Mohon tunggu...
Sarwo Edhi Ubit
Sarwo Edhi Ubit Mohon Tunggu... Administrasi - PNS muda

Seorang insinyur muda dan pemerhati sosial.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Wacana Kepala Negara Indonesia dari Berbagai Suku

23 Agustus 2016   08:20 Diperbarui: 23 Agustus 2016   08:37 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur Jenderal Selandia Baru, Rt Hon Sir Jerry Mateparae dari suku Maori. Sumber: www.radionz.co.nz

Saya sangat suka menonton Rapat Kebangsaan (National Day Rally) di Singapura. PM Lee dengan fasih berpidato dalam 3 bahasa ; Melayu, Mandarin dan Inggris. Dalam pidato bahasa melayu-nya, selain mengungkap isu keragaman, keyakinan bahwa bangsa Melayu Islam diperlakukan dengan baik dan adil, saya menarik dengan ide PM Lee agar Presiden Singapura harus digilir terhadap etnis minoritas, agar semua suku dan bangsa merasa memiliki Singapura.


Di Selandia Baru, Gubernur Jenderal sekarang adalah seorang Maori, pribumi Selandia Baru. Itu contoh yang baik. Inilah yang saya harap bisa diterapkan di Indonesia. Indonesia adalah negara multi suku. Dari Aceh sampai Papua. Walaupun rumpun sama kecuali Papua, tapi rasa berbeda tetap terasa. Saya seorang Aceh walau bernama jawa. Setidaknya 4 keturunan di atas saya adalah Aceh asli (Aceh Besar). Saya bergaul dari orang kampung hingga intelek kota.

Zaman konflik, jawa sering diidentikkan penjajah. Hal ini tak akan Anda temui jika Anda tak bergaul dengan orang kampung. Kenapa? Orang ini jarang berinteraksi dengan suku lain. Presentasi suku non Aceh (termasuk semua suku di Provinsi Aceh) sangat kecil dibandingkan luar Aceh. Pendatang dari Aceh kebanyakan dari provinsi Aceh sendiri. Jawa, Minang, apalagi kalimantan sulawesi sangat sedikit. Kadang mereka hanya pegawai mutasi dari luar. Ini yang membuat kebanyakan orang Aceh sangat mudah terkena isu nasionalisme suku. Keinginan merdeka dengan cara lain tetap ada seperti ingin adanya bendera yang disimbolkan sebagai kedaulatan. Mengubah DPRD menjadi DPR Aceh adalah rasa ingin berbeda dengan daerah lain.

Isu separatis tetap ada di negeri multi etnik ini. Lihat saja saat Pilpres, capres dari non Jawa pasti kalah telak. Kemudian kita harus melihat saudara kita di Papua. Mereka adalah yang paling merasa dan terasa sebagai non Indonesia. Ini menyatakan bahwa isu keragaman masih penting demi keutuhan NKRI.

Maka dari itu alangkah baiknya Kepala Negara kita dipisah dari Kepala Pemerintahan. Kepala negara adalah simbol negara. Harus dipilih oleh MPR agar bisa digilir dari berbagai suku sebagai simbol keragaman Indonesia. Dan Perdana Menteri nanti harus mampu menempatkan dirinya dalam seremonial dibawah Presiden. Jangan seperti di Aceh. Wali Nanggroe diangkat sebagai kepada adat. Tapi dia berjalan di belakang Gubernur. Hal itu tidak boleh.

Meskipun sederhana, saya harap wacana ini bisa jadi salah satu solusi memperkuat NKRI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun