[caption id="attachment_355278" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: sasgart image"][/caption]
…
Sofian Munawar Asgart
Peneliti the Interseksi Foundation, Jakarta
Ada sebuah idiom dunia kearsipan yang selalu saya ingat: Verba valent scripta manent. Frasa ini kurang-lebih memiliki makna “ucapan itu bersipat temporer, sementara tulisan itu abadi.” Point terpenting dari ungkapan ini sejatinya ingin memberi penekanan tentang pentingnya apresiasi terhadap “catatan” atau aktivitas “tulis-menulis”. Kita seringkali tidak menyadari bahwa seluruh kebudayaan manusia pada dasarnya terbentuk, terbangun, dan terkembangkan melalui pengembangan keilmuan dimana aktivitas tulis-menulis menjadi sokogurunya. Karena itu, sikap apresiatif terhadap “catatan” dan aktivitas tulis-menulis merupakan suatu bentuk penghormatan sekaligus menjadi tolok ukur kemajuan peradaban dan kehidupan itu sendiri.
Perjalanan sejarah menunjukkan –juga dengan tulisan– bahwa bangsa-bangsa yang maju peradabannya adalah bangsa yang memiliki tradisi “mencatat”. Sebut saja misalnya Yunani, Mesir, Persia, Cina, dan belakangan tentu saja Amerika, Eropa, dan Jepang. Semua adalah bangsa-bangsa yang maju dan berpengaruh sangat besar pada zamannya. Mereka adalah bangsa yang memiliki tradisi “mencatat” dan “menulis” serta tingkat apresiasi yang tinggi terhadap dunia keilmuan sehingga mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan peradaban.
Dalam era global-mondial sekarang ini memang makin banyak cara untuk meraih kebesaran dan kejayaan peradaban suatu bangsa. Namun begitu, aktivitas “mencatat” dan “menulis” sebagai bagian tak terpisahkan dari pengembangan keilmuan tetap tidak tergantikan sebagai salah satu kunci kemajuan sebuah peradaban. Karena itu, mencintai negeri ini salah satunya harus diwujudkan dengan terus menulis, menulis dan menulis: mengkaji, meneliti dan mendokumentasikan beragam aspek yang dimiliki negeri ini sebagai bahan refleksi untuk meraih kemajuan.
Menulis Indonesia melalui Kompasiana
Indonesia adalah negeri besar dengan segenap khazanah bangsa yang tidak ternilai, baik dari sisi kekayaan alam yang kita miliki, dari sisi kehidupan sosial-budaya, maupun dari sejumlah prestasi orang Indonesia yang sudah mendunia. Dari sisi kekayaan alam, misalnya, Indonesia dikenal merupakan kepulauan terbesar di dunia. Indonesia memiliki 17.504 pulau. Tercatat bahwa tiga dari enam pulau terbesar di dunia berada di Indonesia, yakni: Kalimantan, Papua, dan Sumatera. Indonesia juga dikenal sebagai Negara maritim terbesar di dunia yang memiliki luas pantai sekitar 93 ribu kilometer dan panjang pantai sekitar 81 ribu kilometer atau sekitar 25 persen dari panjang pantai dunia.
Selain itu, Indonesia juga dikenal memiliki hutan tropis terbesar di dunia dengan keaneragaman hayati terlengkap. Demikian pula kekayaan alam yang bersumber dari biota laut. Indonesia memiliki spesies ikan hiu terbanyak di dunia yang jumlahnya mencapai sekitar 150 spesies. Lautan Indonesia juga dikenal memiliki kandungan terumbu karang terlengkap dan terindah atau sering disebut sebagai segitiga coral. Konon Indonesia menyumbang sekitar 18 persen terumbu karang bagi perairan dunia.
Kita juga mewarisi kekayaan budaya adiluhung yang menggambarkan kejayaan bangsa ini sebagai pusat peradaban di masa lampau. Dari sisi kehidupan seni-budaya, misalnya, Indonesia sejatinya sudah banyak dikenal di kancah internasional. Tari Saman (Aceh), tari Randai (Minangkabau), tari Kecak dan tari Pendet (Bali) merupakan beberapa contoh seni budaya Indonesia yang sudah mendunia. Dalam seni lukis, Affandi, misalnya bukan saja terkenal lewat sejumlah karya monumentalnya. Affandi bahkan telah diabadikan namanya sebagai salah satu nama jalan di Belanda. Demikian pula dalam dunia sastra. Hamka dan Pramoedya Ananta Toer, misalnya, karya-karyanya telah banyak diterjemahkan ke dalam sejumlah bahasa dunia. Tentu masih banyak contoh-contoh lainnya yang dapat kita sebutkan yang menunjukkan bahwa Indonesia sejatinya merupakan “raksasa budaya”, tapi sayang kita sebagai anak bangsa justru tidak menyadarinya.
Sebagai negara besar, Indonesia juga bukan hanya memiliki khazanah, tapi juga masalah yang besar juga. Kemiskinan, ketimpangan, korupsi, aneka konflik dan gejolak sosial-politik kerap mewarnai kehidupan kita. Semua masalah dan khazanah bangsa ini tentu perlu dipetakan dan dicarikan alternatif solusinya secara tepat. Dalam konteks ini, aktivitas menulis –termasuk di dalamnya mengkaji, meneliti dan mendokumentasikan beragam persoalan tersebut– dapat menjadi bagian penting dari upaya mengapresiasi khasanah dan masalah bangsa ini. Dalam konteks ini, menurut saya, Kompasiana dapat dimanfaatkan tidak saja sebagai media aktualisasi diri secara personal. Lebih dari itu, Kompasiana dapat diposisikan sebagai media strategis untuk mendokumentasikan masalah dan khazanah bangsa seraya menggali sekaligus menyajikan tawaran-tawaran alternatif solisinya.
Sejak digulirkan 1 September 2008, Kompasiana terus tumbuh menjadi media warga (citizen media) yang cukup berpengaruh. Dengan puluhan ribu anggotanya yang terdaftar, ratusan tulisan per hari yang tersaji dan dengan jutaan pengunjung (netizen) setiap harinya, Kompasiana tentu telah menjadi media sosial yang diperhitungkan. Karena itu, menurut hemat saya, keberadaan Kompasiana memiliki arti penting tersendiri, terutama turut “memprovokasi” warga dalam mendorong tumbuhkembangnya budaya menulis dimana hal ini akan menjadi salah satu modal penting untuk meraih kemajuan peradaban.
Saya termasuk salah satunya yang “terprovokasi” untuk turut andil menjadi aktivis jurnalis warga di Kompasiana (Kompasianer). Sejak terdaftar sebagai Kompasianer, 13 April 2011 saya banyak memanfaatkan laman sosial media ini sebagai sarana untuk mencari sekaligus berbagi informasi. Saya memanfaatkan Kompasiana bahkan tidak saja sebagai media aktualisasi penyalur hobbi semata. Kompasiana saya manfaatkan juga untuk menyajikan ragam informasi dan temuan, mengapresiasi, mengadvokasi serta menyampaikan kritik, saran dan mengungkapkan kegundahan. Karena dunia kerja saya banyak berhubungan dengan penelitian sosial, maka aktivitas “tulis-menulis” di Kompasiana bisa disinergikan.
Saya merasa beruntung memiliki kesempatan untuk mengunjungi seluruh provinsi di negeri ini dalam ragam penelitian dengan berbagai institusi. Perjalanan dan pekerjaan penelitian yang telah saya lakukan di berbagai tempat itu sungguh telah menguatkan keyakinan saya mengenai potensi dan khazanah Indonesia yang begitu kaya. Beberapa temuan yang merupakan “oleh-oleh” perjalanan saya sudah banyak saya tuangkan di laman Kompasiana. Sub-judul tulisan berikut adalah salah satunya yang paling mutakhir ketika Yayasan Interseksi, lembaga penelitian tempat saya bekerja memiliki program “Penulisan Kota-Kota di Sulawesi”.
Catatan kecil dari Sulawesi
Jauh sebelum Indonesia merdeka, Sulawesi telah menjadi salah satu kawasan terpenting di Nusantara. Dalam kurun waktu yang cukup lama, kepulauan Sulawesi menjadi semacam perlintasan global, menjadi pusat dari jalur rempah-rempah dunia sehingga kawasan ini telah lama menjadi ajang perebutan hegemoni dan dominasi atas sumber-sumber ekonomi dan kekuasaan dari masa ke masa.
Pada awal kemerdekaan Indonesia, kawasan Sulawesipun menjadi andalan pengembangan ekonomi wilayah Indonesia bagian Timur.Beberapa pelabuhan penting di kawasan ini seperti Makassar, Pare-pare, Donggala, Baubau, Bitung, dan pelabuhan lainnya telah menjadi penghubung dengan daerah-daerah lainnya. Posisinya yang demikian strategis menjadikan kawasan ini sebagai titik silang moda pelayaran sekaligus menjadi urat nadi pengembangan ekonomi.
Datangnya era Otonomi Daerah (Otda) juga telah mendorong kian berkembangnya kawasan ini. Terbentuknya wilayah-wilayah urban baru seiring desentralisasi politik mendorong wilayah Sulawesi kian dinamik. Sulawesi yang pada awal kemerdekaan hanya merupakan satu provinsi, menjelang berakhirnya Orde Baru berkembang menjadi enam provinsi. Perkembangan paling signifikan terjadi pada era Otda dengan adanya lonjakan penambahan jumlah kota dan kabupaten secara cukup massif. Sebelum era Otda, hanya terdapat 17 kabupaten/kota di Sulawesi. Setelah era Otda jumlahnya melonjak menjadi 95 kabupaten/kota.
Era demokrasi dan otonomi daerah ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi melahirkan beragam harapan dan peluang, namun pada waktu bersamaan juga menghadirkan problematik tersendiri yang tentu saja tidak sederhana. Dinamika politik lokal yang terjadi di Sulawesi seiring era desentralisasi politik antara lain dapat dilihat dari beberapa fenomena, seperti pemekaran wilayah, Pilkada dan pergeseran kekuasaan, munculnya dinasti politik, serta situasi politik-demokratik pada umumnya.
Pemekaran wilayah menjadi tumpuan baru yang diharapkan banyak pihak dapat mengubah dan memperbaiki keadaan. Namun demikian, idealitas ini tidak serta-merta terwujud dalam tataran realitasnya. Di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, misalnya, pemekaran yang telah berjalan selama 12 tahun tidak memberikan perubahan signifikan. Tahun-tahun awal pemekaran Kabupaten Mamasa bahkan menyuguhkan sejumlah masalah yang cukup mencemaskan. Selain menyisakan konflik di sejumlah wilayah, pemekaran juga seolah telah turut mendorong merebaknya korupsi. Sementara idealisasi lahirnya Kabupaten Mamasa yang lebih maju dalam bidang infrastruktur dan perbaikan sarana-sarana publik tidak kunjung tiba. Ironisnya lagi, Kabupaten Mamasa tetap saja masih tercatat sebagai daerah tertinggal. Kabupaten Mamasa, bahkan, menjadi daerah paling terbelakang di Sulawesi Barat.
Pemekaran Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah juga menyisakan banyak persoalan. Donggala sebenarnya merupakan kota tertua di Sulawesi Tengah. Hingga saat ini Donggala telah mengalami empat kali pemekaran. Kabupaten Toli-toli, Kota Palu, Kabupaten Parigi Mountong, dan Kabupaten Sigiadalah daerah yang sebelumnya merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Donggala. Sedikit berbeda dengan fenomena di Kabupaten Mamasa, pemekaran Kabupaten Donggala justru seolah “memiskinkan” kabupaten induk. Proses pemekaran yang terjadi empat kali itu bukan saja telah menciutkan wilayah Donggala menjadi kian mengecil, tapi fenomena ini seolah merampas sumber-sumber ekonomi penting. Salah satunya yang cukup signifikan adalah Pelabuhan Donggala yang kian hari kian merana karena kehilangan fungsi vitalnya sebagai penggerak nadi ekonomi.
Pilkada dan pergeseran kekuasaan juga menjadi fenomena menarik lainnya yang terjadi dalam dinamika politik lokal di Sulawesi. Dalam konteks politik kepartaian, Sulawesi seringkali diidentifikasi sebagai “Imperium Golkar” karena sejak lama partai ini mendominasi Sulawesi. Namun hal ini sepertinya akan mulai bergeser. Ini tampak antara lain dalam beberapa ajang Pilkada, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Pilkada Sulawesi Tengah pada 2011 dimenangkan pasangan Longki Djanggola – Sudarto yang diusung Partai Gerindra dan Partai Hanura. Sementara kursi Gubernur Sulawesi Tenggara sejak 2008 hingga kini digenggam Nur Alam dari Partai Amanat Nasional (PAN).
Di level kabupaten, dominasi Golkar juga sudah mulai disaingi partai-partai lain. Di Kabupaten Maros, misalnya, Golkar yang sebelumnya langganan juara dalam perebutan kursi DPRD kini dikalahkan PAN. Pada Pemilu 2014, Golkar hanya meraih 5 kursi, sementara PAN berhasil mengungguli dengan meraih 10 kursi DPRD Kabupaten Maros. Fenomena serupa juga terjadi di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara. Di wlayah bekas Kesultanan Buton ini suara Golkar kian terpuruk. Di Kota Baubau, PAN,PPP, dan PBB tampaknya lebih berhasil mendekati keluarga kraton dan memanfaatkan simbol-simbol kulturalnya sehingga mampu meraih suara signifikan dalam perebutan kursi DPRD maupun dalam kontestasi Pilkada.
Geliat politik lokal di Sulawesi juga melahirkan fenomena menarik lainnya yaitu munculnya “dinasti politik”. Di Makassar yang menjadi sentrum Sulawesi, keluarga Yasin Limpo berhasil membangun dinasti politik yang sangat kuat. Sejumlah kerabat Yasin Limpo menduduki posisi-posisi politik penting, mulai dari Gubernur, Sekda, Kepala Dinas, Ketua DPRD dan sejumlah anggota DPRD lintas partai. Jika sebelumnya kerabat Yasin Limpo hanya berada di Partai Golkar, kini menyebar ke partai lain: PAN, Gerindra, Hanura, dan Nasdem. Gejala dinasti politik ini sepertinya juga akan diikuti beberapa elit politik lainnya seperti di Kabupaten Maros. Hatta Rahman, Bupati Maros saat ini memiliki enam orang kerabat dekat yang berhasil masuk menjadi anggota DPRD Kabupaten Maros.
Selain dinasti politik, praktik-praktik “elitisasi” dan personifikasi jabatan publik juga mulai menggejala di Sulawesi. Di Kabupaten Gorontalo, misalnya beberapa landmark kota yang dibangun selalu menggunakan nama bupati. “Pakaya Tower” yang sebelumnya bernama “Menara Keagungan” misalnya, namanya dinisbatkan pada Bupati Gorontalo periode 2000-2005, Acmad Hoesa Pakaya. Demikian juga Gedung Martin Lipoto dan Gedung Kasmat Lahay. Bahkan, terminal baru Kabupaten Gorontalo akan diberi nama Terminal Iman Noriman, Bupati Gorontalo sebelumnya.
Situasi dan kondisi politik lokal seperti ini tentu sangat tidak ideal. Namun ironisnya, kondisi ini justru diperparah lagi dengan masih tingginya praktik money politics, baik dalam pemilu legislatif maupun dalam Pilkada. Di Minahasa Utara, Sulawesi Utara misalnya, kecenderungan masyarakat menganggap bahwa praktik money politics merupakan hal yang lumrah. “Saya yakin, 100 persen politisi menggunakan politik uang saat pemilu,” ucap salah seorang warga Likupang, Minahasa Utara. Hal serupa juga masih banyak terjadi di sejumlah tempat dimana musim Pemilu seringkali diidentifikasi sebagai musim amplop atau musim panen. Hal ini setidaknya tercermin dalam sebuah spanduk di salah satu sudut kampung di salah satu kabupaten di Sulawesi: “Kami siap menerima serangan fajar …”
Namun begitu, ada banyak catatan positif yang juga bisa diungkap. Salah satunya seperti yang terjadi di Kabupaten Gorontalo. Adalah David Bobihue, Bupati Gorontalo yang mencanangkan program Government Mobile (GM). GM merupakan program pelayanan masyarakat yang dilakukan dengan metode jemput bola. Teknisnya dilakukan dengan cara mengunjungi langsung kecamatan dan desa-desa, dimana pelayanan dipusatkan di kecamatan-kecamatan secara bergilir tiap dua hari. Pelayanan yang dilakukan misalnya pelayanan KTP, KK, surat ijin, dan lainnya. Program GM ini telah dilakukan David Bobihue sejak periode pertama menjabat yakni pada 2005-2010 hingga saat ini. Masyarakat menyambut program ini secara positif karena dipandang sebagai upaya konkret mendekatkan birokrasi pada masyarakat.
Contoh lainnya yang fenomenal adalah Program Pengembangan Hutan Desa yang dicanangkan Nurdin Abdullah, Bupati Bantaeng, Sulawesi Selatan. Program ini telah berhasil menjadikan Bantaeng sebagai kota hijau yang kian memikat. Program ini bukan saja telah menjadi percontohan di Asia Tenggara dan menjadikan Bantaeng sebagai salah satu jaringan kota hijau dunia, namun seolah telah mengembalikan kejayaan Bantaeng sebagai salah satu kota tertua di Sulawesi. Sejumlah catatan positif ini juga akan turut membantu mengharumkan dan menghadirkan kembali Sulawesi sebagai salah satu ikon terpenting di negeri ini.
Selain itu, tentu saja masih banyak cerita dan temuan lain dari negeri ini yang harus segera dicatat dan dituliskan … Bila mencatat dan menulis tentang Indonesia kita sepakati sebagai salah satu wujud cinta kita pada negeri ini, maka dapat dipastikan bahwa tugas kita untuk “Menulis Indonesia” adalah tugas yang tidak akan pernah tuntas. Mencinta dan menulis Indonesia adalah tugas kita, selamanya …
[caption id="attachment_355279" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: dok.interseksi/sasgart"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H