Mohon tunggu...
Sarwo Edhi Ubit
Sarwo Edhi Ubit Mohon Tunggu... Administrasi - PNS muda

Seorang insinyur muda dan pemerhati sosial.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Pandangan Saya tentang Federalisme

16 September 2024   21:21 Diperbarui: 16 September 2024   21:21 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ketika masa konflik di Aceh dulu, saya pernah menanyakan kepada Ayahanda saya, kenapa menggunakan nama Jawa sedang saya seorang Aceh tulen ? Beliau bercerita saat bertugas di PN Lhokseumawe. Dia melihat betapa banyak orang Jawa yang bekerja di PT Arun. PT Arun merupakan perusahaan pengelolaan gas alam di Aceh Utara saat itu. Dia memandang kalau memiliki nama Jawa dapat memberi keberuntungan kelak di masa depan. Ayah seorang seorang terpelajar, jadi saya tidak percaya hanya itu alasannya. Di lain cerita beliau juga merasa empati dengan sosok Letjen Sarwo Edhie Wibowo, karena menurut ayah saya, beliau orang yang turut membantu Jenderal Soeharto menduduki singgasana presiden, namun di-Dubeskan.

PT Arun, disebut-sebut salah satu alasan mengapa Hasan Tiro memberontak. Ada yang mengatakan dia kalah tender, namun alasan ini terlalu sederhana. Intinya adalah kecurigaan daerah bahwa SDA di daerah dikeruk untuk dipergunakan oleh Pemerintah Pusat sesukanya. Perkara ini yang dianggap pula sebagai pemicu pemberontakan PPRI/Persemesta.

Seiring waktu saya mengetahui alasan lain dari Ayah saya tersebut. Jika Anda di Tahun 1998 sudah dewasa maka pernah mendengar istilah "Putra Daerah". Hal ini diakibatkan banyaknya atau beberapa jabatan strategis itu merupakan titipan "orang pusat". Dahulu, orang yang lama berkarir di daerah jangan pernah berharap menduduki jabatan Eselon II di daerah seperti Kakanwil. Sebenarnya di instansi vertikal sampai saat ini pun masih terjadi hal demikian. Untungnya di instansi saya bekerja hal ini mulai berkurang. Banyak orang berkarir daerah akhirnya bisa menjadi Direktur di pusat. Tapi di Kementerian lain pola purba-reformasi ini masih saja berlangsung. Misal jabatan kepala Kantor eselon III dari pusat, yang meski memiliki pendidikan mentereng tapi anehnya kadang masih memiliki pola pikir korup. Tidak serius dalam bekerja, lalu meminta dana "taktis" untuk membeli tiket pulang ke Jakarta jika tidak ada panggilan dinas.

Pola terlalu sentralisasi merambah kemana-mana. Misal beberapa pengadaan seperti Sistem Informasi dikontrol dari pusat. Ini berujung pada kekurangan lapangan kerja pekerja -mungkin ribuan- IT di daerah. Padahal lebih baik setiap daerah berinovasi dan inovasi terbaik menjadi best practice untuk daerah lain. Sifat ini yang juga diharapkan dari federalisme. Begitu pula yang saya alami, beberapa perencanaan diatur dari pusat. Padahal kualitas orang-orang Jakarta dan sekitarnya bukan juga hebat-hebat sekali. Yang bobrok sampai saya geleng-gelek kepala jauh lebih banyak. Mereka lulusan perguruan tinggi yang tidak pernah dengar dan kualitas lulusannya di bawah PT-PT ternama di daerah. Tapi karena dia di lingkar pemerintah pusat maka dia bisa mendapat job tersebut. 

Dalam hal perjalanan dinas, ya benar banyak pegawai pusat melakukan perjalanan dinas di daerah dan itu membantu perekonomian daerah. Tapi lupakah Anda jauh lebih banyak pegawai-pegawai dari Pemda, pegawai instansi vertikal di daerah yang berkunjung ke Jakarta? Apakah untuk konsultasi, mengikuti FGD, mengurus proposal program-program seperti DAK dan lain-lain. Kenapa hal ini terjadi? Karena Pemerintah Pusat mengontrol banyak hal.

Pemusatan kekuasaan justru akan melahirkan Indonesia yang sangat Jakarta-Sentris dimana semua dilihat dalam kacamata di Jakarta. Salah satu contoh sedang seperti ini. Pimpinan pucuk instansi saya membuat catatan disposisinya mengatakan bahwa berobat di Malaysia itu "sesuatu yang mewah" ketika seorang pegawai meminta izin berobat ke Malaysia selama 3 hari saja. Bagi saya orang pernah berobat di Malaysia dan orang Sumatera kebanyakan melihatnya sebagai bagaimana orang Jakarta tidak sensitif dengan isu di daerah. Kualitas dokter yang diragukan (mungkin karena yang jadi dokter hanya orang kaya1), obat yang kurang, peralatan medis yang kurang di daerah menyebabkan banyak pasien justru memilih berobat di Malaysia yang murah. Tidak ada kemewahan sama sekali. Saya pernah menginap di flat 2 kamar lengkap dengan dapur dan kamar mandi di Penang yang satu bulannya seharga sewa 1 kamar kos menengah di Jakarta Selatan sebulan seluas 3x5 m2.

Jakarta sentris lain menyebabkan kota Jakarta akhirnya pusat segalanya. Pegawainya kebanyakan dari Jawa, kadang-kadang berpengaruh dalam mengambil keputusan misalnya menempatkan industri tertentu di kampungnya, atau menempatkan kampungnya dalam ajang olahraga atau festival tertentu. Dalam bidang media, bahkan urusan sepele di Jakarta diberitakan sedang masalah di luar Jakarta tidak dianggap penting. Dalam penunjukkan narasumber dalam acara-acara TV hanya berkutat orang-orang di Jakarta. Misal dahulu pakar terorisme Al Chaidar sering menjadi narasumber di TV jika ada masalah terorisme. Ini karena beliau dahulu aktivis di Jakarta dan memang meneliti masalah terorisme. Namun setelah beliau menjadi dosen di Universitas Malikussaleh di Lhokseumawe beliau tidak pernah diikutkan kembali.

Bicara soal TV, tidak banyak TV yang membuat studio di luar Jakarta kecuali hanya untuk TV siaran daerah. Semua di Jakarta dan pembawa acaranya tidak merepresentasi ke-bhinekaan. Bisa di hitung jari satu tangan penyiarnya berkulit gelap berambut keriting. Kalah dengan TV luar negeri seperti BBC atau DW. Bahkan RT dari Rusia yang kulit hitamnya sangat sangat sedikit sekali punya penyiar berkulit hitam.

Tidak hanya itu, banyak Litbang pemerintah pusat berpusat di Jawa. Bahkan sekedar Jakarta dan Bandung atau ada lagi Semarang dan Yogyakarta. Akhirnya kerjasamanya hanya melibatkan perguruan tinggi di sekitar Jakarta dan Jawa saja. Dan lagi-lagi hanya melihat dalam kacamata di sana saja. Jadi dalam banyak hal lapangan kerja seperti praktisi IT, pengamat, peneliti banyak di daerah yang dirugikan. Sebenarnya pasti lebih banyak lagi di luar yang saya sebutkan.

Dana Bagi Hasil

Semua masalah pada akhirnya bermuara di proporsi dana bagi hasil atas eksploitasi SDA dan sumber pendapatan negara lainnya yang ditarik dari daerah. Banyak kalangan dari daerah merasa bagi hasil tidak transparan, kecil dan tidak adil.

Dengan perimbangan dana pusat dan daerah yang lebih adil maka pemerintah daerah lebih dapat berinovasi dalam membangun daerahnya. Soal adanya korupsi itu lain soal. Korupsi tidak hanya ada di daerah, di pusat pun. Inefisiensi birokrasi tidak hanya di daerah, di pusat pun ada. ASN yang berlebihan juga ada di pusat. Ketika KPK seperti saat ini menangkap koruptor dari daerah sangat bersemangat. Tapi tikus-tikus di Jakarta dibiarkan saja. Ketika jalan nasional rusak, Pemda kena getah. Padahal ruas jalan kabupaten jauh lebih panjang dari jalan nasional, tapi uangnya tidak seberapa. Tenaga kerja, perizinan, bahkan event-event dikontrol dari pusat, perjalanan dinas banyak ke Jakarta, sehingga uang berputar di daerah tidak seberapa lalu mengharap dari PAD? Belum lagi tiket pesawat terbang mahal, makin sulit menggaet wisatawan ke daerah5. Karena kita tahu sektor wisata sering jadi langkah pamungkas memperoleh pendapatan daerah.

Karena saya ASN di pemerintah pusat, sering saya temukan narasi bahwa Pemda selalu salah, tidak pintar, tidak kooperatif dll. Padahal kita di pemerintah pusat bukan jagoan juga. Misal, ketika ada sebuah program, pemda tidak menyiapkan readiness criteria, maka sering disalahkan Pemda tidak siap. Tapi ada satu fakta menarik yang semua orang Pemda tahu. Pemerintah Pusat sering membuat Musrenbang, Konsultasi Regional, aplikasi Pemograman tapi berapa yang bisa lolos pengusulannya? Akibatnya Pemda malas mempersiapkan readiness criteria tersebut. Akhirnya saya sedih banyak Bupati/Kepala Dinas bolak balik Jakarta melobi agar programnya diloloskan, yang padahal merupakan wewenang pusat sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014. Yang bermain adalah lobi, bukan kesiapan dan perencanaan. Jika punya teman di Bappenas, silahkan konfirmasi apa yang saya nyatakan.

Lalu Apakah Federalisme Solusi?

Sebelum ke situ, saya ingin sedikit bercerita. Sebelum Indonesia Merdeka, Pemerintahan Hindia Belanda masih mempertahakan pemerintahan adat lokal yang dianggap kooperatif. Setelah Indonesia merdeka sebagian besar pemerintahan lokal ini dihapus kecuali Yogyakarta dan pernah beberapa sempat masih berdiri di Kalimantan. Proses ini cukup ekstrem karena dari banyak daerah otonom melebur menjadi negara kesatuan.

Proses perubahan yang begitu cepat tidak melibatkan aspiratif dari daerah secara baik bagaimana bentuk Indonesia yang baik ke depannya. Penyatuan tersentralisasi ini hanya terjadi jika negara itu ditaklukkan oleh monarki absolut. Sedang negara yang didirikan atas kesukarelaan terjadi proses transfer wewenang kekuasaan ke pemerintah pusat seperti terjadi pada pembentukan AS, Kekaisaran Jerman, Swiss dan Malaysia. Seharusnya setelah KMB, pemerintah daerah dan pusat bisa duduk satu meja seperti apa hubungan pemerintah pusat dan daerah selanjutnya.

Kita maklum sebagaimana di RIS, negara federal bisa dijadikan sebagai alat untuk memecah negara Indonesia yang masih bayi oleh negara asing. Tapi alasan tersebut sudah tidak relevan lagi. Apakah pemberontakan GAM atau OPM karena Aceh dan Papua menjadi negara Federasi? kan tidak. Jadi opini bahwa federasi memacu pemberontakan itu ngawur tidak sesuai fakta. Seluruh pemberontakan separatisme di seluruh dunia lahir dari 2 alasan: ketidakadilan, dan keserakahan elit daerah. Tidak akan berhasil separatisme itu jika warga lokal merasa manfaat menjadi bagian negara tersebut. Itu alasannya Skotlandia memilih tetap bergabung dengan Kerajaan Serikat (United Kingdom)6. 

Separatisme tidak hanya soal dia ingin merdeka, merasa merdeka juga bagian separatisme. Misal pemerintah daerah melanggar konstitusi, selalu tidak kooperatif dengan pemerintah pusat, tidak bisa diajak kerjasama antara daerah juga separatisme bentuk lain. Tapi ini saya rasa tetap bisa dipecahkan. Perlu ada batasan Pemda agar tidak sewenang-wenang dalam Undang-Undang atau Konstitusi. Pembentukan negara bagian juga tidak sembarangan, jangan sampai akhirnya justru daerah terlalu kecil sehingga tidak sanggup menghidupkan dirinya sendiri. Tidak boleh ada partai lokal yang berideologi separatisme. Selanjutnya warga diberi kesadaran bahwa beberapa wewenang telah dilimpahkan ke daerah dan dana bagi hasil sudah adil diberikan. Maka apapun nasib di daerahnya adalah tanggung jawab 80% pemerintah daerah.

Apa Tujuan Federalisme

Secara singkat tujuan federalisme bagi saya setidaknya ada 3 poin utama:

  1. Melahirkan daerah-daerah pertumbuhan ekonomi baru setidaknya di daerah penghasil.
  2. Meransang inovasi dari berbagai bidang dan dijadikan best practice di daerah lain.
  3. Menciptakan perputaran uang yang lebih banyak di daerah.
  4. Mempertahankan sejarah dan identitas wilayah.
  5. Memperkuat rasa percaya diri insan daerah.

Penutup

Tulisan ini berdasarkan perspektif dan pengalaman saya dari daerah yang bekerja untuk pemerintah pusat. Saya tulis ini sebagai bentuk rasa cinta negeri ini. Indonesia ini terlalu luas, terlalu sulit untuk dikontrol oleh orang yang berputar di Jabodetabek saja. Federalisme bukan berarti tidak cacat, tapi untuk sementara saya melihat solusi itu lebih baik.

Saya tidak bicara banyak soal wewenang apa lagi yang perlu ditambahkan ke daerah. Saya merasa soal pendidikan, daerah lebih otonom. Kepolisian bisa didirikan di tingkat daerah untuk kasus kecil. Pengadilan tingkat 1 dan 2 bisa di daerah. 

Saya tidak menyarankan melihat di negara federal setengah hati seperti Brazil, Rusia atau Argentina. Saya lebih sarankan memakai model Jerman dan AS. Tidak hanya melihat secara historis sekarang, tapi indenpendensi yang berlangsung lama membuat penyebaran ekonomi dari New York hingga San Fransisco, dari Berlin hingga Stuttgard.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun