[caption id="attachment_353579" align="alignleft" width="300" caption="KH Ahmad Sanusi (Sumber: Wikipedia)"][/caption]
Tulisan ini merupakan sepenggal kisah anak negeri. “Ajengan Sanusi” dari Sukabumi adalah salah satu fragmen pejuang negeri ini yang mungkin terlupakan. Padahal, aksi nyata dan perjuangannya untuk negeri ini layak diabadikan tinta emas sejarah. Karena itu, sebagai aktifis-jurnalis Kompasiana, penulis merasa terpanggil untuk turut mendokumentasikan kisahnya.
KH Ahmad Sanusi atau lebih dikenal dengan “Mama Ajengan Sanusi” sudah berkali-kali dinominasikan untuk memperoleh anugrah Pahlawan Nasional, namun berkali-kali pula gagal dan terkendala. Kemarin, 10 November 2014 bertepatan dengan perayaan Hari Pahlawan saya tadinya berharap presiden baru Ir. Joko Widodo (Jokowi) akan memberikan gelar itu.Namun tampaknya, anugrah gelar Pahlawan Nasional nyatanya memang lebih politis ketimbang berdasarkan pertimbangan objektif.
Padahal, dari seluruh pejuang negeri ini yang menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUKI) hanya KH.Ahmad Sanusi yang belum mendapat gelar Pahlawan Nasional. Namun ironisnya, saat pengumuman di hari pahlawan 10 November 2014 kemarin nama KH Ahmad Sanusi kembali luput ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Sebagai pribadi yang ikhlas, KH Ahmad Sanusi tentu tidak pernah meminta agar jasa-jasa dan perjuangannya dicatat dan dikenang, apalagi meminta dirinya untuk dijadikan Pahlawan Nasional. Hanya saja justru kita semua sebagai anak bangsa telah berhutang atas jasa-jasa dan perjuangan panjangnya untuk bangsa ini …
Masa Kecil dan Dewasa
Mama Ajengan Sanusi adalah putera dari Ajengan Haji Abdurrahim bin Yasin, ulama besar yang memimpin Pesantren Cantayan, salah satu pesantren terkemuka di Sukabumi, Jawa Barat. Sebagai putera seorang ajengan, ia telah belajar ilmu-ilmu keislaman sejak usia belia. Sanusi kecil bahkan tidak segan-segan belajar dari para santri senior di pesantren yang dipimpin ayahnya.
Menginjak usia dewasa, Sanusi menunjukkan dirinya sebagai pembelajar sejati. Jiwa dan semangat petualangnya dalam menuntut ilmu ditunjukkannya dengan tak bosan dan tak henti-hentinya bertandang dari satu perguruan ke perguruan lainnya, terutama pondok pesantren yang ada di tatar Sunda, seperti Pesantren Salajambe asuhan K.H. Muhammad Anwar, Pesantren Sukamantri, Cisaat, Sukabumi, asuhan K.H. Muhammad Siddiq, Pesantren Sukaraja, Sukabumi, asuhan K.H. Zainul Arif, Pesantren Gentur, Jambudwipa-Cianjur asuhan K.H. Ahmad Satibi dan Pesantren Gudang di Tasikmalaya asuhan K.H. Sujai.
Petualangan Ajengan Sanusi bahkan tidak hanya “ngulukutek” di tatar Sunda.Pada usia 20 tahun ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalam ilmu agama. Di tanah Mekkah itulah ia berkenalan dengan sejumlah ulama besar ahli ilmu agama (Syeikh), baik yang asli Mekkah maupun para Syeikh yang berasal dari Indonesia. Beberapa Syeikh yang sempat menjadi guru Ajengan Sanusi di tanah suci, antara lain: Syeikh Muhammad Junaidi, Syeikh Said Jawani, Syeikh Saleh Bafadlal, Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Syeikh Mukhtar Attarid asal Bogor. Salah satu ulama besar yang banyak mempengaruhi pemikiran Ajengan Sanusi adalah Syeikh Muhammad Rasyid Ridla, salah satu ulama pembaharu asal Mesir. Ketekunannya dalam memperdalam ilmu agama telah mengantarkan Ajengan Sanusi menjadi salah seorang ulama yang disegani di Mekkah. Ajengan Sanusi mendapat gelar sebagai salah satu Imam besar Masjidil Haram, Mekkah.
Pada saat menuntut ilmu di Mekah itulah Ajengan Sanusibanyak berinteraksi dengan ide-ide pembaharuan dari sejumlah tokoh muslim dunia, seperti Syeikh Muhammad ‘Abduh, Syeikh MuhammadRasyidRidla, dan Jamaluddin al-Afghani. Interaksi dan perjumpaan Ajengan Sanusi dengan tokoh-tokoh itu telah membangun perspektif baru dan menjadikannya ulama pembaharu ketika pulang ke Indonesia. Namun demikian, Ajengan Sanusi tetap konsisten dan tidak meninggalkan mazhabdan manhaz dasarnya sebagaimana yang dilakukan kedua gurunya, Syeikh Ahmad Khatib dan Syeikh Mukhtar at-Tarid. Bahkan dalam bidang ilmu fikh yang juga merupakan keahliannya. Ajengan Sanusi terkenal sangat kritis dalam berijtihad menentukan hukum Islam.
Sang Pejuang
Setelah menuntaskan petualangannya memperdalam ilmu agama Islam di tanah suci, pada 1915 Ajengan Sanusi kembali ke Indonesia dengan harapan dapat membantu ayahnya mengajar dan mengembangkan Pesantren Cantayan. Setelah tiga tahun membantu ayahnya, Ajengan Sanusi kemudian mulai merintis pembangunan pondok pesantrennya sendiri yang terletak di Kampung Genteng yang berada di sebelah utara Pesantren Cantayan. Karena itu, Ajengan Sanusi juga dikenal dengan sebutan Ajengan Genteng. Pesantren yang ia dirikan di Kampung Genteng itu kemudian diberi nama Pondok Pesantren Syamsul Ulum.
Selain keahliannya dalam ilmu agama –dimana KH Ahmad Sanusi semasa hidupnya juga dikenal luas sebagai ulama ahli tafsir. Salah satu karyanya adalah kitab Malja Al Talibin fi Tafsir Kalam Tabb Al Alamin– ia juga aktif dalam perjuangan kemerdekaan dan tercatat sebagai satu anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945.
Sebelumnya, Ajengan Sanusi juga dikenal sebagai tokoh Syarikat Islam (SI) dan pendiri al-Ittihadiat al-Islamiyah. Sebagai tokoh SI, Ajengan Sanusi juga aktif dalam usaha-usaha dan perjuangan mengusir kolonial Belanda yang saat itu terus melakukan upaya untuk melakukan kolonisasi di seantero Nusantara. Karena perjuangannya menentang pemerintah kolonial Belanda, Ajengan Sanusi ditangkap dan menjadi tahanan politik selama tujuh tahun di Batavia. Namun selalu saja ada hikmah terpendam di balik semua kejadian yang dilalui Ajengan Sanusi. Selama masa penahanan itu, Ajengan Sanusi menulis buku dan membentuk suatu organisasi keagamaan yang sekaligus menjadi wadah perjuangan ummat dalam merebut kemerdekaan, yaitu al-Ittihadiat al-Islamiyah pada tahun 1931.
Pada saat ia kembali ke Sukabumi, ia terus melanjutkan perjuangan organisasinya sambil menangani lembaga pendidikan Syams al-‘Ulum yang lebih dikenal dengan Pesantren Gunung Puyuh. Selain itu Ahmad Sanusi juga menerbitkan majalah al-Hidayah al-Islamiyah (Petunjuk Islam) dan majalah at-Tabligh al-Islami (Dakwah Islam) sebagai bahan bacaan dalam rangka da’wah bi al-lisan (dakwah yang disampaikan secara lisan).Karena dianggap merongrong kewibawaan pemerintah kolonial, Al-Ittihadiat al-Islamiyah akhirnya dibubarkan oleh penguasa Jepang. Namun Ajengan Sanusi terus melakukan konsolidasi dan mengubah nama organisasi tersebut menjadi Persatuan Umat Islam (PUI). Organisasi ini kemudian makin berkembang dan cukup disegani oleh Jepang. Ajengan Sanusi kemudian mewakili PUI dalam Masyumi. Sampai menjelang kemerdekaan Republik Indonesia, Ajengan Sanusi tercatat sebagai anggota panitia Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPIPKI). Beberapa sumber menyebutkan bahwa namanya dicoret dari keanggotaan BPUPKI karena ia dianggap terlalu banyak memihak Islam.
Layak Pahlawan
Ajengan Sanusi sudah beberapa kali menjadi nominasi yang diusulkan untuk memperoleh gelar Pahlawan Nasional, yaitu pada 2010, 2011 dan 2012. Namun hingga 2014, usulan itu sepertinya tidak dipertimbangkan secara fair oleh Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan untuk direalisasikan. Menurut Ketua Pengusul Gelar Pahlawan Nasional bagi KH. Ahmad Sanusi, Prof.Dr.Nina Herlina Lubis, ada kesalahpahaman seolah semasa hidupnya KH.Ahmad Sanusi memohon ampun kepada Pemerintah Belanda saat ditahan. Sehingga seolah-olah KH.Ahmad Sanusi dibebaskan karena mengaku salah.
“Arsip mengenai pembebasan Haji Ahmad Sanusi menuai kontroversi. Arsip bersifat rahasia (GEHEIM) nomor C.D.x.64/2/9 tanggal 25 Augustus 1938 dengan perihal “Verzoek van Hadji Abdoerrohiem, om zijn zoon, Hadji Achmad Sanoesi, te ontheffen van zijn interneering” yang merupakan pertimbangan dari De Directeur van Binnenlandsch Bestuur membawa kesalahpahaman. Perihal arsip tersebut membawa kesan bahwa KH. Abdurrahim, Ayahanda KH. Ahmad Sanusi, mengemis kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk pembebasan anaknya, yakni KH. Ahmad Sanusi,”ungkap Nina dalam sebuah seminar “Pengusulan Kembali KH Ahmad Sanusi Sebagai Pahlawan Nasional” yang diselenggarakan di Bandung beberapa bulan yang lalu.
Sebagai sejarahwan Nina Lubis berkeyakinan bahwa tidak mungkin KH. Abdurrohim memintakan ampun kepada Belanda bagi kebebasan anaknya, yakni KH. Ahmad Sanusi, karena pada tahun 1938 KH. Abdurrahim sudah meninggal dunia. Haji Abdoerrohim yang ada pada waktu itu adalah Haji Abdoerrohim dari Cipoho yang menjadi Pengurus Besar AII. Haji Abdoerrohim Cipoho berusia lebih muda dari Haji Ahmad Sanusi. Karena itu, menurut Guru Besar Sejarah UNPAD tuduhan miring terhadap KH Ahmad Sanusi tidak masuk akal.
KH Syafruddin Amir salah satu kerabatnya menuturkan bahwa kegagalan penetapan Pahlawan Nasional bagi KH Ahmad Sanusi sebenarnya hanya persoalan administratif. Ia yakin pada 2014 pengusulan Pahlawan Nasional bagi KH. Ahmad Sanusi akan berhasil terrealisasi karena dari seluruh anggota BPUKI tinggal KH.Ahmad Sanusi yang belum mendapat gelar Pahlawan Nasional. Namun ironisnya, saat pengumuman di hari pahlawan 10 November 2014 kemarin nama KH. Ahmad Sanusi kembali luput ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Ajengan Sanusi tentu adalah pribadi yang ikhlas. Beliau tidak pernah meminta agar jasa-jasa dan perjuangannya dicatat dan dikenang, apalagi meminta dirinya untuk dijadikan Pahlawan Nasional. Hanya saja justru kita semua sebagai anak bangsa telah berhutang atas segala perjuangannya yang panjang. Gelar Pahlawan Nasional untuk KH. Ahmad Sanusi merupakan gelar yang memang sepantasnya disandangkan pada sangAjengan pejuang asal Sukabumi itu.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H