[caption id="attachment_249571" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: google image"][/caption]
Papua kembali membara. Rentetan konflik mutakhir yang dipicu ketidakpuasan sejumlah warga Papua terhadap keberadaan PT. Freeport mulai menjalar ke mana-mana. Sebagaimana diberitakan sejumlah media, hingga saat ini tercatat setidaknya 11 karyawan PT. Freeport, aparat keamanan dan warga sipil lainnya meninggal dunia dan lebih dari 40 orang mengalami luka-luka. Namun, ironisnya, semua kejadian itu tak satupun mampu diungkap oleh aparat berwenang. Padahal jumlah aparat keamanan yang mengamankan areal PT. Freeport terus ditambah. Menyikapi situsi Papua yang makin memanas itu, sejumlah kalangan menyerukan aksi damai untuk Papua. Kalangan agamawan, kelompok LSM dan tak ketinggalan juga para pegiat hak asasi manusia terus menyerukan aksi damai seraya menuntut pemerintah segera mengatasi konflik Papua secara damai dan bermartabat.
Secara khusus, kelompok masyarakat sipil dan jaringan antar-iman se-Indonesia bahkan menyerukan ”Petisi Papua”. “Kami, masyarakat sipil, warganegara Republik Indonesia yang tergabung dalam Jaringan Antar-Iman seIndonesia, menyadari bahwakekerasan tidak pernah akan bisa menyelesaikan konflik dan malah akan membuat negeri ini jatuh terpuruk ke titik nadir. Kami yakin bahwa jalan dialog damai merupakan jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik Papua secara damai, menyeluruh, dan bermartabat,” tulis petisi yang ditandatangani di Yogyakarta oleh ratusan aktifis itu.
Namun nyatanya, situasi damai di Papua tampaknya begitu mahal. Situasi Papua bahkan kian mencekam pasca penutupan Kongres Rakyat Papua, 19 Oktober 2011 yang berakhir rusuh. Situasi kini malah bertambah rumit saat Kapolsek Mulya Papua AKP Dominggus Oktavianus Awes tewas ditembak di kepalanya. Peristiwa ini terus merembet dengan serentetan aksi-aksi kekerasan yang kian merisaukan. Mampukah pemerintah mengatasi konflik yang terjadi di Papua secara segera atau pemerintah akan terus berdiam diri dan menjadikannya sebagai konflik abadi di negeri ini?
Kilas Balik
Sejarah Papua hampir dapat diidentikan dengan sejarah konflik dan kekerasan. Bila merunut ke belakang, ketika terjadi perselisihan antara Belanda dan Indonesia mengenai status politik Papua Barat saat itu, masing-masing melakukan unjuk kekuatan. Dengan seruan Tri Komando Rakyat (Trikora), militer Indonesia yang waktu itu berbasis di Aboina (Maluku) terus dimobilisir sampai ke Papua. Sementara militer Belanda telah menyiapkan diri untuk berkonfrontasi dengan militer Indonesia. Ketegangan tersebut teratasi dengan diserahkannya Papua kepada Indonesia lewat United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA).
Namun, masa transisi yang diharapkan melahirkan kedamaian itu justru malah sebaliknya. Kekerasan politik terhadap masyarakat Papua terus berlanjut melalui berbagai operasi militer. Tercatat beberapa operasi, seperti Operasi Mandala, Operasi Sadar, Operasi Bratayuda, Operasi Wibawa, dan Operasi Pamungkas yang dilakukan oleh Kodam XVIII Cenderawasih. Beberapa operasi ini diduga sebagai upaya untuk mensukseskan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Tak heran jika kemudian banyak kalangan mempertanyakan kembali legalitas Pepera yang penuh rekayasa. Bahkan, prosesi integrasi ini konon diwarnai dengan tindak kekerasan militer yang berujung padapenetapan Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) mulai 1969 hingga 1999. Ulasan lebih rinci mengenai hal ini dapat disimak dalamBuku Putih Sinode GKI Irja (1993) juga dalam Laporan Justice and Peace Gereja Katholik Keuskupan Jayapura (1999).
Pendekatan keamanan (security approach) di Papua yang sangat berlebihan itu ternyata tidak untuk menguatkan status quo semata. Penentuan DOM di Papua juga seringkali dijadikan kepentingan militer sendiri sebagai objek sekaligus proyek peningkatan karier perwira di samping untuk melindungi kepentingan perusahaan-perusahaan besar dengan alasan stabilitas keamanan negara dan integritas bangsa. Berbagai tindak pelanggaran HAM yang terjadi di Papua hampir 40 tahun selama masa integrasi ini sungguh telah menumbuhkan resistensi masyarakat Papua terhadap militer sebagai representasi negara yang represif dan otoriter.
Politisasi dan Strukturasi
Kekerasan demi kekerasan kemudian terus berlanjut melintasi pergantian rezim dan bahkan terus direproduksi hingga masa reformasi kini. Dalam “Refleksi Akhir Tahun 2010”, Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) bahkan menyebutkan bahwa kondisi HAM di Papua menurun drastis seiring meningkatnya kembali kekerasan terhadap warga. Sejalan dengan itu, temuan Imparsial (2011) menunjukkan bahwa kriminalisasi terhadap warga sipil Papua meningkat. Aparat keamanan dengan mudah mendeskreditkan orang-orang yang dituduh sebagai separatis.
Dengan mencermati serangkaian konflik dan kekerasan yang terjadi satu tahun terakhir ini, secara umum, konflik dan kekerasan yang terjadi di Papua dapat dikategorikan pada dua model besar. Pertama, konflik dan kekerasan yang bersifat vertikal-struktural. Kedua, konflik dan kekerasan yang bersifat horisontal.
Model pertama mengemuka dalam ragam tuntutan “Papua Merdeka”. Bentuk kekerasannya dapat berupa gangguan keamanan oleh pihak yang sering disebut sebagai “Organisasi Papua Merdeka” dan beragam tindakan kekerasan militer atasnya. Termasuk dalam kategori ini, misalnya sweeping yang dilakukan aparat keamanan atas aksi pengibaran bendera Bintang Kejora yang seringkali memicu kekerasan dari dua belah pihak. Kekerasan yang bersifat struktural lainnya biasanya dipicu oleh ketimpangan dan ketidakadilan serta respon atasnya. Aksi-aksi menentang kebijakan PT. Freeport yang eksploitatif seringkali ditumpas oleh kekuatan militer.
Sementara konflik dan kekerasan model kedua sering terjadi di ranah societal, misalnya berupa konflik antarsuku, antarkelompok, kekerasan domestik, dan kekerasan dalam kategori kriminal murni. Dalam konteks ini, kekerasan domestik (domestic violence) atau sering diidentifikasi sebagai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terjadi terutama berupa kekerasan terhadap perempuan.
Data kekerasan yang terjadi di Papua pasca reformasi sejatinya menunjukkan bahwa model kedua lebih dominan ketimbang model pertama. Bahkan, model kekerasan kedua itu sebenarnya bisa jadi merupakan bentuk metamorfosa dari kekerasan model pertama. Namun demikian, celakanya, upaya yang dilakukan pemerintah dalam penanganannya nyaris seragam dengan mengedepankan pendekatan keamanan (security approach) sebagai model dominan.
Pemerintah seringkali melakukan politisasi terhadapkekerasan yang muncul seolah semua kekerasan yang terjadi mengandung muatan politis yang mengancam eksistensi rezim. Pada saat bersamaan, politisasi yang dikembangkan pemerintah –disadari atau tidak– membangun strukturasi budaya kekerasan dan mereproduksinya pada level societal dan bahkan terus merembes sampai di ranah domestik. Model strukturasi Giddens (Anthony Giddens, 1984) mungkin dapat menjelaskan fenomena ini. Tak heran jika kemudian model kekerasan domestik seperti KDRT tak kalah banyak mencuat dan terus meningkat di Papua.
Konflik dan kekerasan panjang yang terjadi di Papua agaknya dapat juga dijelaskan dengan model spiral-konflik dan kontentius. Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin menyebutkan lima strategi utama yang sering ditempuh para pihak dalam penanganan konflik, yaitu melalui contending (bertanding dan berseteru), yielding (mengalah), with drawing (menarik diri), pola inaction (menempuh dengan jalan berdiam diri), dan problem solving (pemecahan masalah). Keempat model pertama mengarah pada respon contentious yang melahirkan model spiral-konflik yang eskalatif. Model ini menjelaskan bahwa eskalasi konflik merupakan hasil dari suatu lingkaran setan antara aksi dan reaksi. Taktik contentious yang dilakukan oleh suatu pihak mendorong timbulnya respon contentious yang sama dari pihak lain. Respon ini memberikan sumbangan terhadap tindakan contentious lebih lanjut dari pihak yang bersangkutan. Ini membuat lingkaran konflik menjadi utuh dan kemudian mulai membentuk lingkaran berikutnya menjadi “konflik abadi” yang semakin akut. Secara sederhana, Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin menggambarkan model spiral-konflik sebagai berikut:
Dalam konteks kekerasan di Papua, penyelesaian konflik yang ditempuh pemerintah awalnya sering diupayakan melalui proses contentious atau contending. Penetapan Daerah Operasi Militer (DOM) memperlihatkan bahwa pemerintah pusat cenderung menggunakan pendekatan contending dan kemudian memaksa masyarakat Papua untuk mengalah (yielding and with drawing). Namun rupanya, ”tantangan” pemerintah pusat itu bukan meredakan perlawanan, namun justru memicu resistensi masyarakat untuk melakukan hal yang sama. Agaknya, model spiral-konflik di atas dapat menjelaskan mengapa konflik dan kekerasan di Papua terus bergulir dalam waktu yang cukup lama dan bahkan menimbulkan persoalan cukup pelik dalam wujud Regional Questionsyang mengancam integrasi bangsa.* sasgart@demos.or.id
[caption id="attachment_249572" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: google image"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H