Vaksinasi Covid-19 di sekolah harus dihentikan setidaknya karena tiga hal. Pertama, duplikasi sasaran dan anggaran. Kedua, membebani sekolah di luar tupoksinya. Ketiga, mobilisasi siswa untuk vaksinasi di sekolah berpotensi menciptakan kerumunan yang justru paradoks dengan kebijakan penetapan PPKM.
Dalam dua minggu ini saya merasa sangat gundah-gulana dengan program vaksinasi yang menurut hemat saya tidak dilaksanakan dengan tatakelola dan tatalaksana secara efektif dan efisien. Dalam sebuah diskusi ringan di WAG ICMI Orda Kota Banjar sempat muncul sejumlah masukan yang menurut kami cukup solutif, misalnya tatakelola dan tatalaksana vaksinasi dengan komparasi salah satu model penyebaran logistik kepemiluan (C-6) yang didistribusikan secara door to door ke rumah, by name by address.
Dengan model itu sebenarnya tidak pelu ada titik-titik pengumpulan massa untuk vaksinasi yang justru faktanya malah sangat potensial menciptakan kerumunan. Padahal situasi seperti ini justru yang harus dihindari dan menjadi elat vital munculnya kebijakan PPKM.
Namun situasinya kini lebih pelik dan memperihatinkan. Bahkan, menurut hemat saya sangat tidak masuk nalar ketika program Vaksinasi Covid-19 kini justru merambah ke sekolah. Inilah yang membuat saya gundah, kenapa vaksinasi harus dilaksanakan di sekolah?? Dalam dua minggu terakhir ini saya banyak mendapatkan masukan, curhatan, dan berbagai informasi dari sejumlah siswa, guru, dan tenaga kependidikan lainnya yang merasa resah dan berkeluh-kesah dengan situasi ini ...
Atas dasar masukan, informasi, serta diskusi dengan berbagai pihak itulah saya merasa yakin dan perlu untuk menyampaikan usulan ini: "Hentikan Vaksinasi di Sekolah!!" Setidaknya, ada tiga argumen yang mendasari usulan ini.
1. Duplikasi sasaran dan anggaran
Setiap siswa itu jelas domisili tempat tinggalnya. Ketika program vaksinasi sudah disinergikan seluruh Puskesmas di tingkat kecamatan dengan sinergitas pemerintahan di tingkat bawahnya, mulai kelurahan/desa/dusun/RW/RT maka kenapa harus ada duplikasi dengan sekolah? Tinggal dioptimalkan dengan model satu pintu saja melalu jalur tata pemerintahan dan tentu baik juga bila model distribusi C-6 KPU bisa dijalankan untuk prosesi vaksinasi sehingga potensi kerumunan pun relatif lebih dapat teratasi.
2. Membebani sekolah di luar tupoksinya
Sesungguhnya sekolah saat ini memiliki beban sangat berat, yakni ancaman "Learning Loss" akibat situasi pandemi yang panjang. Karena itu guru dan tenaga kependidikan lainnya butuh dukungan ragam upaya, kreasi, inovasi terkait dengan model-model pembelajaran virtual yang efektif dan inovatif. Dengan setumpuk tugas dan tanggung jawab itu kini tenaga kependidikan justru malah dibebani tugas tambahan sebagai "panitia vaksinasi" yang memang bukan tupoksinya. Bayangkan di satu sekolah dengan murid lebih dari seribu orang, guru harus membantu mengkondisikan vaksinasi, mulai dari sosialisasi, penyiapan surat, komunikasi dengan orang tua siswa, serta seremonia vaksinasi itu sendiri yang menguras waktu dan pemikiran ...
3. Potensi kerumunan di sekolah
Di salah satu SMA, misalnya ada edaran dari provinsi melalu Dinas Pendidikan bahwa vaksinasi siswa harus selesai dalam jangka waktu 3 hari. Dengan jumlah siswa sekitar 1200 orang, maka vaksinasi di sekolah itu dalam sehari harus mendatangkan sekitar 300-400 siswa, belum Tim Medis, belum guru dan juga para pejabat (Walikota, Kapolres, Kajari, Ketua DPRD, Kepala Dinas) dan para pengawalnya. Ini jelas situasi yang paradox dengan kebijakan PPKM. Bahkan dalam sejumlah berita beberapa hari ke belakang prosesi vaksinasi justru lebih banyak seremoninya ketimbang substansi sebagai ikhtiar untuk kesehatan masyarakat.