Nafas Paimin masih tersengal-sengal, dia berusaha keras mengatur nafasnya. Diantara semak-semak hutan lereng gunung ungaran Paimin terus berjalan menarik lengan Yunita dengan kuatnya. Yunita sudah terpincang-pincang menahan rasa sakit di telapak kaki karena berjam-jam lari menembus rimbunnya semak-semak . "Hemm...ada jembatan" gumam Paimin dalam hati. Terlihat sebuah jembatan seperti bangunan peninggalan  belanda, cukup besar dan terlihat kokoh. Paimin memutuskan beristirahat di kolong jembatan besar itu. Di bawah jembatan itu ada banyak batu-batu besar, yang paling besar  selebar meja makan, di kanan kirinya mengalir air jernih yang datang dari mata air di puncak gunung. Paimin membawa Yunita duduk di atas batu besar itu. Sunyi sekali saat itu, yang terdengar hanya surara gemericik air. Jarang sekali ada kendaraan yang lewat disitu. Jalan di atas jembatan itu adalah jalan penghubung antar desa, jalan itu menuju desa terpencil di lereng gunung, jadi memang jarang ada yang lewat.
Paimin mencoba meluruskan kaki Yunita. Paimin melihat ada goresan luka lumayan besar di betis Yunita yang mulus itu. Lalu perlahan Paimin melepas sepatu yang dikenakan Yunita, mencoba membersihkan lukanya dengan air sungai. Yunita meringis kesakitan saat kedua sepatunya dilepas. Telapak kakinya memerah dan bengkak karena berjam-jam berlari menyusuri hutan. Setelah bersih Yunita kembali direbahkan diatas batu itu. Namun karena tidak tahan melihat gemericik air gunung yang jernih, Yunita mencoba turun dari atas batu, membasuh  wajah cantiknya. Paimin hanya memandangi Yunita dari atas batu tempat dia duduk. Dalam hati Paimin sungguh mengagumi kecantikan pacarnya itu. Beberapa saat kemudian Yunita sudah berada di atas batu kembali. "Kita akan bermalam di sini, jalanan pasti masih penuh dengan polisi yang mencari kita, besok mudah-mudahan sudah aman" kata Paimin. "Terserah mas, aku udah gakkuat lagi kalo disuruh berjalan".
Memang sejak menjelang subuh kemarin Paimin dan Yunita kabur dari Losmen pak Bambang untuk menghindari sergapan aparat. Berjam-jam Paimin menggandeng Yunita berlari menembus semak-semak hutan. "Kayaknya sudah masuk waktu dzuhur nih" kata Paimin sambil meloncat ke arah batu kecil di samping batu besar tadi. Paimin mengambil air wudhlu, kemudian sholat di atas batu di samping Yunita.
Sore mulai menjelang, kedua insan tersebut masih terlelap di atas batu sambil berpelukan. Keduanya seperti lengket sekali. Sejak Paimin menjadi pacar Yunita hampir setiap hari yunita pasti bersama Paimin. Kemanapun Paimin pergi, Yunita selalu ikut. Masih dalam posisi berpelukan, Yunita memalingkan mukanya dan  tak sengaja ujung hidung Yunita menyentuh ujung hidung paimin. Paimin membuka mata perlahan, terlihatlah sebuah wajah cantik dengan kulit segar dan bersih berada di depannya dalam jarak hanya beberapa senti dari ujung hidungnya. Gairah Paimin mulai memuncak, degup jantungnya tiba-tiba makin cepat. Tanpa bicara apa-apa, Paimin menyingkap rambut Yunita yang menutupi wajah cantiknya, membelai pipinya. Yunita masih  terpejam tapi  dia bisa merasakan setiap sentuhan dari paimin. Naluri lelaki paimin takbisa dibendung lagi. Paimin mulai melampiaskan rasa cintanya, pelan dia cium kening Yunita lalu merembet ke pipi dan leher Yunitapun tak luput dari ciuman Paimin. Begitu lembut dan indah permainan Paimin. Yunita sungguh menikmatinya, tubuhnya mendesah menggeliat merespon setipa sentuhan. Bibir Yunita yang terlihat membulat dan memerah seolah sengaja menunggu seseorang melumatnya. Paimin menatap bibir itu dengan penuh gairah, pikirannya semakin liar. Sekejap kemudian Paimin sudah terlibat pergumulan dengan Yunita. Paimin melumat habis bibir Yunita dengan penuh nafsu. Yunitapun merespon kuluman Paimin. Tangan Yunita merangkul erat pundak Paimin yang sedang dimabuk asmara. Tak berhenti di situ, aksi paimin mulai merembet ke dada Yunita. Apa yang dilakukan Paimin?? sehingga Yunita mendesah-desah seperti merasakan kenikmatan yang luar biasa.
Di bawah kolong jembatan itu mereka menghabiskan malam. Adzan subuh sayup-sayup mulai terdengar di kejauhan. Yunita sudah bangun rupanya . Saat Yunita duduk dia merasakan ada yang tak beres tapi apa, dia tidak tau. Sekonyong-kongong dia teringat dan melihat bahwa baju dan celana jins belum dikancingkan. Dengan tersenyum Yunita memberesi baju dan celananya sambil memandangi paimin yang masih terpejam. Yunita mendekat ke wajah Paimin dan  dengan perlahan dia menciun kening Paimin. "Makasih sayang" bisik Yunita sambil tersenyum penuh arti.
Suara ayam hutan berkokok  bersahut-sahutan, tandanya pagi sudah menjelang. Paimin bangun  dan mengambil air wudhlu lalu sembayang subuh di atas batu. Yunita turun ke batu yang lebih kecil di mulut kolong jembatan. Dia terus-terusan membasuh mukanya dengan air gunung yang jernih itu seolah tidak ingin kehilangan kesegarannya.
Paimin dan Yunita sejak kemarin memang belum makan nasi, hanya sesisir buah pisang yang ditemukan Paimin di hutan yang mengganjal perut mereka. Tidak lama kemudian Paimin dan Yunita sudah berjalan kembali mencari jalan raya. Satu jam sudah mereka berjalan namun belum juga menemukan jalan raya. "Ohh salah, harusnya kita berjalan kearah kiri agar cepat memotong jalan" Paimin mencoba mengingat-ingat posisi jalan raya di sekitar itu. Benar...taklama kemudian akhirnya mereka menemukan jalan raya. Sambil menunggu di tepi jalan diantara rimbunnya semak-semak Paimin mulai memeras otak bagaimana caranya naik truk agar dia bisa sampai ke kota tanpa ketahuan pengemudinya. Karena kalo sampai ada yang tahu, Paimin khawatir mereka akan lapor aparat dan dia akan ditangkap. Paimin cukup encer juga otaknya, matahri memang belum terang benar. Susasana disitu berkabut dan masih terlihat temaram. Semenit kemudian  ada truk yang berhenti karena ada pohon pisang menghalangi jalan. Paiminlah yang sengaja menaruh pohon pisang di tengah jalan itu dan saat truk berhenti itu, Paimin langsung naik ke truk pengangkut sayur dan buah itu lalu menyelinap ke balik terpal. Yunita mengikuti Paimin naik dan bersembunyi di tumpukan sayuran dan buah-buahan. Sopir Truk itu tidak tau kalau baru saja ada dua orang yang menyelinap. Setelah sopir truk berhasil menyingkirkan pohon pisang itu, maka truk kembali melaju kencang menyusuri lika - liku jalan menurun di lereng pegunungan.
Udara pagi itu terasa sangat segar sekali, Paimin dan Yunita berdiri di atas tumpukan sayuran menatap kedepan menikmati panorama pegunungan yang begitu indah saat matahari mulai terbit. Wajah mereka menampakkan keceriaan seoalah tidak ada masalah yang menimpa. Paimin memeluk Yunita dari belakang, mereka malah bercanda sambil berperan membayangkan leonardo d caprio saat memeluk kate winslet dalam film Titanic. Bahagia sekali mereka sampai tidak sadar kalo mereka sedang dalam pelarian menghindari kejaran aparat. Suasana begitu bahagia sampai ketika truk mencapai lampu merah dan seorang aparat mengamati Paimin dari kejauhan. Untunglah truk tidak dihentikan dan aparat tidak tahu kalo yang di atas truk itu adalah Paimin yang buronan. Seketika itulah kemudian Paimin sadar bahwa mereka harus tetap waspada sampai kondisi benar-benar aman dan harus ingat bahwa mereka sedang dicari oleh aparat.
Truk sudah mulai masuk kota, kini Paimin harus berpikir keras bagaimana mereka keluar dari truk tanpa ada yang melihatnya. Menjadi rumit karena di kota banyak mata aparat yang mencarinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H