Para pembenci Jokowi (Jokowi haters) dan para pemuja Jokowi (Jokowi lovers) sama-sama menanggalkan akalsehat, hanya menabur kebencian dan membela pemihakan sempit dilandasi praduga-praduga yang tak berdasar.
Foto Jokowi yang sedang minum dengan menggunakan tangan kiri segera menyebar di dunia maya dan menjadi bahan pergunjingan. Di sejumlah milist dan medsos, foto ini bahkan hingga mencatatkan puluhan ribu dan bahkan jutaan tanggapan dan komentar balik atasnya. “Jika seseorang dari kalian makan maka makanlah dengan tangan kanannya dan jika kalian minum maka minumlah dengan tangan kanannya, karena setan makan dan minum dengan tangan kirinya,” demikian komentar salah seorang netizen dengan mengutip salah satu hadits nabi.
Fenomena mempergunjingkan sikap dan tingkah-polah Jokowi ini tentu bukan bukan pertama kalinya semenjak Jokowi menjadi presiden RI ketujuh. Bahkan, kalau ditarik lebih jauh lagi semenjak kampanye pencalonan presiden, isu-isu seputar Jokowi seperti “Jokowi turunan Cina”, “Jokowi PKI”, “Jokowi memihak Asing dan Aseng” dan isu-isu sejenis telah menjadi makanan empuk para Jokowi haters. Mereka seolah terus mencari-cari kesalahan Jokowi dan jika menemukan sedikit pun celah untuk masuk menjadi amunisi untuk menghujat dan menyebarkannya sehingga menjadi berita sensasional.
Di mata para haters, Jokowi hampir pasti tidak ada prestasi dan kebaikan secuil apapun. Bukan saja soal-soal formal kenegaraan, termasuk dan terutama soal privasi dan soal-soal yang berkaitan dengan masalah keluarga. Semuanya tidak luput menjadi bahan serangan para haters. Bahkan ketika Jokowi mantu pun, meskipun jelas-jelas tidak memanfaatkan dana publik, tapi para haters selalu saja punya cara untuk mencari-cari titik lemah Jokowi dan atau titik-lemah orang-orang terdekatnya untuk menyerangnya. Tampak memang para Jokowi haters ini seolah tidak rela sedikit pun jika Jokowi mendapat sedikit saja pujian. “Mereka itu tidak mau move on,” ujar salah seorang netizen di group “Jokowi-JK Hebat”.
Di kutub sebaliknya, kita juga seringkali menyaksikan para pemuja Jokowi (Jokowi lovers) membela segala langkah Jokowi tanpa reserve. Segala langkah. Sikap, tindakan, baik yang personal maupun yang berbasis kebijakan didukung dan dibela Jokowi lovers secara membabi-buta. “Jokowi itu satria piningit yang sebenar-benarnya. Jokowi itu anugrah Tuhan terbesar yang diberikan kepada bangsa Indonesia,” tulis salah seorang pemuja Jokowi di status facebook-nya.
Di mata Jokowi lovers, presiden Indonesia ketujuh ini seolah sosok tanpa cela sedikit pun sehingga menjadi wajib karenanya untuk dibela mati-matian. Semboyan lama “pesah-gesang nderek Soekarno” sepertinya ingin dihidupkan kembali Jokowi lovers menjadi “pesah-gesang nderek Jokowi”. Tak heran jika mereka begitu militan, mati-matian membela Jokowi mulai dari hal-hal sepele hingga berbagai kebijakan yang dikeluarkan Jokowi tanpa sikap kritis. “Siapa saja yang mauganggu Jokowi, harus berhadapan dengan kami!!” ujar salah seorang Jokowi lovers lainnya.
Kasus pengangkatan Kapolri beberapa waktu lalu, misalnya, menjadi contoh betapa Jokowi lovers menanggalkan kesadaran kritisnya. Meskipun telah menjadi rahasia umum bagaimana aroma oligar kipartai-partai pengusung Jokowi begitu vulgar bermain di situ, tapi para Jokowi lovers tetap saja mendukung langkah-langkah salah-kaprah ini tanpa sikap kritis. Demikian juga dalam kasus “Kriminalisasi KPK”, sikap Jokowi yang tampak lemah dan kurang tegas itu seolah dimaknai sebagai strategi terbaik, padahal kian hari KPK kian babak belur dengan sikap Jokowi yang kurang tegas itu. Namun, alih-alih turut mengkritisi, para Jokowi lovers justru menyerang pihak-pihak lain yang mencoba mengkritisi soal ini. “Ternyata Jokowi lovers itu sama-sama belum bisa move on juga yach,” ujar salah seorang mantan Tim Relawan Pemenangan Jokowi-JK menyampaikan otokritiknya.
Para pembenci Jokowi dan para pemuja Jokowi ternyata sama-sama menanggalkan akal sehat. Mereka hanya menabur kebencian dan membela pemihakan sempit dilandasi praduga-praduga yang tak berdasar. Dalam konteks politik-demokratik, sikap-sikap sempit, picik, subjektif, dan partikular ini tentu bukan saja tidak bermanfaat, tapi menghambat tumbuh-kembangnya sikap-sikap kritis-objektif yang produktif.