Mohon tunggu...
Money

Mengapa Tidak Boleh Mengemis? (Pandangan Asy-Syaibani dan Kasus Masa Kini)

31 Oktober 2016   14:44 Diperbarui: 31 Oktober 2016   15:02 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Perda larangan memberi uang untuk pengemis dan anak jalanan sudah lama terbit di kota-kota besar. Perda no. 8 tahun 2007 di Jakarta, Perda no. 03 Tahun 2005 tentang K3 di Bandung, Perda no. 16 Tahun 2012 tentang pembinaan dan pengawasan ketertiban umum di Depok dan lain-lain. Namun jumlah pengemis seakan tidak berkurang, di hari-hari besar keagamaan dan bulan Ramadhan jumlah mereka malah semakin naik dan muncul fenomena pengemis musiman. Berdasarkan data dari Pusdatin Kemensos tercatat 18.599 gelandangan dan 178.262 pengemis di Indonesia pada tahun 2012. Para pengemis ini sengaja datang dari desa-desa ke kota besar bukan untuk mencari pekerjaan di sektor produksi melainkan khusus menjadi pengemis. Dengan kata lain mengemis kini telah menjadi suatu profesi tetap bagi sebagian kalangan walaupun keadaan ekonomi telah membaik.

Beberapa tahun yang lalu masyarakat dibuat geger dengan pemberitaan seorang pengemis bernama Walang bin Kilon yang terjaring satpol PP di daerah jembatan layang Pancoran dan kedapatan membawa uang tunai sebesar Rp 25.000.000 hasil mengemis selama lima belas hari. Di tahun 2015 sebuah stasiun televisi juga menayangkan investigasi terhadap sebuah desa yang masyarakatnya terkenal bermatapencaharian sebagai pengemis di kota. 

Beberapa rumah di desa tersebut terlihat mewah untuk ukuran rumah seseorang yang kegiatan sehari-harinya mengemis. Memang tidak seluruh pengemis adalah orang-orang yang kondisi ekonominya tergolong mampu, masih banyak pengemis yang hidup jauh dibawah garis kemiskinan. Namun fenomena pengemis kaya ini lantas menimbulkan pertanyaan, mengapa mereka masih mengemis padahal dapat melakukan pekerjaan lain dengan modal yang cukup? Apakah nilai-nilai ekonomi dan agama mendukung kegiatan mengemis sebagai matapencaharian utama?

Dalam pandangan Islam hukum dari bekerja adalah wajib. Hal ini tertuang dalam Q.S. Al Jumuah (62:10). Selanjutnya seorang ulama besar di tahun 2 Hijriah, Imam Asy Syaibani, mengatakan bahwa bekerja merupakan ajaran para rasul terdahulu. Pemikiran As Syaibani tentang kewajiban bekerja ia tuliskan dalam sebuah kitab Al-Kasb, dimana saat itu kitab ini menjadi sanggahan bagi sebagian kaum sufi yang berperilaku zuhud berlebihan hingga tidak bekerja atau mencari penghidupan karena hal itu dinilai dapat merusak nilai tawakal seorang hamba dan dinganggap menentang ketetapan rizki yang telah Allah SWT tentukan sebelum lahir (Qadarullah). Maka seringkali para kaum sufi ini mengancam kelangsungan hidup diri sendiri dengan hanya bergantung meminta-minta dari pemberian harta orang lain.

Bekerja juga menurut As Syaibani adalah cara untuk mencari keridhaan Allah. Bekerja menurut pandangan Islam adalah usaha untuk mencari harta yang halal dengan jalan yang halal dengan berproduksi. Produksi yang dilakukan dapat berupa barang dan jasa yang memiliki nilai tambah (utilitas). Tentu saja utilitas yang dicari seorang muslim tidak hanya sekedar nilai tambah, tapi juga kemaslahatan. Dimana kemaslahatan terdiri dari manfaat dan juga berkah yang terkandung didalamnya. Imam Asy Syatibi menjelaskan bahwa kemaslahatan hanya dapat dicapai dengan menjaga lima pokok kehidupan, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta (disebut juga Maqashid Syariah). Oleh karena itu bekerja menjadi wajib karena alasan melindungi maqashid syariah, sedangkan lalai dalam memelihara diri termasuk dalam tidakan yang dzalim.

Apabila ditinjau secara kritis mengemis bagi orang yang mampu bekerja dan perilaku zuhud sampai membahayakan diri sama-sama melanggar syarat-syarat bekerja (Al-Kasb) yang telah sebutkan oleh Asy-Syaibani. Seorang yang zuhud dimasa Asy Syaibani tidak bekerja dengan alasan agar dapat selalu mengingat Allah sehingga berakibat lalai dalam melindungi maqashid syariahnya dan meminta-minta dari hasil kerja keras orang lain. Sedangkan pengemis kaya merasa bekerja halal untuk melindungi maqashid syariahnya dengan berkeliling meminta-minta dari orang kaya padahal hakikat bekerja adalah berproduksi untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai maslahah. 

Dua perilaku ini dapat berakibat mudharat karena cenderung membuat roda perekonomian melemah, proses produksi yang berkurang sehingga konsumsi dan distribusi juga ikut terpengaruhi. Implikasinya secara makro membuat pertumbuhan ekonomi negara rendah yang pada akhirnya mengancam maqashid syariah orang banyak. Hal yang sama pernah dituduhkan sebagai sebab kemunduran Islam di masa periode pertengahan.

Asy-Syaibani juga menjelaskan dalam Al-Kasb tentang konsep kekayaan dan kefakiran. Menurutnya manusia harus merasa cukup (iffah). Bila seseorang telah tercukupi kebutuhan hidupnya maka sebaiknya segera memfokuskan dirinya kepada urusan akhirat. Cukup dalam artian ini adalah kondisi cukup kebutuhan yang dasar (kifayah) dan tidak meminta-minta (kafafah). 

Oleh karena itu seorang pengemis yang telah mampu untuk memenuhi dirinya dan dapat bekerja maka hendaknya meninggalkan kegiatan mengemis dan mulai bekerja produktif. Selanjutnya Asy-Syaibani juga mengatakan manusia lebih baik hidup dalam keadaan berkecukupan untuk diri dan keluarganya agar dapat lebih banyak beramal dan menghindari sifat bermewah-mewahan. Dengan kata lain dianjurkan bagi seorang muslim untuk mencari harta kekayaan di dunia dengan bekerja tapi tidak jatuh mencintai hartanya tersebut.

Oleh karena buruknya dampak yang ditimbulkan dari kegiatan mengemis ini, sebagai warga negara yang baik hendaknya kita mendukung pemerintah dengan mematuhi perda-perda yang telah diterbitkan. Tidak perlu memberi sumbangan dijalan atau di tempat umum kepada pengemis karena hal ini hanya akan mendidik mereka untuk terus mengemis bahkan lebih parah, melahirkan generasi pengemis-pengemis kecil yang lebih terorganisir. Mereka diperintahkan oleh orang tua yang telah terlebih dahulu merasakan keuntungan dari mengemis di jalan. Apabila ingin beramal lakukan dengan cara yang tertib dan baik. 

Dapat dengan menghubungi lembaga-lembaga atau yayasan yang telah terpercaya, misalnya lembaga ziswaf. Dapat juga dilakukan, apabila ingin memberi santunan secara langsung berikan kepada saudara-saudara dan tetangga terdekat dan dahulukan kaum yang masuk dalam golongan sembilan asnaf dan lain-lain. Hanya dengan sedikit aksi kecil ini, selain mendidik bangsa juga dapat meningkatkan produktifitas yang berguna bagi perekonomian negara.

Sabila Djauhari/KTTI-UI/EKS31

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun