Sofian Munawar Asgart
Peneliti the Interseksi Foundation, Jakarta
[caption id="attachment_350981" align="aligncenter" width="876" caption="marka jalan menuju mandar (sumber: sasgart/dok.interseksi)"][/caption]
Saya merasa beruntung memiliki kesempatan untuk mengunjungi seluruh provinsi di negeri ini dalam ragam penelitian dengan berbagai institusi. Perjalanan dan pekerjaan penelitian yang telah saya lakukan di berbagai tempat itu sungguh telah menguatkan keyakinan saya mengenai potensi dan keragaman negeri ini. Termasuk dan terutama potensi dan keragaman pariwisata Indonesia yang begitu mengagumkan. Bentangan bahari nan amat luas, lembah, ngarai, bukit, dan gunung-gunung menjulang dengan ragam pesonanya menjadi saksi betapa indahnya negeri ini. Tidaklah berlebihan jika disebutkan bahwa Indonesia merupakan zamrud khatulistiwa yang menyajikan lanskap alam yang lengkap. Khazanah wisata Indonesia juga seakan disempurnakan dengan ragam wisata seni-budaya yang sangat kaya.
Tulisan kecil ini adalah salah satu “oleh-oleh” perjalanan penelitian saya yang paling mutakhir. Pada rentang waktu 2013-2015, Yayasan Interseksi, lembaga penelitian tempat saya bekerja memiliki program “Penulisan Kota-Kota di Sulawesi”. Ada tujuh kota di enam provinsi yang dijadikan lokus penelitian, yaitu Kota Baubau (Sulawesi Tenggara), Kabupaten Donggala (Sulawesi Tengah), Kabupaten Mamasa (Sulawesi Barat), Kabupaten Maros (Sulawesi Selatan), Kabupaten Minahasa Utara (Sulawesi Utara), Kabupaten Gorontalo dan Pohuwato (Gorontalo). Dalam proyek penelitian kali ini saya mendapat “jatah berpetualang” di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, provinsi yang seringkali diidentifikasi sebagai “Tanah Mandar”. Meskipun penelitian formal saya hanya di Kabupaten Mamasa, tapi saya berkesempatan menjelajahi seluruh kabupaten di wilayah Sulawesi Barat dengan segala keindahan alam dan keragaman kekayaan budayanya.
Pesona Mandar
Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) dibentuk pada 2004 berdasarkan UU No.26 Tahun 2004 yang merupakan pemekaran dari Sulawesi Selatan (Sulsel). Terlepas dari “proyek politik” yang mengiringinya, pemisahan Sulbar dari Sulsel telah memposisikan Suku Mandar sebagai etnis dominan di wilayah ini selain Bugis dan Toraja. Pemekaran ini seolah mengembalikan catatan historis Staatblad No.325 Tahun 1916 yang menyatukan wilayah ini sebagai satu kawasan “Afdeling Mandar”. Tak heran jika banyak pihak kemudian mengasosiasikan wilayah ini sebagai “Provinsi Mandar” yang kini terbagi ke dalam lima wilayah, yaitu: Majene, Polewali Mandar, Mamasa, Mamuju, dan Mamuju Utara.
Secara geo-spasial wilayah ini memiliki posisi strategis tersendiri. Provinsi yang memiliki luas 16.787,18 Km2ini berada pada titik tengah dalam hubungannya dengan wilayah-wilayah yang mengitarinya, yaitu Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Timur. Selain itu, letaknya berada pada sekitar garis khatulistiwa, tepatnya antara 0o 45'59'' Lintang Selatan, 03o 34'0'' Lintang Selatan, serta 118o 48'59''Bujur Timur hingga 119o 55'06''Bujur Timur. Provinsi Sulbar juga memiliki laut sepanjang Selat Makassar yang merupakan jalur lintas pelayaran internasional. Posisi strategis ini dapat dilihat dalam peta berikut.
[caption id="attachment_350931" align="aligncenter" width="300" caption="peta sulawesi barat (sumber: www.sulbar.go.id)"]
Dalam lanskap makro pembangunan Provinsi Sulbar ada semacam pembagian peran dan fokus pembangunan antar-region. Wilayah Kabupaten Mamuju dan sekitarnya diandalkan menjadi pusat pemerintahan Provinsi Sulbar, Kabupaten Majene diproyeksikan sebagai kota pendidikan, Kabupaten Polewali sebagai pusat pengembangan ekonomi dan perdagangan. Sementara Kabupaten Mamasa diandalkan menjadi “Kota Pariwisata”. Untuk menopang rencana itu, pemerintah Provinsi Sulbar, bahkan, telah memberikan dukungan khusus melalui Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Barat No.15 Tahun 2008. SK Gubernur Sulbar ini telah menetapkan Kabupaten Mamasa sebagai destinasi wisata Sulbar. Namun begitu, bukan berarti hanya Kabupaten Mamasa yang menjadi andalan pariwisata Sulbar. Menurut Gubernur Sulbar, Anwar Adnan Saleh, dalam konteks pengembangan pariwisata semua kawasan di Provinsi Sulbar memiliki pesona dan nilai tambah sendiri-sendiri. Dari sisi pariwisata, potensi Sulbar sangat lengkap, mulai dari bentangan alam pegunungan, wilayah pantai nan amat luas dan keanekaragaman budayanya yang sangat kaya.
Ragam Wisata
Selain menyuguhkan ragam wisata yang kaya, tanah Mandar memiliki daya dukung yang kuat untuk pengembangan pariwisata, seperti suasana kehidupan sosialnya yang aman, tertib dan sikap masyarakatnya yang sangat ramah. Alhasil, jika konsep “sapta pesona” dijadikan rujukan atau parameter dalam pengembangan pariwisata maka sesungguhnya wilayah Mandar memilikikansbesar untuk dikembangkan. Sebagaimana kita mafhumi bahwa “sapta pesona” merupakan kondisi yang harus diwujudkan suatu daerah dalam rangka menarik minat para wisatawan datang berkunjung ke daerah itu. Sapta pesona terdiri dari tujuh unsur yang dapat mendukung pengembangan pariwisata, yaitu: aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah-tamah, dan kenangan. Dengan melihat berbagai potensi yang dimiliki, wilayah Mandar –mulai dari Majene, Polewali Mandar, Mamasa, Mamuju, hingga Mamuju Utara– memiliki peluang besar untuk dikembangkan sebagai kawasan pariwisata.
Kabupaten Majene merupakan salah satu kota pantai tertua di region Sulawesi. Sejak masa kolonial, Majene menjadi pusat “Afdeling Mandar”. Majene yang letaknya tepat di sisi Barat Sulawesi memiliki garis pantai sekitar 125 km, memanjang dari selatan hingga ke utara. Saat kita melintas wilayah ini, panorama pantai menjadi pemandangan yang dominan. Gugusan pantai nan indah dengan mudah dapat kita saksikan sepanjang garis pantai ini, salah satunya adalah Pantai Dato yang terkenal dengan pasir putih dan karangnya yang cantik. Karang yang berlobang dan agak menjorok kelaut itu tampak kian indah karena hantaman ombak yang terus mengukirnya. Tidak hanya objek wisata pantai, Majene juga memiliki objek wisata lain seperti Puncak Salabose, air terjun Malle, air terjun Limboro, permandian air panas Makula serta obyek wisata sejarah Makam Raja-raja Banggae. Selain itu, Majene juga memiliki beberapa sentra industri kerajinan produk khas Majene, seperti tenun sutera khas Mandar di Desa Bonde dan kerajinanminiatur kapal Sandeq yang dapat dijadikan oleh-oleh selain ragam olahan ikan yang menjadi kuliner khas Majene.
[caption id="attachment_350932" align="aligncenter" width="300" caption="replika kapal sandeq (sumber: sasgart/doc.interseksi)"]
Kabupaten Polewali-Mandar (Polman) selain memiliki wisata bahari dengan sajian kepulauan dan pesisir pantainya yang menawan juga memiliki objek wisata pedalaman serta wisata budaya yang cukup beragam seperti situs-situs bersejarah. Polman bukan saja memiliki wilayah pesisir yang indah, tapi juga daerah pedalaman yang menyajikan hamparan sawah dan perkebunan yang hijau. Selain wisata bahari, Polman kini mengembangkan “wisata tirta” dan “agro wisata”. Ada sejumlah tempat yang dijadikan objek wisata tirta seperti air terjun bersusun Indo Rannoang dan pemandian Limbong, keduanya berada di Kecamatan Andreapi. Selain itu, objek wisata tirta lainnya juga dapat ditemui di Biru Kecamatan Binuang atau Limbong Miala dan Limbong Kamandang di desa Kurra Kecamatan Tapango.Objek wisata tirta lainnya yang cukup terkenal adalah Sekka-sekka yang terletak di Batupanga Kecamatan Luyo, jaraknya sekitar 5 Km dari Polewali. Sementara agro wisata Polman terutama pengembangan jenis buah-buahan yang menjadi komoditas andalan Polman, seperti durian, langsat dan rambutan.
Mamuju merupakan wilayah paling luas di Provinsi Sulbar. Karenanya, wilayah yang menjadi ibukota Provinsi Sulbar ini terus dimekarkan menjadi Kota Mamuju, Kabupaten Mamuju Utara dan kini lahir juga Kabupaten Mamuju tengah. Wilayah Mamuju seperti halnya daerah Mandar lainnya merupakan kota pesisir dengan kawasan pantai yang cukup luas. Salah satu kawasan pantai yang paling terkenal di Mamuju adalah Pantai Manakarra. Kawasan pantai ini seringkali dinisbatkan sebagai “Losari-nya” Mamuju karena keindahan dan keramaiannya menyerupai Pantai Losari, Makassar. Pantai Manakarra kini menjadi salah satu tempat favorit warga Mamuju dan sekitarnya. Pada akhir pekan dan hari-hari libur kawasan ini kerap dipadati wisatawan lokal maupun para pelancong dari luar Mamuju. Puncak keramaian di Pantai Manakarra biasanya menjelang bulan Agustus dimana perayaan Hari Jadi Kota Mamuju bertepatan dengan perayaan hari Kemerdekaan RI seringkali dimeriahkan dengan “Sandeq Race”, lomba perahu khas Mandar. Saat ini Kota Mamuju juga telah memiliki landmark seperti di Hollywood, yaitu landmark bertuliskan MAMUJU CITY, tulisan besar yang terpampang di bukit Kelapa Tujuh, tapi tampak jelas terbaca dari pusat Kota Mamuju.
[caption id="attachment_350934" align="aligncenter" width="300" caption="view pantai mamuju dari atas (sumber: sasgart/doc.interseksi)"]
Agak berbeda dengan daerah-daerah lainnya di Provinsi Sulbar yang umumnya merupakan kawasan bahari, Kabupaten Mamasa merupakan kawasan pegunungan dan hutan. Jika kita melakukan perjalanan antara Polman dan Mamasa, kawasan hutan dan pegunungan akan tampak menjadi pemandangan yang dominan. Menurut data Dinas Kehutanan Kabupaten Mamasa (2012) sebagian besar wilayah Kabupaten Mamasa, yaitu sekitar 67,77 persen masih merupakan wilayah hutan. Namun inilah justru nilai tambahnya, hutan primer yang masih lestari, sejuknya udara pegunungan dan sungai-sungai yang berkelok-kelok merupakan panorama alam yang menakjubkan. Hampir di setiap kecamatan di wilayah Mamasa terdapat air terjun yang indah dengan sumber mata air yang jernih. Selain itu, wisata budaya, terutama rumah-rumah adat bercorak Toraja juga dapat kita jumpai di hampir setiap kecamatan. “Pariwisata akan terus kita kembangkan sebagai sektor prioritas Mamasa. Dengan alam pegunungan yang asri kita harapkan para wisatawan yang akan ke Toraja singgah terlebih dahulu di Mamasa,” ucap Bupati Mamasa, Ramlan Badawi. Sayangnya, infrastruktur jalan dan transportasi publik di Mamasa masih belum memadai sehingga potensi wisata yang demikian besar itu belum bisa dioptimalkan.
[caption id="attachment_350935" align="aligncenter" width="557" caption="panorama pegunungan mamasa (sumber: sasgart/doc.interseksi)"]
Menyambungkan Laut dan Gunung
Tanah Mandar memiliki potensi wisata yang amat besar. Potensi ini tentu akan lebih strategis bila diintegrasikan satu sama lain sehingga bisa dijual sebagai satu kesatuan “paket wisata” secara terintegrasi. Salah satu kuncinya adalah bagaimana bisa “menyambungkan” potensi wisata bahari dengan potensi wisata pedalaman dan pegunungan secara simultan. Salah satu titik lemah yang tampak saat ini adalah masih sangat terbatasnya infrastruktur jalan, terutama menuju daerah pedalaman dan pegunungan di kawasan Mamasa. Padahal wilayah Mamasa justru telah ditunjuk sebagai destinasi wisata utama oleh Gubernur Sulbar melalui SK Gubernur No.15 tahun 2008. Tentu menjadi hal yang ironi ketika infrastruktur jalan masih menjadi kendala di saat kampanye pariwisata terus digelorakan.
Keterbatasan infrastruktur jalan ini telah mendorong Gubernur Sulbar, Anwar Adnan Saleh membuat terobosan dengan menawarkan pembangunan bandara perintis sebagai transportasi alternatif di Kabupaten Mamasa. Rencana pembangunan bandara ini sudah mulai disampaikan Gubernur Sulbar sejak 2010 kepada pemerintah pusat melalui Departemen Perhubungan. Gubernur Sulbar berharap dibangunnya bandara di Kabupaten Mamasa dapat menjadikan Kabupaten Mamasa yang berada di wilayah perbukitan di Sulbar dengan jarak sekitar 300 kilometer dari ibukota provinsi Sulbar ini tidak lagi dikategorikan sebagai daerah terisolir karena medannya yang sulit dijangkau. Selain itu, hadirnya bandara di Kabupaten Mamasa diharapkan akan meningkatkan daya tarik pariwisata sebagai salah satu potensi andalan di Provinsi Sulbar.
[caption id="attachment_350936" align="aligncenter" width="553" caption="pesawat "]
Bak gayung bersambut kata berjawab. Rencana ini mendapat persetujuan pemerintah pusat. Melalui Kementerian Perhubungan, pemerintah pusat menyetujui rencana ini dan menganggarkan dana sekitar Rp 267 miliar untuk pembangunan bandara di Kabupaten Mamasa. Anggaran sebesar Rp 267 miliar ini bersumber dari APBN yang akan dikucurkan secara bertahap mulai tahun 2010 hingga 2013. Pada 2011, pemerintah pusat telah menggelontorkan dana sebesar 38 miliar dari 50 miliar yang diajukan. Berikutnya, pada 2012 pembangunan bandara ini telah menghabiskan dana sebesar 54 miliar. Dana ini selain dari anggaran APBN, 14 miliar diantaranya bersumber dari APBD Provinsi Sulbar.
Namun pada kenyataannya hingga akhir 2013 bandara yang akan diandalkan sebagai jalur transportasi alternatif untuk mendorong kemajuan pariwisata itu belum juga terwujud. Tak pelak wacana dan realisasi pembangunan bandara itu kemudian sempat menyulut polemik, pro-kontra baik di Kabupaten Mamasa maupun di wilayah Sulbar pada umumnya. Setelah melewati pro-kontra yang cukup lama, Bandara Mamasa akhirnya diresmikan dan mulai beroperasi 14 Maret 2014. Namun hingga kini fungsi bandara ini seperti kurang maksimal. Dengan jadwal penerbangan seminggu sekali tampaknya jalur udara ini belum menjadi pilihan, apalagi berkontribusi pada peningkatan aktivitas wisata. Ada kegetiran yang saya rasakan ketika saya menggunakan pesawat “Aviastar” dari Mamuju menuju Mamasa. Pesawat mungil berkapasitas 18-20 orang penumpang itu terasa begitu besar dan “longgar” karena ternyata saya merupakan penumpang satu-satunya. “Penumpangnya masih sepi, kadang jadwal dikensel karena tidak ada penumpang.” ucap Yohanes, satu-satunya petugas bandara yang merangkap sebagai petugas keamanan di bandara itu.
Untuk menyambungkan potensi laut dan gunung dalam konteks pengembangan pariwisata di Provinsi Sulbar tampaknya harus segera dicari jalan keluar. Perlu dipikirkan sinergi kebijakan secara sistemik sehingga ada sinkronisasi program yang saling menopang satu sama lain. Konkretnya, misalnya program lintas-departemen antara Dinas Pariwisata dan Dinas Pekerjaan Umum untuk melakukan perbaikan infrastruktur jalan guna mendukung pengembangan pariwisata di kawasan ini. Salah satunya yang paling masuk akal adalah membangun jalan trans-Sulbar yang mampu menyambungkan simpul-simpul region yang selama ini masih terisolir, terutama di wilayah pegunungan Mamasa. Terhubungnya wilayah pantai dan pegunungan di Provinsi Sulbar bukan saja akan mendongkrak aktivitas pariwisata, tapi sekaligus akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.***
[caption id="attachment_350991" align="aligncenter" width="926" caption="dari kiri ke kanan: landmark kota mamuju, air terjun liawan, sumarorong-mamasa, dan dermaga pelabuhan majene (sumber: sasgart/dok.interseksi)"]