Dalam upaya terbaru pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, telah dilakukan pemangkasan anggaran sebesar 306,7 triliun rupiah, yang setara dengan sekitar 8% dari total belanja pemerintah yang disetujui untuk tahun 2025. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pengeluaran pemerintah. Namun, menurut kami, kebijakan ini semakin membatasi ruang gerak program-program yang akan dijalankan oleh kementerian kami.Â
Kebijakan pemangkasan anggaran sebenarnya bukan hal baru. Sejak pandemi COVID-19, pemerintah telah menerapkan berbagai bentuk penyesuaian anggaran, seperti refocusing dan realokasi, untuk menangani dampak pandemi. Misalnya, pada tahun 2020, pemerintah melakukan refocusing anggaran untuk mendukung sektor kesehatan, jaring pengaman sosial, dan pemulihan ekonomi.Â
Kebijakan tersebut memiliki sisi positif maupun negatif. Saat pandemi, kami memahami bahwa refocusing anggaran adalah langkah yang diperlukan. Namun, dalam situasi saat ini, pendekatan yang sama tidak lagi menjadi solusi mendasar bagi permasalahan utama.
Sebelum membahas lebih lanjut, saya ingin mengajak pembaca untuk melihat kembali sejarah, di mana seorang raja pernah melakukan penghematan besar-besaran demi memperkuat negaranya. Raja tersebut adalah Friedrich Wilhelm I dari Prusia, yang dikenal sebagai "Raja Serdadu". Ia menerapkan kebijakan penghematan yang ketat dan fokus pada efisiensi, yang berkontribusi pada penguatan militer dan birokrasi Prusia.Â
Dengan meneladani langkah-langkah tersebut, kita dapat belajar bahwa efisiensi dan penghematan anggaran harus disertai dengan strategi yang tepat agar tidak menghambat pelaksanaan program-program penting.
Reformasi Friedrich Wilhelm I
Saya mengambil contoh dari 3 abad lalu karena pendekatannya lebih mudah difahami karena tidak melibatkan instrumen fiskal yang tidak familiar bagi orang awam.
Raja Friedrich Wilhelm I bin Marhum Raja Friedrich I, Elektor Brandenburg dan Raja Prusia (1688-1740), dikenal dengan julukan "Raja Prajurit". Namun, kita tidak akan membahas ketegasan dan kekejaman terhadap putranya, Friedrich yang Agung, ataupun pasukan khusus berbadan tinggi yang terkenal itu. Fokus kita adalah reformasi fiskal yang ia lakukan-sebuah kebijakan yang nantinya memungkinkan anaknya membawa Prusia menjadi negara yang lebih kuat dan disegani.
Berbeda dengan sang ayah, Friedrich Wilhelm I adalah seorang pemimpin yang shaleh, disiplin, dan jauh dari kemewahan. Ia tidak menyukai pesta pora, minuman keras, atau barang-barang mahal. Begitu naik takhta, ia segera menjual koleksi perhiasan, lukisan, dan barang-barang mewah dari istana. Pengeluaran kerajaan dipangkas secara drastis; tidak ada lagi jamuan besar, pesta pora, atau pembangunan istana baru. Bahkan, pola makan sang raja sangat sederhana-hanya terdiri dari sup kentang, daging asap, dan bir biasa, jauh dari anggur mahal dan hidangan mewah yang umum di istana kerajaan lain. Teater dan opera ditutup, yang mungkin dilatarbelakangi pandangannya yang anti seni -dianggap sebagai kewanitaan.
Setelah berhasil mengendalikan belanja istana, Friedrich Wilhelm I mengalihkan perhatiannya ke reformasi perpajakan, terutama yang menyangkut kaum bangsawan Junker (tuan tanah). Sebelumnya, pajak tanah yang dikenakan kepada bangsawan lebih rendah dibandingkan dengan pajak yang dibayar oleh kelas menengah, menciptakan rasa ketidakadilan Banyak pemilik tanah juga memanipulasi laporan luas tanah mereka agar pajaknya tetap rendah. Untuk mengatasi hal ini, sang raja memerintahkan survei kadaster-sebuah pemetaan ulang tanah secara menyeluruh-agar pajak dikenakan sesuai dengan luas tanah yang sebenarnya.
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, ia mendatangkan kaum Huguenot, kelompok Protestan yang terusir dari Prancis, ke wilayah Brandenburg dan Prusia Timur. Wilayah Prusia Timur ini sebelumnya mengalami penurunan populasi akibat wabah, sehingga kedatangan para Huguenot memberikan dorongan baru bagi perekonomian. Mereka menggunakan keterampilan dan pengalaman mereka untuk membuka usaha serta membangun industri baru.
Di bidang administrasi, Friedrich Wilhelm I mengganti banyak pegawai negeri dari kalangan bangsawan dengan sistem meritokrasi, di mana jabatan diberikan berdasarkan kemampuan, bukan garis keturunan. Namun, untuk perwira militer, ia tetap mempertahankan dominasi kaum Junker sebagai bentuk kompromi dengan bangsawan Prusia.