Mohon tunggu...
Sasetya wilutama
Sasetya wilutama Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Pemerhati budaya

Mantan redaktur majalah berbahasa Jawa Penyebar Semangat Surabaya dan pensiunan SCTV Jakarta. Kini tinggal di Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perundungan Guru dan Murid Bermasalah Menjadi Topik Pengajian Maiyah Bangbang Wetan di Stikosa AWS

28 November 2024   00:22 Diperbarui: 28 November 2024   00:39 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana pengajian maiyah Bangbang Wetan di halaman kampus Stikosa AWS (Foto : Sas)

Masalah perundungan terhadap guru, murid bermasalah dan arah pendidikan nasional menjadi bahasan sersan (serius tapi santai) dalam pengajian maiyah komunitas Bangbang Wetan di halaman kampus Stikosa AWS (sebelum tahun 1985 bernama Akademi Wartawan Surabaya), Jl. Nginden Intan Timur I/18 Surabaya, Sabtu malam (23/11). Seperti biasa pengajian maiyah ini selalu dipenuhi para jamaah yang sebagian besar anak muda. Majelis ilmu pengajian maiyah ini merupakan kali ketiga yang diadakan di kampus Stikosa AWS  yang baru saja merayakan Dies Natalis ke-60.

Bertema "Menakar Ruang Ajar", acara ini menghadirkan maskot Bangbang Wetan, Sabrang Mawa Damar Panuluh alias Sabrang Neo Letto, putra budayawan & dai Emha Ainun Nasib. Disamping itu sejumlah tokoh pendidikan menyemarakkan diskusi di panggung terbuka tersebut. Antara lain, Sukowidodo, pakar komunikasi politik dari Unair & anggota Dewan Pendidikan Jawa Timur, Jokhanan Kristiyono, Ketua Stikosa AWS, Bagus Irawan, dosen Universitas Trunojoyo Madura, Probo Darono Yekti, dosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga, Zainal Arief, Direktur Politeknik Teknologi Nuklir Indonesia, Yudith, konten kreator Stand Up Comedy serta Agustin Ariani, pakar Filologi.

Mayoritas tokoh sangat prihatin terhadap beberapa kasus perundungan guru yang terjadi belakangan ini. Yang terakhir adalah kasus Bu Supriani, sang guru honorer yang dilaporkan polisi oleh orangtua siswa dengan tuduhan menganiaya anaknya. Walaupun akhirnya Bu Supriani diputus bebas oleh pengadilan dan bisa mengajar kembali, namun kasus tersebut merupakan lembaran hitam dalam dunia pendidikan di Indonesia. Sampai memicu banyak konten sindiran dan meme di media sosial, bahwa para guru akan membiarkan saja muridnya yang bikin gaduh di sekolah karena takut dilaporkan orangtua yang berujung laporan polisi. Salah satu tokoh menanyakan peran organisasi guru semacam PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia). Sampai dimana peran PGRI melindungi para guru ?, sindirnya.

Dulu, guru melakukan tindakan fisik dalam rangka mendidik muridnya dalam hal kedisiplinan dan mental adalah hal yang sangat biasa dalam suasana pembelajaran di sekolah. Murid tidak akan melapor ke orangtuanya jika dia mendapat hukuman dari gurunya. Namun sekarang, wali murid tidak segan-segan melabrak ke sekolah bahkan menuntut secara hukum. Seringkali tuntutan hukum ini disertai desakan ganti rugi secara material.

."Kan kasihan para guru tersebut. Sudah gajinya kecil, apalagi guru honorer, menghadapi tugas harian yang berat,  menghadapi murid-murid yang bandel dan bermasalah, masih ditambah dengan sikap arogansi orangtua siswa" kata Yudith yang mantan guru tersebut.

Jokhanan mengingatkan fenomena mayoritas orangtua masa kini yang terlalu protek terhadap anak. Ia kuatir fenomena tersebut akan menghasilkan generasi strawberry yang cemen, cengeng dan tidak tangguh menghadapi masalah. Ia mencontohkan kasus di salah satu sekolah. Gara-gara pihak sekolah terlambat menyalakan AC, salah satu siswa melapor ke orangtuanya. Lalu si orangtua marah-marah, menilpun Kepala Sekolah.

Pakar nuklir Zainal Arief mengingatkan tujuan pendidikan adalah membentuk individu yang cerdas, bermoral, berkarakter dan melalui pendidikan yang diperoleh tersebut dapat berkontribusi. Pendidikan bisa memberikan suatu harapan dan kepercayaan diri, karena mempunyai kompetensi dan bekal ilmu. Ia menyitir pendapat bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantoro, bahwa ada tiga ruang ajar untuk mencapai tujuan pendidikan. Yakni pendidikan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Secara formal dan struktural sekolah sebagai lembaga pendidikan wajib memberikan pendidikan. Namun secara moral, pendidikan dalam keluarga wajib diberikan oleh para orangtua kepada seluruh anggota keluarganya. Jika ketiga ruang ajar ini bisa sinergi maka kasus-kasus perundungan guru maupun siswa bermasalah tersebut tidak terjadi.

Hal senada tentang tiga sirkel ruang ajar itu ditegaskan oleh Sabrang. Orangtua mempunyai  kewajiban untuk mengajari anaknya nilai-nilai dan berperilaku sebagai manusia, antara lain mencakup akhlak, adab,   mau mendengarkan, dan sebagainya. Ilmu untuk menjadi manusia yang mempunyai adab harus diajarkan oleh orangtua, sebab ilmu ini dipakai setiap saat. Ia menyitir riset yang menyatakan bahwa jika situasi rumahnya dalam keadaan stabil, tidak banyak konflik, maka prestasi di sekolahnya pasti lebih bagus. Dengan demikian ia akan menjadi manusia unggul di ruang publik.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun