Mata Didit Hape atau Mbah Didit tampak berkaca-kaca menyaksikan sekelompok anak usia SD itu membaca puisi di atas panggung Rumah Budaya Rakyat, Jl. Karangmenjangan Surabaya. Hari itu, Minggu 19/11/2023 sedang digelar peluncuran buku Antologi Puisi berjudul "Pahlawanku". Penulisnya adalah anak-anak yang sedang membaca puisi di panggung itu. Mereka anak jalanan yang tiap hari mengamen, ojek payung, dan kegiatan lainnya di kawasan terminal Joyoboyo Surabaya. Mereka tergabung dalam Sanggar Seni Alang Alang, yang didirikan oleh Mbah Didit, lelaki tua itu.
Dari total 120 halaman, berisi karya puisi 22 anak jalanan yang masih bersekolah di SD dan SMP. Juga karya puisi 17 ibu-ibu peserta program BIAN (Bimbingan Ibu Anak Negeri) yang juga dibawah binaan Sanggar Seni Alang Alang. Para ibu tersebut adalah orangtua dari anggota Sanggar seni tersebut. Samiasih misalnya, merupakan orangtua tunggal dari beberapa anaknya yang tinggal di bekas bangunan trem atau stasun kereta api lama Joyoboyo. Sehari-hari Ning Samsul, panggilan kesehariannya, berjualan kopi, es teh dan sebagainya di kawasan padat penduduk tersebut. Â
Kehadiran buku antologi puisi ini tentu menambah jumlah prestasi Sanggar Alang Alang yang selama 25 tahun berkiprah membina anak-anak jalanan. Prestasi lain yang patut dicatat dari Sanggar asuhan mantan reporter TVRI Jatim adalah  saat para pengamen jalanan asuhannya terpilih sebagai pemenang dalam program "Indonesia Mencari Bakat versi Trans TV, pada tahun 2010. Mereka tergabung dalam kelompok musik "Klanthing", terdiri dari para pengamen jalanan yang biasa ngamen di atas bus kota. Bahkan grup dengan irama khas Keroncong kreatif ini sempat menjadi salah satu grup musik favorit dan sering pentas bareng dengan musisi ternama. Â
Menurut dr. Sundoro Manopo, Aktifis Peduli Sosial dan Anak serta Ketua Yayasan  Swayanaka Surabaya, kehadiran buku antologi puisi ini akan melecut motivasi anak-anak lain untuk berkarya nyata. Dari pengalamannya sebagai aktifis peduli sosial, banyak anak-anak jalanan yang kesulitan mengekspresikan emosi, sehingga bertindak hal-hal yang kurang baik. Maka melalui buku antologi ini akan menjadi wadah untuk berkreasi. Khusus mengenai judul buku antologi puisi ini, Manopo berpendapat bahwa anak-anak jalanan itu sebenarnya adalah pahlawan, dalam lingkup kecil. "Realitanya, anak-anak jalanan itu mengamen disamping untuk tambahan uang sakunya, namun ada juga yang sebagian diberikan kepada orangtuanya" ungkapnya.
Menurut Imung Mulyanto, mantan Redaktur Seni Budaya Harian Surabaya Post dan Pimred Arek TV Surabaya, mengamati karya-karya puisi dalam buku antologi ini menyiratkan persepsi anak-anak tentang pahlawan. Bagi mereka, pahlawan adalah orang yang dekat dan berjasa dalam hidupnya. Maka tersebutlah nama ibu, nenek, kakak atau guru. Tapi yang menarik, nama ayah jarang disebut. Menurut Imung, hal ini bisa dimaklumi karena mayoritas anak-anak Sanggar Alang Alang diasuh oleh orangtua tunggal, bahkan ada yang yatim piatu. Dari segi bahasa, penulis novel ini angkat jempol dengan kemampuan para penyair cilik tersebut.
Coba tengok salah satu puisi dalam buku antologi ini. Puisi berjudul "Laki-laki Hebatku" ini karya Marsha Aqila Novita, kelas 4 SD, usia 10 tahun.
Kakak.../ Kaulah laki-laki yang hebat/ Usiamu masih muda tapi harus bekerja/ Membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarga/ Kau habiskan waktumu untuk kami/ Kau menggantikan tugas ayah yang sedang sakit/ Untuk bekerja tidak mengenal lelah/ Terima kasih kakakku yang hebat//
Merunut ke belakang, 25 tahun lalu, H. Didit Hari Purnomo alias Didit Hape, adalah reporter TVRI Surabaya (kini berubah menjadi TVRI Jatim). Setiap pulang kerja, Didit selalu merasa miris dan sedih. Ia banyak meliput anak-anak jalanan yang lari menghindari kejaran petugas Satpol PP, atau jerit tangis para pedagang kaki lima yang mempertahankan rombongnya saat terjadi razia petugas. Peristiwa ini menggugah kesadaran Didit untuk menolong mereka.
Maka sepulang kerja, ia menemui para anak-anak jalanan itu. Mereka biasanya berkumpul di depan teras kantor Organda, di sebelah WC umum. Selang tiga minggu, banyak anak jalanan yang tertarik untuk mendengarkan obrolan dan arahan Didit. Maka pada tanggal 16 April 1999, secara resmi Didit mendirikan Sanggar Seni Alang Alang beranggotakan anak-anak jalanan itu. Hal ini diceritakan oleh Bunda Esha, istri Didit Hape, lewat karya puisinya yang menyentuh, Bapak Anak Negeri. Bersama istrinya, Didit bahu membahu membina anak-anak jalanan itu, khususnya di bidang seni.
Perjuangan dan kegigihan Didit Hape selama 25 tahun itu tidak sia-sia.  Ratusan trophy dan piagam hasil kejuaraan lomba musik, tari, lukis dan olahraga berjajar rapi di etalase Sanggar. Bahkan beberapa orang anak asuhnya sudah bergelar sarjana. Dari anak-anak yang tidak tahu siapa dirinya, sedang berada di mana, dan hendak melangkah ke mana, Didit telah  melahirkan anak-anak yang memiliki kesadaran  dan tahu arah tujuan hidup.
Di usianya yang ke-72, mantan reporter  itu tampak  melemah. Ia berjalan tertatih, menggunakan tongkat, dipapah oleh Bunda Esha, istrinya yang setia, menuju panggung. "Sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat bagi sesama. Dan saya hanya ingin berbuat baik" ujar Mbah Didit. ***