Mohon tunggu...
Sofian Munawar
Sofian Munawar Mohon Tunggu... Editor - PENDIRI Ruang Baca Komunitas

"Membaca, Menulis, Membagi" Salam Literasi !

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Pengemis Bicara Demokrasi

13 Juli 2011   04:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:43 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

~ Sofian M Asgart ~

Demokrasi itu ... dari rakyat untuk rakyat, tapi itu tidak penting lah ...

Yang penting itu, hari ini dan terus tiap hari saya dapat uang ...

(Sarjanto, 68th, Pengemis)

Iftitah

Demokrasi barangkali merupakan prasa hybrid, yang dengan mudah dapat dicangkokan ke dalam kosa-kata lainnya untuk banyak tujuan dan disesuaikan dengan beragam kepentingan. Tengoklah beberapa istilah seperti: demokrasi perwakilan, demokrasi pancasila, demokrasi langsung, demokrasi parlementarian, demokrasi prosedural, demokrasi substantif, demokrasi deliberatif, dan lain sebagainya.

Filosof politik asal AS, Ronald Dworkin, belakangan menawarkan konsepsinya tentang demokrasi kemitraan (partnership democracy). Tesisnya sederhana: partisipasi politik dalam sistem demokrasi harus terbuka bagi semua. Setiap warga negara memiliki kesempatan sama dalam mempengaruhi proses politik. Konsep itu ditawarkan berdasarkan keprihatinan atas cacat serius yang diderita demokrasi mayoritarian. Terutama, kecenderungan dimana demokrasi mayoritas menciptakan diskrepansi kepentingan antara politisi dan konstituennya.

Ronald Dworkin tentu bukan pakar terakhir yang mencoba melakukan redefinisi terhadap demokrasi. Masih akan ada ratusan atau bahkan mungkin ribuan event seminar, workshop, kolokium, atau beragam forum ilmiah lainnya yang mencoba memikir ulang tentang demokrasi. Tak kalah dengan ’kegenitan’ para intelektual, di level praksis, para politisi di sejumlah kawasan juga berlomba menawarkan ragam makna dan terus mereproduksi model demokrasi yang diharapkannya akan menjadi mainsteam.

Di tengah hiruk pikuk wacana dan narasi besar tentang demokrasi, pantas pula kiranya kita juga mendengar suara lain yang seringkali justru tak pernah terdengar suaranya (voice of voiceless) dalam demokrasi. Salah satunya, suara dari kaum pinggiran seperti pengemis. Bagaimana mereka memaknai demokrasi dan apa pula makna demokrasi bagi mereka? Kalau demokrasi seringkali dilekatkan dan dinisbatkan pada politik, maka petuah Adrian Leftwich menjadi relevan dalam konteks ini, Politics is at the heart of all collective social activity, formal and informal, public and private, in all human group, institutions and societies”.

Demokrasi – Demonstrasi – Pemilu

Vonie (9 tahun), pengemis yang sering mangkal di perapatan Kentungan, Sleman, Yogyakarta bukan saja tidak paham teori demokrasi namun malah tidak tahu sama sekali apa itu demokrasi. Meskipun praktik-praktik demokrasi ada di seputar dirinya dan lingkungannya, namun itu tidak disadarinya sebagai sebuah proses demokrasi. Baginya, Pemilu lebih populer ketimbang demokrasi itu sendiri.

Hal yang relatif sama juga dikemukakan Sarjanto (68 tahun), pengemis keliling asal Playen-Gunungkidul yang sudah malang melintang di Kota Yogyakarta. Ia menilai demokrasi tidak lebih dari demonstrasi, entah itu demonstrasi kekuasaan yang ditunjukkan oleh para penguasa atau demonstrasi kekecewaan yang ditunjukkan terutama oleh mahasiswa dan rakyat yang tidak puas. Baginya, demokrasi atau bahkan reformasi pun tidak terlalu penting dalam hidupnya. “Yang penting hari ini dan terus tiap hari saya dapat uang, uang yang halal dari meminta-minta, bukan dengan memaksa-maksa,” ujarnya.

Pilihan “Rationale Choice”

Di tengah keterhimpitannya, para pengemis –setidaknya dari dua informan yang diwawancarai— menikmati keterbatasannya secara santai dan bertanggung jawab. Vonie, misalnya, memaknai profesinya dari keterpaksaan menjadi suatu keceriaan yang menyenangkan. Sementara Sarjanto, memaknai pola hidupnya yang nomaden sebagai tamasya yang menyenangkan.

Meskipun Vonie dan Sarjanto tidak paham teori demokrasi maupun teori politik, nampaknya ia telah memilih dan menjalankan ‘pilihan teoretik’.Dalam banyak kasus mereka seringkali melakukan rationale choice dalam bertindak. Vonie, misalnya, mencoba menyiasati jadwal “praktek ngemis” dengan jadwal sekolah. Sementara Sarjanto memilih ngemis keliling diantara masjid dan gereja merupakan pilihan cerdik sebagai bagian dari mekanisme pertahanan demi survivalitasnya.

Power of Powerless

Secara sepintas kita seringkali memandang orang-orang pinggiran seperti pengemis sebagai sampah tak berguna. Mereka sepertinya bukan apa-apa karena memang tampak tidak memiliki apapun. Namun pemaknaan mereka terhadap realitas ternyata punya sisi-sisi yang menarik dan tampaknya mereka pun punya rasionalitasnya sendiri dalam menafsir realitas sebagai fenomena. Sarjanto, misalnya, menjelang Pemilu ia menerima uang dari banyak partai tapi ketika hari pencoblosan tiba, ia malah memilih pergi keliling untuk mengemis ketimbang masuk ke bilik suara.

Fenomena ini sekaligus juga menjelaskan apa yang disebut James Scoot sebagai power of powerless. Cara pandang ini banyak digunakan dalam memperlihatkan adanya senjata kaum yang lemah (weapon of the weak) melalui konsep perlawananan yang tersembunyi. Dengan demikian, kekuasaan sejatinya tidak berjalan searah –dari orang yang berkuasa ke orang yang tidak berkuasa– namun bisa berjalan dua arah, dimana orang yang tidak memiliki kekuasaan (powerless) justru mempunyai kekuasaan untuk melawan secara diam-diam.

Akhirul Kalam

Setidaknya, kita bisa mendekati demokrasi dari dua hal, yaitu makna (meaning) dan nilai (values). Secara maknawi kata demokrasi sering merefer istilah Yunani demos (rakyat) dan kratein atau kratos (kekuasaan). Karenanya demokrasi seringkali dimaknai sebagai bentuk kekuasaan dimana kedaulatan ada di tangan rakyat. Dari sisi nilai, demokrasi sering dideskripsikan pada serentetan nilai sebagai parameter utamanya, yaitu: kebebasan (freedom), kesetaraan (equality), dan keturutsertaan (partisipasi).

Makna dan nilai demokrasi itu karenanya menuntun dan memosisikan demokrasi semestinya menjadi milik semua orang. Bukan saja akademisi dan politisi yang punya keabsahan memaknai demokrasi. Demokrasi bukan hanya monopoli penguasa dan pengusaha. Demokrasi harus menjadi milik kelompok demokrat sampai kelompok melarat. Semua orang punya hak yang sama untuk memiliki dan memaknai demokrasi secara setara, termasuk kelompok marginal seperti pengemis. ***

13105297421924622496
13105297421924622496

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun