Mohon tunggu...
Sofian Munawar
Sofian Munawar Mohon Tunggu... Editor - PENDIRI Ruang Baca Komunitas

"Membaca, Menulis, Membagi" Salam Literasi !

Selanjutnya

Tutup

Politik

Paradoks Demokrasi Lokal

28 September 2011   15:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:32 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: www.pdii-lipi.go.id

Geliat politik-demokratik di tingkat lokal ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi menyemburatkan harapan baru bagi termanifestasikannya hasrat dan harapan masyarakat atas berbagai kepentingan politiknya secara lebih mudah dengan rentang jarak dan akses yang makin terbuka. Namun di sisi lain, keterbukaan politik di tingkat lokal nyatanya tidak serta-merta mampu memperbaiki kualitas akses masyarakat dan terpenuhunya ekspektasi masyarakat secara signifikan. Fenomena yang muncul dalam proses politik lokal seringkali tidak berimplikasi positif bagi terwujudnya politik-demokratik yang benar-benar berorientasi pada kepentingan rakyat. Ini tercermin antara lain dalam prosesi pemilihan langsung kepala daerah (Pilkada) di sejumlah daerah yang justru banyak melahirkan masalah ketimbang melahirkan solusi atas masalah yang ada.

Inilah antara lain potret demokrasi lokal yang menyuguhkan paradoks. Alih-alih ingin memperluas partisipasi politik warga, moment Pilkada tak lebih sebagai arena mobilisasi politik sesaat yang dimanfaatkan kaum oligarh untuk kepentingannya sendiri. Pemilu dan Pilkada secara prosedural memang telah berjalan relatif aman. Semua masyarakat telah memiliki kebebasan untuk memilih, namun ketika pilihan yang tersedia sangat terbatas, maka kondisi ini telah melahirkan choisless election, sebuah pesta demokrasi yang sesungguhnya tidak banyak menawarkan pilihan yang lebih bermakna bagi kehidupan masyarakat. Inilah salah satu persoalan keterwakilan demokratis yang masih kritis.

Dalam konteks ini, Pilkada sebagai salah satu manifestasi demokrasi lokal dan implementasi otonomi daerah tak ubahnya resentralisasi di tingkat lokal, karena pada kenyataanya hanya para oligarh yang memiliki modalitas ekonomi-politik yang besar yang mampu mengendalikan prosesi demokrasi di tingkat lokal. Sementara masyarakat cukuplah sebagai pelengkap penderita dan seringkali diposisikan hanya sebagai ”suporter”, bukan ”voter” yang sesungguhnya.

Gejala tersebut antara lain tercermin dari temuan dua kasus yang diteliti Pusat Penelitian Politik LIPI dan didiskusikan pada 21 September 2011. Kasus pertama, mengenai ”Paradoks Demokrasi Lokal dalam Kontestasi Elit di Bima, Nusa Tenggara Barat” yang ditulis Irine Hiraswari Gayatri dan Septi Satriani. Kasus kedua, mengenai ”Kompleksitas Hubungan Kekuasaan dalam Otonomi Khusus” yang ditulis Mardyanto Wahyu Tryatmoko. Kedua kasus itu dibahas dengan penanggap utama I Gusti Putu Artha (Anngota KPU) dan Ganjar Pranowo (Anggota DPR-RI Fraksi PDI-P).

Dalam kasus Bima, Irine dan Septi menyebutkan bahwa kecenderungan paradoks pada demokrasi lokal di Bima tercermin pada lima hal. Pertama, kecenderungan adanya ”elite capture” yang dilakukan petahana dalam Pilkada Kabupaten Bima. Kedua, problem dalam perekrutan KPUD yang tampaknya diintervensi oligarki partai politik pengusung calon bupati petahana. Ketiga, terjadi poltisasi birokrasi yang massif yang dilakukan oleh petahana untuk kepentingan pemenangan Pilkada. Keempat, absennya kelas menengah yang biasanya terrepresentasikan pada akademisi dan pers dalam proses demokrasi lokal namun mereka seakan menjadi kepanjangan tangan penguasa. Demikian pula kelompok LSM hanya memanfaatkan situasi yang ada untuk kepentingannya. Karena itu, proses politik-demokratik dalam Pilkada Bima justru menunjukkan bahwa demokrasi yang sesungguhnya belum terwujud. ”Alih-alih mengerucut pada cita-cita ideal demokrasi lokal yang mendekatkan rakyat pada kesejahteraan, yang terjadi justru ’pembajakan’ demokrasi secara besar-besaran oleh para elit melalui Pilkada,” ujar Irine.

Hal yang relatif sama terjadi juga dalam kasus otonomi khusus, baik yang terjadi di Aceh maupun Papua. Menurut Mardyanto, kegaduhan politik lokal di daerah otonomi khusus seringkali dipicu oleh diskriminasi yang dilakukan oleh pemegang otoritas dominan kepada mereka yang memiliki perbedaan ideologi atau kepentingan politik. Bentuk diskriminasi yang paling jelas adalah distribusi dana Otsus dan penyediaan infrastruktur di Aceh dan Papua. ”Wilayah-wilayah yang merasakan adanya diskriminasi berpotensi memisahkan diri,” kata Mardyanto. Ini tentu menjadi paradoks yang lain dimana Otsus yang diharapkan akan menjadi solusi terbaik bagi Aceh dan Papua ternyata masih menyimpan potensi bagi munculnya separatisme dan dis-integrasi.

Dalam konteks Aceh dan Papua serta daerah khusus yang lain seperti Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), I Gusti Putu Artha menilai lahirnya sejumlah persoalan itu bersumber dari problema hukum dan kebijakan. Menurut Putu Artha, saat ini telah terjadi ”kekacauan” peraturan dimana satu produk hukum tidak sinkron dengan produk hukum yang lainnya dan bahkan bisa saja bertentangan. Ia mencontohkan UU Otonomi Daerah dan Undang-undang mengenai Otsus Papua yang dalam beberapa klausul terjadi tumpang-tindih sehingga mengacaukan dalam tataran implementasinya. Karena itu, Putu Artha mengusulkan adanya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundangan dan pelaksanaanya. ”Ini tugas politisi di Senayan untuk membuat produk legislasi yang sinkron dan harmonis satu sama lain,” ujar anggota KPU itu.

Ganjar Pranowo, Politisi PDI-P menilai, idealnya fungsi legislasi yang dilakukan DPR memang mampu membuat sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundangan. Namun demikian, menurutnya, hal itu hampir mustahil dilakukan. Alasan utamanya adalah soal kapasitas. ”Jangan dibayangkan kami di DPR menguasai segala hal, apalagi melakukan sinkronisasi satu sama lain, itu hampir tidak mungkin,” ujarnya. Ganjar juga menuturkan bahwa kalangan legislatif kadang juga tidak bisa mengukur kapasitas dan kapabelitas dirinya. Ia mencontohkan, di awal masa jabatan para anggota DPR begitu semangat untuk mengagendakan pembahasan ratusan undang-undang, padahal yang terrealisasi hanya belasan saja. ”Jadi yang terjadi bukan hanya paradoks demokrasi lokal, tapi di DPR dan partai politik juga banyak paradoks-nya,” ujar politisi PDI-P ini menyampaikan otokritiknya. sasgart@demos.or.id

* Catatan kecil dari diskusi di Puslit Politik-LIPI

[caption id="attachment_249596" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: www.kaskus.co.id"]

1366725631357205488
1366725631357205488
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun