Ketika masa konflik di Aceh dulu, saya pernah menanyakan kepada Ayahanda saya, kenapa menggunakan nama Jawa sedang saya seorang Aceh tulen ? Beliau bercerita saat bertugas di PN Lhokseumawe. Dia melihat betapa banyak orang Jawa yang bekerja di PT Arun. PT Arun merupakan perusahaan pengelolaan gas alam di Aceh Utara saat itu. Dia memandang kalau memiliki nama Jawa dapat memberi keberuntungan kelak di masa depan. Ayah seorang seorang terpelajar, jadi saya tidak percaya hanya itu alasannya. Di lain cerita beliau juga merasa empati dengan sosok Letjen Sarwo Edhie Wibowo, karena menurut ayah saya, beliau orang yang turut membantu Jenderal Soeharto menduduki singgasana presiden, namun di-Dubeskan.
PT Arun, disebut-sebut salah satu alasan mengapa Hasan Tiro memberontak. Ada yang mengatakan dia kalah tender, namun alasan ini terlalu sederhana. Intinya adalah kecurigaan daerah bahwa SDA di daerah dikeruk untuk dipergunakan oleh Pemerintah Pusat sesukanya. Perkara ini yang dianggap pula sebagai pemicu pemberontakan PPRI/Persemesta.
Seiring waktu saya mengetahui alasan lain dari Ayah saya tersebut. Jika Anda di Tahun 1998 sudah dewasa maka pernah mendengar istilah "Putra Daerah". Hal ini diakibatkan banyaknya atau beberapa jabatan strategis itu merupakan titipan "orang pusat". Dahulu, orang yang lama berkarir di daerah jangan pernah berharap menduduki jabatan Eselon II di daerah seperti Kakanwil. Sebenarnya di instansi vertikal sampai saat ini pun masih terjadi hal demikian. Untungnya di instansi saya bekerja hal ini mulai berkurang. Banyak orang berkarir daerah akhirnya bisa menjadi Direktur di pusat. Tapi di Kementerian lain pola purba-reformasi ini masih saja berlangsung. Misal jabatan kepala Kantor eselon III dari pusat, yang meski memiliki pendidikan mentereng tapi anehnya kadang masih memiliki pola pikir korup. Tidak serius dalam bekerja, lalu meminta dana "taktis" untuk membeli tiket pulang ke Jakarta jika tidak ada panggilan dinas.
Pola terlalu sentralisasi merambah kemana-mana. Misal beberapa pengadaan seperti Sistem Informasi dikontrol dari pusat. Ini berujung pada kekurangan lapangan kerja pekerja -mungkin ribuan- IT di daerah. Padahal lebih baik setiap daerah berinovasi dan inovasi terbaik menjadi best practice untuk daerah lain. Sifat ini yang juga diharapkan dari federalisme. Begitu pula yang saya alami, beberapa perencanaan diatur dari pusat. Padahal kualitas orang-orang Jakarta dan sekitarnya bukan juga hebat-hebat sekali. Yang bobrok sampai saya geleng-gelek kepala jauh lebih banyak. Mereka lulusan perguruan tinggi yang tidak pernah dengar dan kualitas lulusannya di bawah PT-PT ternama di daerah. Tapi karena dia di lingkar pemerintah pusat maka dia bisa mendapat job tersebut.Â
Dalam hal perjalanan dinas, ya benar banyak pegawai pusat melakukan perjalanan dinas di daerah dan itu membantu perekonomian daerah. Tapi lupakah Anda jauh lebih banyak pegawai-pegawai dari Pemda, pegawai instansi vertikal di daerah yang berkunjung ke Jakarta? Apakah untuk konsultasi, mengikuti FGD, mengurus proposal program-program seperti DAK dan lain-lain. Kenapa hal ini terjadi? Karena Pemerintah Pusat mengontrol banyak hal.
Pemusatan kekuasaan justru akan melahirkan Indonesia yang sangat Jakarta-Sentris dimana semua dilihat dalam kacamata di Jakarta. Salah satu contoh sedang seperti ini. Pimpinan pucuk instansi saya membuat catatan disposisinya mengatakan bahwa berobat di Malaysia itu "sesuatu yang mewah" ketika seorang pegawai meminta izin berobat ke Malaysia selama 3 hari saja. Bagi saya orang pernah berobat di Malaysia dan orang Sumatera kebanyakan melihatnya sebagai bagaimana orang Jakarta tidak sensitif dengan isu di daerah. Kualitas dokter yang diragukan (mungkin karena yang jadi dokter hanya orang kaya1), obat yang kurang, peralatan medis yang kurang di daerah menyebabkan banyak pasien justru memilih berobat di Malaysia yang murah. Tidak ada kemewahan sama sekali. Saya pernah menginap di flat 2 kamar lengkap dengan dapur dan kamar mandi di Penang yang satu bulannya seharga sewa 1 kamar kos menengah di Jakarta Selatan sebulan seluas 3x5 m2.
Jakarta sentris lain menyebabkan kota Jakarta akhirnya pusat segalanya. Pegawainya kebanyakan dari Jawa, kadang-kadang berpengaruh dalam mengambil keputusan misalnya menempatkan industri tertentu di kampungnya, atau menempatkan kampungnya dalam ajang olahraga atau festival tertentu. Dalam bidang media, bahkan urusan sepele di Jakarta diberitakan sedang masalah di luar Jakarta tidak dianggap penting. Dalam penunjukkan narasumber dalam acara-acara TV hanya berkutat orang-orang di Jakarta. Misal dahulu pakar terorisme Al Chaidar sering menjadi narasumber di TV jika ada masalah terorisme. Ini karena beliau dahulu aktivis di Jakarta dan memang meneliti masalah terorisme. Namun setelah beliau menjadi dosen di Universitas Malikussaleh di Lhokseumawe beliau tidak pernah diikutkan kembali.
Bicara soal TV, tidak banyak TV yang membuat studio di luar Jakarta kecuali hanya untuk TV siaran daerah. Semua di Jakarta dan pembawa acaranya tidak merepresentasi ke-bhinekaan. Bisa di hitung jari satu tangan penyiarnya berkulit gelap berambut keriting. Kalah dengan TV luar negeri seperti BBC atau DW. Bahkan RT dari Rusia yang kulit hitamnya sangat sangat sedikit sekali punya penyiar berkulit hitam.
Tidak hanya itu, banyak Litbang pemerintah pusat berpusat di Jawa. Bahkan sekedar Jakarta dan Bandung atau ada lagi Semarang dan Yogyakarta. Akhirnya kerjasamanya hanya melibatkan perguruan tinggi di sekitar Jakarta dan Jawa saja. Dan lagi-lagi hanya melihat dalam kacamata di sana saja. Jadi dalam banyak hal lapangan kerja seperti praktisi IT, pengamat, peneliti banyak di daerah yang dirugikan. Sebenarnya pasti lebih banyak lagi di luar yang saya sebutkan.
Dana Bagi Hasil
Semua masalah pada akhirnya bermuara di proporsi dana bagi hasil atas eksploitasi SDA dan sumber pendapatan negara lainnya yang ditarik dari daerah. Banyak kalangan dari daerah merasa bagi hasil tidak transparan, kecil dan tidak adil.
Dengan perimbangan dana pusat dan daerah yang lebih adil maka pemerintah daerah lebih dapat berinovasi dalam membangun daerahnya. Soal adanya korupsi itu lain soal. Korupsi tidak hanya ada di daerah, di pusat pun. Inefisiensi birokrasi tidak hanya di daerah, di pusat pun ada. ASN yang berlebihan juga ada di pusat. Ketika KPK seperti saat ini menangkap koruptor dari daerah sangat bersemangat. Tapi tikus-tikus di Jakarta dibiarkan saja. Ketika jalan nasional rusak, Pemda kena getah. Padahal ruas jalan kabupaten jauh lebih panjang dari jalan nasional, tapi uangnya tidak seberapa. Tenaga kerja, perizinan, bahkan event-event dikontrol dari pusat, perjalanan dinas banyak ke Jakarta, sehingga uang berputar di daerah tidak seberapa lalu mengharap dari PAD? Belum lagi tiket pesawat terbang mahal, makin sulit menggaet wisatawan ke daerah5. Karena kita tahu sektor wisata sering jadi langkah pamungkas memperoleh pendapatan daerah.