatan psikologis atau psikologi social. Model ini dikembangkan beberapa sarjana ilmu politik dari Michigan University di bawah The Michigan Survey Research Centre atau sering disebut sebagai Michigan’s School. Dieter Roth menjelaskan bahwa para peneliti dari Michigan’s School lebih melihat perilaku pemilu dengan mengkaji sang individu itu sendiri sebagai pusat perhatian mereka. Menurut mereka, persepsi dan penilaian pribadi terhadap sang kandidat atau tema-tema yang diangkat sangat berpengaruh terhadap pilihannya dalam pemilu. Selain itu, “keanggotaan psikologis” dalam sebuah partai dapat diukur juga dalam bentuk variabel identifikasi partai yang juga turut mempengaruhi keputusan atas pilihannya dalam pemilu.[6]
Ketiga, pendekatan pilihan rasional atau rational choice. Menurut Dieter Roth, pendekatan ini dipopulerkan oleh Downs (1957) yang mengasumsikan bahwa pemilih pada dasarnya bertindak secara rasional ketika membuat pilihan dalam tempat pemungutan suara (TPS), tanpa mengira agama, jenis kelamin, kelas, latar belakang orang tua, dan latar lainnya yang bersifat eksternal. Menurut Anthony Downs, dalam konteks pilihan rasional, ketika pemilih merasa tidak mendapatkan faedah dengan memilih partai atau calon presiden yang tengah berkompetisi, ia bahkan tidak akan melakukan pilihan pada pemilu. Mereka menggunakan pertimbangan-pertimbangan costs and benefits sebelum menentukan pilihan. Pertimbangan costs and benefits itu lebih didasarkan pada gagasan atau program-program yang bersentuhan dengan dirinya.[7] Pendekatan ini kemudian dikembangkan oleh Morris P Fiorina dalam model keputusan pemilu restospektif. Dalam model ini tampak bahwa teori perilaku pemilu yang rasional dan pendekatan sosial psikologis sejatinya dapat dikombinasikan dan dikomplementasi-kan satu sama lain.[8]
Dalam konteks Indonesia, Saiful Mujani (2009) menyebutkan bahwa tradisi keilmuan tentang perilaku memilih warga negara yang merupakan komponen pokok dalam pemilu demokratis mulai mendapatkan perhatian yang cukup memadai lewat penelitian tentang perilaku memilih nasional beberapa hari setelah Pemilu 1999 (post-election survey). Ini merupakan proyek riset Ohio-State University yang bekerja sama dengan Laboratorium Ilmu Politik Universitas Indonesia. Hasil studi ini, setelah dikembangkan dengan beberapa studi berikutnya, muncul dalam Comparative Political Studies. Ini merupakan publikasi pertama tentang pemilih Indonesia di jurnal akademik internasional dari ilmuwan politik dalam maupun luar negeri yang mendalami politik Indonesia. Dari sinilah kemudian teori, metodologi, dan analisis tentang pemilu dikembangkan, khususnya oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang berdiri pada 2003. LSI kemudian beranak-pinak menjadi Lingkaran Survei Indonesia, Indobarometer, dan beberapa lembaga survey yang lain.[9]