Mohon tunggu...
Vanessa Aurel
Vanessa Aurel Mohon Tunggu... Freelancer - -communication studies-

HI! You can call me Aurel. I do love to learn language and culture!

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Wow! Jurnalisme Dulu dan Sekarang, Apa Bedanya?

16 Februari 2020   16:48 Diperbarui: 16 Februari 2020   17:34 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konvergensi media menimbulkan banyak-sedikit persamaan dan perbedaan dalam proses produksi dan proses konsumsi media massa. Terlebih, ada beberapa konsekuensi atau akibat yang akan dihadapi oleh industri media dan para jurnalis.

Kemunculan histeria Youtube yang berisi unggahan video dan jurnalisme warga membuat BBC sadar bahwa ada kebutuhan dan keinginan masyarakat untuk mengekspresikan diri. Sayangnya, praktik media konvensional tidak dapat memberikan kesempatan tersebut (BBC, 2009).

Dengan adanya internet, masyarakat mulai mencari jalan untuk berekspresi dan mengemukakan pendapat. Ada yang menulis, membuat video, dan lainnya. Demikian pula media yang semakin gencar mengembangkan situs jurnalisme warga, seperti kompasiana.com, Indonesiana.id, dan lainnya. Dalam beberapa media online (seperti IDN Times dan Mojok.co) juga membuka peluang sebagai kontributor mereka.

Menemukan persamaan

Menelisik sejarah saat kepemimpinan Soeharto, nyatanya, monopoli media telah terjadi sejak dulu. Pada masanya, semua konten televisi dikendalikan sepenuhnya dan stasiun TV swasta pertama (RCTI) dimiliki oleh anak laki-laki yang ketiga, SCTV dimiliki oleh sepupu Presiden Soeharto, TPI dimiliki oleh anak perempuannya. Sekarang, monopoli media semakin ditampakkan, seperti MNC Group yang memiliki beberapa stasiun TV, radio, dan koran Sindo (tirto.id, 2018).

Dapat dikatakan, proses produksi dalam suatu media masih bergantung pada keputusan petinggi atau pemilik media dalam rangka mencari keuntungan, misalnya mencari pengiklan, investor, dan lainnya. Industri media juga masih mengacu pada UU yang berlaku, seperti UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan Kode Etik Jurnalistik.

Berbeda dengan televisi dan koran, radio masih harus berjuang untuk mempertahankan dan meningkatkan eksistensinya agar lebih dilirik oleh masyarakat. Hal ini disebabkan rendahnya minat masyarakat untuk mendengarkan radio. Industri radio mulai membuat portal berita online dan tidak menghilangkan karakteristiknya, yakni keunikan audio (tirto.id, 2019).

Proses konsumsi juga masih membutuhkan perantara untuk menikmati beberapa konten, seperti televisi, jaringan internet, telepon genggam, dan lainnya. Hingga kini, televisi dan koran masih menjadi referensi utama bagi konsumen untuk mendapatkan berita terpercaya ketika media sosial belum mampu mengungkapkan segalanya.

Jurnalisme online. Sumber: assets-a1.kompasiana.com
Jurnalisme online. Sumber: assets-a1.kompasiana.com

Melihat perbedaan

Sebelum adanya internet, industri media di Indonesia (televisi, koran, radio) menjadi media utama yang dicari untuk memenuhi kebutuhan informasi. Media terpatok prinsip mengutamakan kepentingan masyarakat dan memerlukan biaya yang besar untuk proses produksi. Selain itu, media konvensional masih terhambat ruang dan waktu. Proses produksi dalam media konvensional juga masih tergolong linear.

Sekarang, media berlomba-lomba untuk mencari audiens. Media juga tidak lagi memerhatikan kepentingan masyarakat, namun lebih mengutamakan kecepatan dan ekonomi. Terlebih, media memanfaatkan internet untuk menembus ruang dan waktu. Media online juga mampu memenuhi kebutuhan berbahasa asing atau multi-lingual. Proses produksi berubah menjadi non-linear.

Dahulu, masyarakat harus membeli televisi yang terhubung ke satelit untuk menonton hiburan atau siaran. Selain itu, masyarakat tidak bisa mengulang siaran yang disukai ataupun mengunduh siaran tersebut. Seringkali, masyarakat berkumpul bersama untuk menonton pertandingan sepak bola sehingga rasa kebersamaan dapat muncul.

Kini, televisi seakan dapat dibawa ke mana-mana karena sudah berbentuk portable (diunduh di smart phone). Masyarakat juga bisa menonton siaran yang disukai berulang-ulang sesuai keinginan. Namun, pola konsumsi masyarakat menjadi individual karena masyarakat lebih menikmati konten yang disukai walaupun orang lain tidak suka.

Untuk industri radio dulu, masih terbatas ruang dan waktu. Penyiar juga dipilih secara profesional oleh perusahaan radio. Namun, transisi media membuat segalanya tanpa batas. Siapapun bisa menjadi penyiar dan membuat channel radio sendiri di media sosial, seperti di soundcloud, google podcast, anchor.fm, dan lainnya. Radio juga tidak hanya menyajikan audio saja, tetapi dapat dilengkapi dengan teks dan gambar.

Perbedaan dalam industri media cetak, seperti koran, terlihat dari penyajian video. Dahulu, koran cetak hanya bisa menampilkan teks dan gambar. Selain itu, masyarakat hanya bisa berlangganan bentuk koran fisik saja. Proses produksinya juga memakan waktu. Kini, koran dapat dinikmati secara online dan dapat menampilkan video. Masyarakat juga dapat berlangganan koran online dan proses produksinya tidak lama.

Jurnalis online. Sumber: romeltea.com
Jurnalis online. Sumber: romeltea.com

Menghadapi konsekuensi

Peralihan dari media konvensional ke media online menyebabkan beberapa konsekuensi yang harus dihadapi oleh industri media dan jurnalis. Salah satunya adalah industri media harus bekerja lebih cepat karena audiens mulai menginginkan suatu informasi yang relatif real-time dan terpercaya. Industri media juga dihadapkan dengan banyak kompetitor, seperti kemunculan youtubers, layanan film online, dan lainnya.

Dari sisi jurnalis, mereka harus mampu memproduksi konten multimedia yang menggabungkan elemen teks, audio, animasi, dan lainnya. Jurnalis juga harus mampu menulis dengan cepat, efisien, dan sesuai dengan konteks, terlebih pada jurnalis televisi. Di samping itu, kemampuan memberikan solusi untuk masalah yang dihadapi audiens juga perlu dipertimbangkan. 

Buat kamu yang lebih suka versi audio, bisa klik di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun