[caption id="attachment_248768" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: www.bubblews.com"][/caption]
Sofian Munawar Asgart
Dalam milis jejaring sosial, seorang kawan lama saya yang berasal dari Papua menceritakan kegusarannya menjelang 1 Desember. Ia mendapat banyak informasi dari para mahasiswa Papua di sejumlah tempat, termasuk dan terutama mahasiswa Papua di Yogyakarta yang menurutnya berada dalam situasi terancam. Tak heran jika beberapa waktu lalu sejumlah aktivis mahasiswa Papua di Yogyakarta meminta ”suaka” atas keamanan diri mereka kepada Sultan.
1 Desember memang waktu yang krusial bagi kawan-kawan Papua. Hingar-bingar politik kian memanas tensinya saat ”ritual” pengibaran bendera Bintang Kejora sudah bisa dipastikan akan terjadi, tentu saja dengan beragam motif. Ada motif militansi dari gerakan yang sering disebut sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM). Ada motif ”iseng” sejumlah kalangan yang memang ingin mencari sensasi politik sesaat. Namun bisa juga motif sebaliknya, misalnya justru dari kalangan intelijen untuk memerangkap para aktivis OPM dan gerakan militansi lainnya sehingga mudah dijebak.
Apapun motifnya, momen 1 Desember memang perlu dicermati secara serius sehingga konflik yang terjadi di Papua tidak kian meluas. Kalau disimak dari peristiwa sebelumnya memang tampak bahwa rentetan kekerasan yang terjadi di Papua seakan tak pernah berhenti, bahkan kini tampak semakin meluas. Menurut catatan sejumlah media, umumnya kekerasan di Papua bersumber dari banyak hal, seperti konflik antarwarga terkait suku, separatisme, dan kriminalitas. Namun, untuk pertama kalinya, sejak 31 Juli lalu, terjadi konflik antarwarga terkait perebutan kekuasaan politik di Ilaga, Kabupaten Puncak Jaya. Sembilan belas orang tewas akibat bentrok antarpendukung calon bupati. Sementara Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat kekerasan di Papua akhir-akhir ini makin intens. Ada 15 warga sipil dan 9 aparat menjadi korban penembakan, selain 17 warga menjadi korban bentrokan antarwarga.
Menyikapi situsi Papua yang makin memanas itu, sejumlah kalangan menyerukan aksi damai untuk Papua. Kalangan agamawan, kelompok LSM dan tak ketinggalan juga para pegiat hak asasi manusia terus menyerukan aksi damai seraya menuntut pemerintah segera mengatasi konflik Papua secara damai dan bermartabat. “Persoalan Papua penting sekali dilakukan dengan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab, tanpa kekerasan dalam bentuk apa pun,” ucap Djohan Effendi, salah seorang pemrakarsa Petisi untuk Papua.
Dengan ragam motif dari sejumlah bentuk kekerasan yang terjadi, konflik Papua memang memperlihatkan kerumitan tersendiri sehingga butuh upaya serius untuk menanganinya. Persoalannya, mengapa konflik Papua terus terjadi dan bahkan seakan menjadi konflik abadi? Lantas, upaya apa yang paling strategis dapat dilakukan untuk menanganinya? Uraian tulisan berikut akan berfokus untuk menjawab dua isu pokok tersebut.
“Spiral Konflik”
Dengan mencermati serangkaian konflik dan kekerasan yang terjadi satu tahun terakhir ini, secara umum, konflik dan kekerasan yang terjadi di Papua dapat dikategorikan pada dua model besar. Pertama, konflik dan kekerasan yang bersifat vertikal-struktural. Kedua, konflik dan kekerasan yang bersifat horisontal.
Model pertama mengemuka dalam ragam tuntutan “Papua Merdeka”. Bentuk kekerasannya dapat berupa gangguan keamanan oleh pihak yang sering disebut sebagai “Organisasi Papua Merdeka” dan beragam tindakan kekerasan militer atasnya. Termasuk dalam kategori ini, misalnya sweeping yang dilakukan aparat keamanan atas aksi pengibaran bendera Bintang Kejora yang seringkali memicu kekerasan dari dua belah pihak. Kekerasan yang bersifat struktural lainnya biasanya dipicu oleh ketimpangan dan ketidakadilan serta respon atasnya. Aksi-aksi menentang kebijakan PT. Freeport yang eksploitatif seringkali ditumpas oleh kekuatan militer.
Sementara konflik dan kekerasan model kedua sering terjadi di ranah societal, misalnya berupa konflik antarsuku, antarkelompok, kekerasan domestik, dan kekerasan dalam kategori kriminal murni. Dalam konteks ini, kekerasan domestik (domestic violence) atau sering diidentifikasi sebagai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terjadi terutama berupa kekerasan terhadap perempuan.
Data kekerasan yang terjadi di Papua pasca reformasi sejatinya menunjukkan bahwa model kedua lebih dominan ketimbang model pertama. Bahkan, model kekerasan kedua itu sebenarnya bisa jadi merupakan bentuk metamorfosa dari kekerasan model pertama. Namun demikian, celakanya, upaya yang dilakukan pemerintah dalam penanganannya nyaris seragam dengan mengedepankan pendekatan keamanan (security approach) sebagai model dominan.
Pemerintah seringkali melakukan politisasi terhadap kekerasan yang muncul seolah semua kekerasan yang terjadi mengandung muatan politis yang mengancam eksistensi rezim. Pada saat bersamaan, politisasi yang dikembangkan pemerintah –disadari atau tidak– membangun strukturasi budaya kekerasan dan mereproduksinya pada level societal dan bahkan terus merembes sampai di ranah domestik. Model strukturasi Anthony Giddens (1984) mungkin dapat menjelaskan fenomena ini. Tak heran jika kemudian model kekerasan domestik seperti KDRT tak kalah banyak mencuat dan terus meningkat di Papua, meski tidak terlalu banyak diblow-up media massa.
Konflik dan kekerasan panjang yang terjadi di Papua agaknya dapat juga dijelaskan dengan model spiral-konflik dan kontentius. Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin (1986) menyebutkan lima strategi utama yang sering ditempuh para pihak dalam penanganan konflik, yaitu melalui contending (bertanding dan berseteru), yielding (mengalah), with drawing (menarik diri), pola inaction (menempuh dengan jalan berdiam diri), dan problem solving (pemecahan masalah). Keempat model pertama mengarah pada respon contentious yang melahirkan model spiral-konflik yang eskalatif. Model ini menjelaskan bahwa eskalasi konflik merupakan hasil dari suatu lingkaran setan antara aksi dan reaksi. Taktik contentious yang dilakukan oleh suatu pihak mendorong timbulnya respon contentious yang sama dari pihak lain. Respon ini memberikan sumbangan terhadap tindakan contentious lebih lanjut dari pihak yang bersangkutan. Ini membuat lingkaran konflik menjadi utuh dan kemudian mulai membentuk lingkaran berikutnya menjadi “konflik abadi” yang semakin akut.
Belajar dari Aceh
Bahwa tsunami telah menjadi blessing in disguise yang mendorong merekahnya kuntum perdamaian di Aceh memang telah banyak dikemukakan. Namun, apakah itu menjadi momentum utama yang turut meredakan konflik Aceh yang panjang? Olle Tornquist (2007) menyebutkan keterbukaan politik demokratik telah membawa implikasi penting bagi terciptanya situasi damai di Aceh pasca Perundingan Helsinki 2005. Perundingan Helsinki sungguh telah membawa ruang politik baru yang sekaligus mengubah pola perjuangan bersenjata ke arah proses politik-demokratik secara lebih baik.
Ditetapkannya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), misalnya, yang antara lain mengakomodasi Partai Lokal telah menyuburkan minat politik warga Aceh —termasuk dan terutama mantan kombatan GAM untuk memanfaatkan pasar politik yang kian terbuka. Hal ini secara positif telah mengalihkan arena pertarungan senjata ke kotak suara (from bullets to ballot). Direktur International Crisis Group (ICG) Indonesia Sidney Jones (2006) menilai bahwa kelahiran UUPA akan memberi peluang besar bagi demokratisasi di Aceh. ”Undang-Undang Pemerintahan Aceh walaupun masih menyisakan kekecewaan bagi sebagian kalangan telah memberi peluang pembentukan partai politik lokal dan penguatan pemerintahan daerah yang lebih demokratis,” ujarnya.
[caption id="attachment_248769" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: janesociania.com"]
Senada dengan itu, penelitian Demos (2007) mengungkapkan bahwa paralel dengan kuatnya keinginan untuk melakukan perubahan politik pasca Perundingan Helsinki, mayoritas informan menyatakan bahwa masyarakat Aceh memandang partai lokal sebagai pilihan yang tepat jika mereka (kelak) tertarik terlibat dalam proses politik. Kecenderungan untuk membangun dan bergabung dengan partai lokal bahkan jauh lebih kuat (70%) di daerah-daerah dimana partai politik nasional memenangkan Pilkada 2006.
Pada sisi lain, besarnya kecenderungan untuk membangun dan bergabung dengan sebuah partai lokal mengisyaratkan tumbuhnya optimisme politik di kalangan masyarakat untuk menggunakan mekanisme formal demokrasi elektoral sebagai cara untuk mempengaruhi proses politik. Mereka memang selama ini telah kehilangan kepercayaan terhadap partai politik dan politisi nasional.
Data tersebut menunjukkan bahwa pasar politik yang terbuka seiring dibukanya keran demokrasi pasca Perundingan Helsinki telah menumbuhkan minat politik dan meningkatnya kesadaran politik masyarakat Aceh. Hal ini secara signifikan telah mengubah pola perjuangan masyarakat Aceh ke arah yang lebih demokratis yang antara lain ditempuh dengan mekanisme politik elektoral melalui partai lokal.
Apakah model inisiasi partai lokal di Aceh dapat direplikasi dalam konteks Papua? Jawabnya mungkin ya, mungkin juga tidak. Eksperimen politik apapun yang dilakukan tentu pada akhirnya akan sangat tergantung pada political will dan good will pemerintah dan masyarakat Papua pada umumnya. Namun demikian, dalam konteks politik-demokratik, pembentukan partai lokal di Papua sebagaimana telah diejawantahkan di Aceh– diharapkan mampu memecahkan kebekuan dan kebuntuan atas konflik yang berlangsung cukup lama di Papua. Dengan demikian, iklim politik-demokratik yang antara lain ditandai dengan inisiasi partai lokal, bukan saja akan menyuburkan gairah politik, namun juga punya potensi menjadi kunci pembuka bagi proses perdamaian di Bumi Cendrawasih.***
[caption id="attachment_248770" align="aligncenter" width="600" caption="sumber: google image"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H