Hampir semua foto bisa dipindai oleh Siji dan pihak museum berencana menjadikan semua foto bisa menjadi video agar sejarah lebih menarik bagi anak muda. Sekitar satu setengah jam saya dan teman-teman berkeliling sambil belajar sejarah dengan menyenangkan. Bangga dan puas bisa kembali belajar sejarah teks proklamasi apalagi sekarang sudah menggunakan teknologi canggih sehingga lebih interaktif dipelajari.Â
Karena sudah waktunya makan siang, kami menuju Gado-gado Bon Bin di Jalan Cikini yang sudah buka sejak tahun 1960. Dari luar tampilan tempat makan ini masih terkesan jadul namun menarik karena bersih, rapi dan tidak terdapat lalat. Tidak lama menu gado-gado diantar ke meja kami dengan minuman teh hangat.
Saat mencoba bumbunya wah lembut sekali di lidah rasanya juga pas tidak terlalu manis atau asin. Isi gado-gado hampir sama dengan lainnya ada telur, tomat, kentang, tauge, kacang panjang, timun, lontong, tahu putih, emping dan kerupuk udang. Porsi satu piring pas untuk disantap saat makan siang. Gado-gado Bon-bin selain ramai didatangi masyarakat juga kerap dikunjungi wisatawan asing yang ingin menikmati makanan Indonesia.Â
Selesai makan siang, saya dan teman-teman menuju Taman Ismail Marzuki untuk menonton dua film yaitu
Perburuan dan Bumi Manusia. Kedua film ini dirilis bersamaan tanggal 15 Agustus 2019 oleh Falcon Pictures diangkat dari novel karya Pramoedya Ananta Toer namun disutradarai orang yang berbeda.Â
Karena tema film ini berlatar sejarah dan novel Pak Pram telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia, maka bulan Agustus menjadi momen yang tepat untuk merilis kedua film ini. Film Perburuan menjadi film pertama yang ditonton dibintangi Adipati Dolken sebagai Hardo dan Ayushita sebagai Ningsih.Â
Perburuan berlatar di Cepu dan Blora tahun 1945 menjelang proklamasi. Hardo sebagai pemuda sudah tidak tahan dengan penindasan Jepang dan memimpin penyerangan ke tentara Jepang namun ada salah satu teman yang membocorkan rencana tersebut.Â
Hardo lalu bersembunyi di gua hanya memakan jagung agar tidak tergantung Jepang. Keyakinannya akan Indonesia bisa merdeka awalnya diragukan teman-temannya namun kabar Jepang kalah sudah tersebar di beberapa pihak. Jepang lalu terdesak dan mengakui kemerdekaan Indonesia.Â
Film selanjutnya ialah Bumi Manusia yang disutradari Hanung Bramantyo diperankan Iqbal sebagai Minke, Mawar sebagai Annelis, Ine Febriyanti sebagai Nyai Ontosoroh. Film dengan durasi tiga jam membuat penonton seolah kembali ke zaman penjajahan Belanda di Surabaya, Wonokromo dan Bojonegoro.Â
Minke sebagai remaja yang sekolah di HBS dengan anak Indo dan Belanda terpesona dengan dunia Barat karena teknologi serta budayanya. Ia lalu berkenalan dengan Annelis anak Indo yang malah ingin jadi pribumi seperti mamanya Ontosoroh. Ontosoroh walaupun diremehkan karena sebagai istri yang tidak dinikahi dengan sah oleh Herman Mellema.Â
Ontosoroh berbeda dengan kesan Nyai selama ini karena ia bisa berbicara lancar tiga bahasa, mengelola bisnis, bahkan berdiri tegak seperti wanita Eropa. Hal ini mendorong Minke menulis artikel agar masyarakat tidak meremehkan Nyai.Â
Kisah percintaan dua manusia berlatar perbudakan dan diskriminasi menjadi menarik karena belum pernah diangkat di perfilman nasional. Menonton Bumi Manusia membuat saya belajar sejarah jurnalistik sebelum kemerdekaan. Minke yang cerdas dan kritis berhasil meyakinkan masyarakat akan pengakuan akan derajat yang sama melalui tulisan.Â
Lihat Trip Selengkapnya