Mohon tunggu...
Saryanto Bpi
Saryanto Bpi Mohon Tunggu... -

Saryanto, sekarang sedang menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor.Kota asal Purworejo, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gara-Gara Kayu Jati, Perhutan(-) Kesurupan. Kerasukan Apa?

16 Maret 2015   13:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:35 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

_____Setega itukah hanya karena tujuh potongan kayu jati, yang mungkin harganya tidak seberapa dari uang Indonesia yang dikorupsi. Bahkan mungkin harganya hanya nol koma nol-nol sekian persen dari harga kayu yang hilang karena ilegal logging. Jangan beraninya hanya sama teri. Paus-paus aneh pemakan kayu masih banyak. Jangan beraninya mengungkit batu kecil dengan tuas yang besar. Ungkitlah batu besar dengan tuas yang tak kalah besar. Dan ketika keadilan bicara, hati nurani tak kalah juga suara lantangnya.

Sebelumnya salam hormat dulu, kepada orang-orang di Perhutan(-). Karena mungkin orang-orang itu kakak kelasku atau seniorku. Mungkin juga jas lab dan almamater kita dijahit oleh konveksi yang sama, hanya beda waktu. Tapi Cuma mungkin. Entah sama atau tidak tentang itu, aku tak begitu peduli. Tapi yang pasti orang-orang itu pernah jadi mahasiswa. Entah dimana kuliahnya.

Masih ingatkah ketika jadi mahasiswa? Ketika kalian membela rakyat dengan mati-matian, aksi disana-sini. Orasi dan sejenisnya menuntut pemerintah agar kebijakanya enak di rakyat dan tidak memberatkan rakyat. Ingat?. Atau mungkin ketika jadi mahasiswa kalian hanya kuliah-pulang, kuliah-pulang atau kupu-kupu. Kalo begitu tentunya kau belum pernah aksi dan sejenisnya. Tapi pastinya kalian, pernah memikirkan rakyat atau secuil orang kecil yang terpinggirkan. Kalian ingin keadilan untuk mereka, ingin mereka makan tiga kali sehari dengan makanan yang bergizi. Tapi itu mungkin dulu, ketika kalian masih mengenakan jas lab dan di depan dosen. Sekarang?

Mungkin  juga sudah terlalu lama tidak jadi mahasiswa, jadi lupa tentang tuntutan mahasiswa, lupa tentang hati nurani mahasiswa kepada rakyat (mungkin). Lupa semua. Jadi kau bertindak sedikit semena-mena.  Katanya menuntut keadilan. Keadilannya dimana? Masih banyak disana, paus-paus aneh pemakan kayu.

Tujuh potong kayu jati diungkit-ungkit setengah mati. Sampai kalian tuntut wanita se-tua itu ke meja hijau. Sampai nangis-nangis dihadapan hakim. Setega itukah hati mantan mahasiswa? Apakah hati sudah mati. Berapa harga kaya jati itu.  yang mungkin harganya tidak seberapa dari uang Indonesia yang dikorupsi. Bahkan mungkin harganya hanya nol koma sekian persen dari harga kayu yang hilang karena ilegal logging. Apakah di Kalimantan sudah tidak ada ilegal logging? Dimana suara kalian tentang ini?

Saya kira pantas jika disebut lagi “kesurupan”, karena hanya gara-gara kayu jati yang berjumlah kurang dari jari tangan itu dilakukan penuntutan ke ranah hukum. Dan yang lebih mirisnya lagi yang ditutuntut wanitia tua, yang seharusnya orang-orang yang berhak dibela, dibantu oleh kita.

Kerasukan apa to kalian?, sehingga membuat hal yang kecil ini diseret ke ranah hukum dengan tuduhan pencurian.  Apalagi yang diseret wanita tua. Tidak kasihankah? Mungkin dosen-dosen kalian cukup miris melihat hal ini terjadi. Anak-anaknya yang menjadi pejabat disana-sini, salah satunya menyeret ganas wanita tua rakyat jelata kehadapan meja hukum. Bahkan beberapa dosen di salah satu fakultasku, di kampusku berpesan kepada anak-anaknya(mahasiswa) “jangan seperti kakak-kakak kelasmu” cerita dari temanku.

Kerasukan apa to kalian? Apa mungkin kalian kesurupan jurnal-jurnal tentang itung-itungan bisnis kayu, karena uang sehingga tak menyehatkan akal. Atau kesurupan “pelopor keadilan”, sehingga ingin mengadili dengan cara-cara yang kurang adil. Apapun yang merasukimu tak begitu dipedulikan.

Hal ini memang bukan kasus pertama di Indonesia. Banyak kasus-kasus yang serupa, karena hal yang “sepele”, yang tak seberapa harganya dan tak seberapa kerugianya dan berujung pada meja hijau. Mulai dari maling sandal jepit, pencurian dua batang rokok, ketela dan semangka. Tapi haruskah hal ini terulang dan tak bisa diselesaikan secara kekeluargaan?

Dimana hati nurani kalian? Hanya karena tujuh potong kayu. Please, think again.

Dan ketika keadilan bicara, hati nurani tak kalah juga suara lantangnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun