Dalam tiga dekade terakhir, Indonesia mulai mengalami penurunan tingkat kelahiran yang didorong oleh berbagai faktor kompleks. Salah satu faktor tersebut adalah pendidikan perempuan yang semakin meningkat pesat, memacu mereka untuk mengejar karir setinggi mungkin demi independensi ekonomi, yang akhirnya dapat mengubah pandangan tradisional masyarakat mengenai peran dasar wanita. Selain itu, program Keluarga Berencana (KB) juga berperan penting dalam perubahan ini, dengan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya keluarga berencana bagi kesehatan perempuan dan stabilitas keluarga. Hal ini secara tidak langsung berdampak pada mempengaruhi pada kontrol kelahiran, pilihan hidup, hingga opsi untuk hidup tanpa anak (child-free), yang muncul sebagai respons terhadap tantangan ekonomi dan sosial yang dihadapi banyak keluarga.Â
Seperti yang kita ketahui, biaya pendidikan dan pengasuhan anak yang terus meningkat merupakan beban signifikan bagi keluarga, yang mana kondisi finansial menjadi faktor besar pada rendahnya tingkat fertilitas (low fertility).Pada dasarnya, ketika memutuskan untuk memiliki anak, semua orang tua akan mempertimbangkan tidak hanya kesejahteraan finansial mereka sendiri, tetapi juga apakah mereka akan mampu memberikan pendidikan yang berkualitas kepada anaknya kelak. Berdasarkan kedua faktor di atas, dapat diketahui bahwa penurunan angka kelahiran dapat menyebabkan berbagai dampak yang krusial, seperti perubahan struktur keluarga, berkurangnya keluarga multigenerasi, dan peningkatan keluarga inti. Hal ini akhirnya dapat mempengaruhi pada pola asuh anak, dukungan sosial bagi lansia, dan tradisi keluarga. Oleh karena itu, membahas mengenai population crisis merupakan hal yang penting, karena hal ini dapat memberikan masukan bagi kebijakan publik, memandu upaya pemerintah, dan mengembangkan solusi komprehensif untuk menjamin kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Akan tetapi, munculnya krisis populasi, baik berupa keinginan untuk tidak memiliki anak (child-free lifestyle) maupun rendahnya tingkat kesuburan (low fertility), ternyata membawa beberapa aspek positif yang dapat dilihat dari sudut pandang yang lebih luas. Dalam masyarakat yang semakin menjunjung tinggi keberagaman pilihan hidup, keputusan untuk tidak mempunyai anak dapat dilihat sebagai wujud individualitas dan kebebasan dalam membentuk jalan hidup seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa bentuk kebahagiaan tidak serta merta harus bergantung pada pemenuhan norma sosial seperti perkawinan dan pembentukan keluarga. Selain itu, hal ini juga memiliki aspek positif dalam stabilitas finansial. Karena individu tidak bertanggung jawab dalam mengasuh anak, mereka cenderung lebih leluasa dalam mengelola keuangan, sehingga dapat lebih mudah mengalokasikan sumber daya untuk hal-hal seperti berinvestasi, menabung untuk masa depan, dan merencanakan masa pensiun tanpa mempertimbangkan biaya anak. Memiliki lebih banyak kebebasan finansial juga memudahkan individu untuk fokus pada pertumbuhan, karier, dan kepentingan pribadi, di mana akan memiliki lebih banyak kebebasan untuk melanjutkan pendidikan, memperluas jaringan profesional, bahkan mencoba minat serta hobi baru.
Berdasarkan sudut pandang filsafat, pemikiran eksistensialis dapat memberikan perspektif yang relevan terhadap fenomena tersebut, khususnya pada keinginan untuk tidak mempunyai anak (child-free lifestyle). Pengurangan jumlah anak yang lahir terkadang dilihat sebagai pengakuan atas keterbatasan sumber daya dan tanggung jawab moral terhadap generasi mendatang. Namun dalam konteks ini, individu yang memiliki child-free lifestyle, cenderung melihat pilihannya sebagai ekspresi kebebasan untuk mengambil tanggung jawab dan pengakuan atas implikasi moral dari pilihan reproduksi mereka. Dalam pemikiran eksistensialis, keputusan ini juga mencerminkan proses keaslian di mana individu secara sadar dan bertanggung jawab mengambil kendali atas kehidupannya. Mereka menolak dibatasi oleh norma dan harapan sosial, serta lebih memilih untuk menjalani hidup sesuai dengan nilai dan keyakinan pribadinya. Oleh karena itu, keputusan untuk hidup tanpa anak atau memiliki lebih sedikit anak bukan hanya merupakan tindakan individu, tetapi juga merupakan pernyataan filosofis yang berkaitan dengan otonomi dan integritas pribadi.
Dalam beberapa dekade terakhir, tingkat kelahiran di Indonesia mulai menurun, hal ini dikarenakan adanya tingkat kesulitan ekonomi yang akhirnya menimbulkan sejumlah faktor pendorong lainnya. Salah satu alasan tersebut adalah adanya kesulitan dalam memenuhi kebutuhan kehidupan keluarga dan tingginya biaya pendidikan anak, dimana didorong oleh masalah ekonomi dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal yang layak. Permasalahan ini akhirnya berdampak pada kondisi psikologis maupun biologis yang akan dirasakan sang anak dan ibu, bahkan hingga dapat memicu stress, mempengaruhi kesehatan mental, serta kondisi fisik. Selain itu, status ekonomi yang tidak stabil dapat mempengaruhi kesehatan reproduksi dan kesehatan ibu hamil, serta meningkatkan risiko kematian ibu saat melahirkan, dikarenakan minimnya akses layanan kesehatan yang berkualitas saat kondisi ekonomi tidak memadai. Selain alasan-alasan yang telah disebutkan, risiko peningkatan kemiskinan dapat melahirkan kemiskinan baru jika kondisi ekonomi belum membaik saat mempunyai anak, hal ini dikarenakan kondisi ekonomi yang tidak memadai dapat mempengaruhi kualitas pendidikan yang dibutuhkan anak. Kualitas pendidikan ini mempunyai efek yang besar saat individu ingin mencari lapangan pekerjaan. Saat ini, tingkat kesulitan mencari lapangan kerja mulai meningkat. Orang yang mempunyai kualitas pendidikan yang tinggi saja belum tentu bisa mencari pekerjaan, apalagi bagi mereka yang tidak mendapatkan kualitas pendidikan yang tinggi.Â
Dapat diketahui juga bahwa kondisi ekonomi yang tidak memadai dapat menurunkan tingkat kelahiran di Indonesia. Hal ini dikarenakan generasi muda sudah mulai bijak dalam mengambil keputusan secara objektif dan mempertimbangkan bahwa faktor ekonomi yang tidak stabil dapat mempengaruhi kondisi serta kualitas kehidupan saat berkeluarga, yang mana cenderung memberikan dampak yang negatif dibandingkan dampak positif bagi anaknya kelak. Keputusan ini akan berdampak pada piramida usia populasi, yang mana dapat mengakibatkan penurunan jumlah generasi yang produktif secara berkelanjutan, sehingga pada akhirnya dapat mengancam keberlangsungan generasi berikutnya. Efek dari ketidakseimbangan ini, dapat mengancam keberlanjutan sistem pensiunan dan kesejahteraan sosial. Efek ini juga berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi negara, dimana dengan penurunan populasi, pertumbuhan ekonomi dapat melambat karena kurangnya tenaga kerja yang tersedia untuk menggerakkan sektor ekonomi.[vii]Tidak hanya dalam sisi ekonomi, namun bidang kesehatan dan pendidikan juga akan berpengaruh dikarenakan rendahnya sumber daya manusia. Kondisi krisis ini, dapat terjadi akibat banyaknya jumlah lapangan kerja yang disediakan, namun pemasokan manusianya menurun secara drastis.Â
 Berdasarkan sudut pandang pemikiran eksistensialisme, ketika individu membuat keputusan untuk tidak memiliki anak, dikarenakan kesulitan ekonomi dan risiko kesehatan sebagai pertimbangan utama, hal ini merupakan suatu ekspresi kebebasan eksistensial. Pada kasus ini, individu tersebut dapat mengontrol kualitas kehidupan dengan tidak mempunyai anak saat kondisi ekonomi tidak stabil. Eksistensialisme juga membahas authenticity dalam mengambil keputusan. Saat mengalami kesulitan ekonomi, individu menghadapi kesulitan dengan menerima realitas bahwa dirinya harus menunda atau mengurangi kelahiran sebagai respon menghadapi realita. Individu menjalani kehidupan dengan pertimbangan yang matang dan sadar akan konsekuensinya jika mempunyai anak di waktu yang salah dapat mempengaruhi anak secara psikologis, kesehatan, dan pendidikan. Namun, banyaknya individu yang mengambil keputusan ini dapat membuat ketidakseimbangan piramida usia populasi dan sistem ekonomi yang kedepannya akan kekurangan tenaga kerja, serta adanya tantangan dalam sistem pensiunan maupun kesejahteraan sosial, sehingga segala keputusan individu akan berdampak pada keseluruhan struktur di masyarakat.
 Pada eksistensialisme, terdapat pemikiran Hegel, yang menyatakan teori terkait tesis (suatu kondisi atau ide) dan antitesis (lawan dari kondisi atau ide tersebut) yang dapat menghasilkan sintesis (bentuk baru dari gabungan aspek tesis dan antithesis, serta bentuk baru sebuah kondisi yang bisa maju menjadi lebih baik). Pemikiran Hegel dapat digunakan untuk menganalisa gambaran besar tingkat kelahiran di Indonesia yang menurun dapat mempengaruhi kondisi perekonomian. Tesis yang bisa diambil dari argumen yang telah dibawakan adalah peningkatan kelahiran yang tinggi di Indonesia dapat membuat perekonomian di Indonesia tidak merata terhadap masyarakat, sehingga masyarakat kesulitan dalam mengakses kualitas pendidikan, adanya sex education dan keluarga berencana. Sedangkan antitesis berupa tingkat kelahiran yang rendah disebabkan masyarakat sudah mengerti dampaknya jika mempunyai anak saat kondisi ekonomi tidak stabil bisa mempengaruhi kualitas hidup individu dan keluarga. Sintesis yang muncul pada kasus ini adalah penurunan tingkat kelahiran Indonesia yang disebabkan faktor ekonomi yang berkaitan dengan kesehatan mental, biologis, fisik, dan pendidikan anak. Saat ini, masyarakat harus bisa menyesuaikan diri dengan demografis baru dengan bantuan pemerintah memberikan subsidi pendidikan, pelayanan kesehatan yang lebih baik, dan dukungan keuangan untuk orangtua. Konflik perekonomian Indonesia dan penurunan tingkat kelahiran harus bisa diimbangi dengan bantuan pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat dalam pertumbuhan demografis yang baru.
 Sementara itu, munculnya krisis populasi dapat dikaitkan dengan konsep tentang Tuhan dan manusia melalui perspektif moral dan agama. Dalam beberapa keyakinan, memperbanyak keturunan dan menjaga kelangsungan umat manusia dipandang sebagai tugas moral yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia karena kelahiran anak dianggap sebagai bagian dari suatu ibadah yang menjalankan perintah Tuhan dan memiliki keturunan merupakan suatu anugerah yang harus dihargai dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Ketika seseorang membatasi keturunan tanpa alasan yang dibenarkan, maka hal tersebut akan bertentangan dengan keyakinan agama karena dianggap sebagai penolakan terhadap kehendak Tuhan dan tidak memenuhi tanggung jawab agama. Namun, dengan meningkatnya kesadaran mengenai memperbanyak keturunan dan pemahaman bahwa kehidupan yang dipenuhi dengan ketidakstabilan ekonomi dan sosial yang dapat memperberat penderitaan hidup seorang anak sehingga seseorang mungkin memilih untuk menunda atau tidak memiliki anak sebagai cara untuk meminimalkan penderitaan bagi diri sendiri dan anak yang nantinya dilahirkan ke dalam kondisi finansial dan sosial yang kurang mendukung. Dengan demikian, muncul pandangan yang bertentangan ketika pandangan agama yang menganjurkan untuk memperbanyak keturunan dengan pemikiran tentang kehidupan yang dipenuhi dengan penderitaan.
Penurunan tingkat kelahiran yang disebabkan oleh berbagai faktor termasuk pendidikan perempuan yang semakin meningkat, program keluarga berencana, biaya pendidikan dan perawatan anak yang meningkat, serta tingkat fertilitas yang rendah berpengaruh pada population crisis yang membawa kompleksitas dampak positif dan negatif masing-masing. Dari satu sisi, keputusan pilihan wanita untuk menunda atau tidak mempunyai anak juga sebagai bentuk manifestasi dari kebutuhan akan kebebasan dan kekuasaan hidup mereka sendiri. Pilihan ini mencerminkan keinginan untuk mendefinisikan eksistensi mereka yang tidak hanya melalui reproduksi tetapi melalui pencapaian yang beragam seperti pendidikan dan karir yang membawa kebebasan akan finansial dalam hidupnya sehingga keputusan akan pilihan tersebut menjadi dampak positif. Namun, dari sisi lain, penurunan tingkat kelahiran membawa dampak negatif karena menjadi tantangan dalam memilih kebebasan hidup dan mempertahankan tanggung jawab moral yang bertentangan dengan konsep Tuhan dan keyakinan.
 Oleh karena itu, saran yang tepat untuk menghadapi population crisis melalui kebijakan pemerintah yang mendukung keluarga dan membuatnya lebih mudah bagi mereka untuk memiliki anak yaitu dengan kebijakan, seperti pengaturan jam kerja yang fleksibel dan tetap mendapatkan upah bagi orang tua yang sedang cuti. Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan intensif, seperti memberikan subsidi perawatan anak dan keringanan pajak kepada keluarga yang memilih untuk memiliki lebih banyak anak yang menjadikannya lebih menarik dan tidak terbebani secara finansial untuk memiliki keluarga yang lebih besar.[x] Mengatasi ketidaksetaraan ekonomi juga menjadi kunci, karena hal ini dapat membantu mengurangi tekanan keuangan yang berkaitan dengan membesarkan anak, sehingga membuatnya lebih layak untuk seseorang memiliki keturunan.Terakhir, memberikan kesempatan pendidikan dan karir yang sama untuk perempuan juga dapat meningkatkan kemandirian dan kepercayaan diri mereka sehingga dapat mengurangi keputusan untuk tidak memiliki keturunan.