Mohon tunggu...
Muhammed Rivai
Muhammed Rivai Mohon Tunggu... Konsultan - menulis, menlis dan menulis

...menjadi bermanfaat itu lebih bermakna...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kualitas vs Popularitas Mencari Sosok Ideal Pemimpin Indonesia

15 April 2014   14:51 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:40 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilihan umum 2014 sudah didepan mata, kampanye partai politik telah berlangsung dengan semarak dengan berbagai dinamika dan hiruk pikuk yang juga menyertainya.  Dalam menyongsong pemilihan presiden mandatang partai politik maupun perseorang telah berupaya memposisikan dan mencitrakan diri sebagai kandidat yang layak untuk diusung menjadi calon presiden. Dalam hal ini setidaknya ada dua instrumen yang cukup efektif untuk membangun citra dan image positif untuk menaikkan pamor dan daya jual kandidat yang akan diusung menjadi calon presiden mendatang. Pertama,Media massa, tidak dapat dipungkiri lagi media massa menjadi salahsatu alat propaganda dan pembentukan opini paling efektif yang mampu menjangkau segmen yang sangat luas kepada publik. Jangkauan yang sangat luas dan intensitas penayangan/penerbitan yang kontiniu secara perlahan namun pasti akan mempengaruhi dan membentuk pola fikir publik terkait isu dan respon terhadap phenomena tertentu. Bahkan pada level tertentu pemberitaan media secara tidak sadar telah dijadikan rujukan dan pembenaran atas tindakan dan sikap yang akan diambil oleh publik.

Melihat begitu efektifnya peranan media massa dalam membangun opini publik, para pegiat politik tentu tidak menyia-nyiakan peluang ini. Media dalam perjalananya secara langsung maupun tidak telah menjadi media kampanye untuk mengokohkan ketokohan seorang kandidat. Porsi pemberitaan yang memberitakan kandidat tertentu pada akhirnya memberi peluang pada tokoh tersebut mendapat panggung untuk menigkatkan populatiasnya. Popularitas yang dibangun melalui panggung media semestinya kongruen dengan kapasitas dan kapabilatas kandidat yang terus menerus diberitakan itu. Namun faktanya popularitas ini sangat minim menyentuh hal-hal yang bersifat substansi, bahkan pemberitaan cendrung membesar-besarkan dan mengagungkan tokoh tertentu tanpa memberi ruang kritis yang memungkinkan berlangsungnya perdebatan sehat yang demokratis. Bahkan beberpa elit politik belakangan ini telah menjadi media darling dari media tertentu dengan posri pemberitaan yang berlebihan. Menjadi media darling menurut penulis akan berdampak negatif pada independensi media itu sendiri, media  semestinya menyuarakan kepentingan publik tanpa keberpiahakan pada kepentingan politik tertentu yang pada akhirnya media hanya akan menajadi alat bagi kepentingan politik kelompok tertentu. Jika media telah menjadi alat kepentingan maka media akan kehilangan jati diri sebagai instrumen kontrol terhadap isu-isu publik.

Kedua, Lembaga suvey. Lembaga survey semakin menjamur semenjak digulirkannya reformasi, keberadaannya secara ideal juga memainkan peranan yang sangat penting dalam iklim demokrasi yang sedang tumbuh subur dinegeri ini. Lembaga survey semestinya memberikan hasil penelitian dan analisisnya sesuai dengan phenomena dan fakta yang sesungguhya terjadi dilapangan. Dengan melakukan survey kita bisa membaca realitas dan fakta yang terjadi dilapangan malalui metodologi tertentu, sehingaa pemerintah/pemangku kepentinagan bisa mengambil kebijakan yang tepat terkait sebuah persoalan. Pemerintah/pemangku kebijakan melalui survey juga bisa membaca respon dan keinginan publik sehingga setiap kebijakan yang dihasilkan lebih berkualitas.

Namun dalam perjalanannya lembaga survey terutama yang terkait dengan politik belakangan ini mengalami bias terkait posisinya dalam malakukan survey yang pada akhirnya hasis surveynya juga patut untuk dipertanyakan. Disatu sisi beberapa lembaga survey tetap pada posisi sebagai lembaga survey yang independen yang ketat dari segi metodologi dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, namun disisi lain lembaga survey juga telah manjadi konsultan politik.  Lembaga survey dan konsultan politik tentu mempunyai orientasi dan kepentingan yang berbeda sehingga sangat tidak pantas bagi lembaga survey untuk tetap bersembunyi dibalik metodologi ilmiah demi kepentingan politik kelompok tetentu. Survey telah berubah menjadi alat propaganda yang bersifat persuasif dan cendrung menggiring opini massa kearah pilihan politik tertentu sesuai setting pesanan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Logika survey telah diputar balikkan sedemikian rupa sehingga seolah masih berjalan pada koridor ilmiah, namun telah bergeser dari yang semestinya. Survey tidak lagi melihat respon dan kehendak publik terhadap sebuah persoalan, namun telah diarahkan untuk memilih pertanyaan yang terkadang jawabannya sudah terarah. Bahkan survey terkadang telah menggambarkan terlebih dahulu respon publik sebelum ia benar-benar melakukan survey itu sendiri, sehingga ketika mereka benar-benar turun kelapangan publik secara tidak sadar telah diarahkan untuk memilih jawaban tertentu dengan argumentasi pilihan jawaban itu telah menjadi isu publik yang dianggap penting tanpa menyadari bahwa itu adalah hasil kerja dan settingan dari lembaga survey itu sendiri.

Independesi lembaga survey menjadi sangat dipertnyakan ketika lembga survey berada pada dua posisi yang mempunyai kepentingan berbeda, seharusnya lembaga survey mempertegas posisinya sebagai konsulatan politik yang mengatasnamakan siapa atau lembaga survey juga seharusnya mengumumkan kepada publik siapa sponsor yang menjadi donaturnya. Sehingga publik bisa menilai secara jernih terhadap hasil survey yang di publikasikan, jangan semata-mata mengatas namakan public hanya untuk kepentingan kelompok tertentu.

Mencermati begitu efektifnya kedua instrument diatas, kita bisa melihat penomena menjamurnya tokoh dan elit politik yang “gila” terhadap media. Para elit berlomba-lomba tampil di media dengan polesan menarik, tampil dan bersikap seolah memihak kepentingan publik dan berbagai trik media yang dapat menarik perhatian publik. Pada tahap kedua para tokoh ini kemudian menyewa konsultan politik untuk memotret citra positifnya dimata publik untuk mendapatkan pembenaran atas popularitasnya secara ilmiah dan saintifik. Rekayasa terusmenerus antara media dan lembaga survey pada akhirnya semakin mengokohkan kepopuleran tokoh tertentu tanpa memberi gambaran secara utuh terhadap tokoh yang dipopulerkan itu.

Dalam pemilihan presiden 2014 tentunya popularitas semata tidaklah cukup untuk memimpin Indonesia yang besar ini. Segudang persoalan dan permasalahan yang masih menyelimuti bangsa ini hanya bisa diatas oleh tokoh “besar” dengan kapasiatas mumpuni, seorang negarawan perpandangan luas dan visioner, tegas dalam mengambil sikap dan cedas serta cepat dan tangkas dalam mengambil setiap kebijakan. Jadi melihat phenomena perang popularitas tokoh yang akan maju dalam pilpres nanti adalah perang opini yang tidak berkualitas, sudah saatnya para kandidat yang akan maju itu dibedah dan “ditelanjangi” kapasitas dan kapabilitasnya kepemimpinannaya terkait solusi dan visi keindonesiaannya. Sudah saatnya kita keluar dari hanya sekedar menjual popularitas dan mengabaikan yang lebih substansial, sudahkah para kandidat yang bermunculan ini memiliki kriteria ideal untuk memimpin Idonesia?

Berkaca dari sejarah pemimpin di negeri ini kita bisa mengambil beberapa nilai positif yang bisa menjadi kriteria ideal presiden mendatang yakni: Se-visioner Soekarno, Se-tegas Soeharto, Se-cerdas Habiebie, Se-humanis Gusdur, Se-lembut Megawati, Se-hati-hati SBY.

Sudahkah kriteria ini ada pada calon presiden mendatang…?.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun