Mohon tunggu...
Muhammed Rivai
Muhammed Rivai Mohon Tunggu... Konsultan - menulis, menlis dan menulis

...menjadi bermanfaat itu lebih bermakna...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Cicak vs Buaya: Kamu Pilih Mana…? (Bagian 2)

9 Februari 2015   15:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:33 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Itulah sekelumit kisah antara Cicak dan Buaya yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat diruang publik. Kedua makhluk itu digunakan untuk menggambarkan persiteruan antara dua institusi penegak hukum Polri dan KPK yang tidak harmonis dalam pemberantasan korupsi dan terkesan ingin main sendiri serta menonjolkan arogansi institusi masing-masing.

Jika kita berfikir “sedikit kritis”, persoalan ini sesungguhnya adalah persoalan sepele yang dibesar-besarkan. Dengan heroik dan dramatis persoalan ini diangkat keruang publik seolah dunia mau kiamat dan pemberantasan korupsi akan tamat. Jika-pun itu terjadi,  bukankah hukum akan tetap tegak meskipun lagit runtuh?? (sekali lagi ‘’jika’’). Namun saya yakin dan percaya kondisi yang terjadi saat ini tidak separah apa yang digembar-gemborkan dan menjadi kekhawatiran sebagian kalangan.

Jika kita membedah persoalan ini secara mendalam dan mengedepankan rasionalitas, maka kita akan berhenti pada satu titik dimana persoalan ini sesunguhnya adalah persoalan individu di masing-masing institusi penegak hukum tersebut. Oleh karena itu dalam intitusi yang telah mapan seharusnya persoalan idividual tidak bisa dijadikan dan ditarik-tarik menjadi pesoalan institusi. Individu atau oknum bisa saja melakukan kesalahan, namun dalam institusi seharusnya memiliki manajemen kontrol untuk mengatasi kemungkinan dampak buruknya terhadap institusi tersebut dengan menjalankan mekanisme dan aturan yang berlaku.

Namun sungguh sangat disayangkan, sikap emosional justru lebih menguasai cara berpikir sebagian kalangan termasuk kedua intitusi penegak hukum ini. Dengan lantang dan berapi-api pimpinan KPK menyulut emosi publik dan menyebut penetapan tersangka dan penangkapan terhadap salah-satu komisionernya sebagai upaya ‘’Kriminalisasi” terhadap istitusinya. Senada dengan itu BW sebagai tersangka yang ditetapkan Kepolisian menyebut penangkapan terhadap dirinya bukan sekedar “Kriminalisasi” tapi “PENGHANCURAN” terhadap KPK. (WAWWWWWW…….!!!).

Hari-hari berikutnya semakin panas dan tidak menentu, ditengah persoalan yang dihadapinya BW masih diberi panggung dan bergabung berasama pendukungnya yang semakin emosional dengan menyuarakan perlamawanan terhadap upaya kriminalisasi yang dialaminya. Dan dengan lantang kembali berorasi layaknya panglima perang yang akan berangkat kemedan tempur, sembari membangkintkan gelora perlawanan kepada para pendukungya.

Sebagai orang awam penulis mau bertanya, layakkah pejabat publik berorasi dengan lantang (dalam bahasa lain : MEMPROPOKASI..) dihadapan publik atas persoalan yang dihadapinya sebagai upaya memposisikan dirinya pada pihak yang benar dan sedang dizalimi??. Coba anda membayangkan jika hal yang sama dilakukan juga oleh pejabat publik lainnya pada saat mereka terjerat persoalan hukum dan moral,… bisa berabe negeri ini.

Upaya yang dilakukan komisioner KPK dengan mengasumsikan persoalan yang diahadapinya sebagai persoalan institusi yang juga diamini oleh para pendukungnya justru semakin mengokohkan posisinya sebagai institusi yang jauh dari kata ‘’terlembaga” dan mapan. Personalisasi yang ditonjolkan oleh para komisionernya adalah sebuah gejala patologi yang seharusnya tidak pernah terjadi dalam instusi moderen. Namun benarkah KPK akan lumpuh jika para pimpinannya tersandung masalah hukum dan tidak ada jalan keluar…??.

Sama sekali tidak…, aturan dan mekanisme sudah dibuat dengan jelas. jika kondisi yang tidak diinginkan sampai terjadi Presiden bisa mengambil langkah yang dibenarkan UU untuk mengisi kekosongan satu atau sebagian pimpinan KPK. Bahkan dalam kondisi terburuk sekalipun Presiden bisa mempercepat pembentukan Pansel pemilihan komisioner KPK.

Jadi upaya para komisioner KPK tersebut sesungguhnya bukanlah cerminan dari kondisi KPK secara institusi, andaikan semua komisionernya terjerat masalah hukum KPK masih bisa diselamatkan. Justru tindakan yang dilakukan oleh komisionernya yang sekarang menempatkan KPK dalam posisi yang sulit, persoalan persoanal para komisionernyalah sesungguhnya yang membuat kinerja KPK terhambat selain ada upaya dari pihak lain. Namun perlu dicatat seberapapun kerasnya usaha yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak suka dengan KPK tidak akan pernah berhasil jika para komisionernya BERSIH.

Olehkarena itu para komisioner KPK tidak usah menyalah-nyalahkan orang lain dalam persoalan yang sedang dihadapinya, jika anda bermain api maka akan sangat mungkin anda terbakar. Apalagi bermain api bersama pembawa minyak, akan sangat mungkin anda dan orang yang ada disekitar anda akan ikut-ikutan terbakar. Sudahlah……. Kalau JUJUR itu HEBAT tidak usah menunggu proses hukum. Akui saja jika memang anda salah, bukankah anda dan mitra strategis anda pernah menyuarakan “pembuktian terbalik”, saatnya hal itu dimulai dari para pimpinan KPK. Jika anda benar publik akan menjadikan anda Pahlawan, tapi jika benar anda salah maka………… (silahkan diisi sendiri)

Namun sebagai seorang pejuang pemberantasan korupsi dengan persoalan pribadi yang dihadapi sudah selayaknya para pimpinan KPK yang ‘merasa’ punya masalah yang berpotensi dipersoalkan oleh orang lain sebaiknya mengundurkan diri saja. Karena keberadaan mereka di lembaga pemberantasan korupsi ini justru akan menghambat pemberantasan korupsi itu sendiri. Masih banyak orang lain diluar sana yang juga punya cita-cita yang sama untuk membebaskan negeri ini dari praktek jahat korupsi yang juga punya kapasitas dan integritas dan mungkin tidak punya masalah seperti para komisioner yang ada saat ini.

Hal senada juga perlu disadari oleh para petinggi Polri, untuk menahan diri dan tidak membesar-besarkan persolan dan menarik-narik persoalan individu menjadi persoalan institusi. Arogansi yang ditunjukkan kedua institusi ini tidak semestinya terjadi, justru seharusnya keduanya melakukan kerjasama yang labih baik sehingga pemberantasan korupsi bisa dilakukan dengan baik dan institusi kepolisian kembali mendapatkan kepercayaan dari publik. Bukankah itu salah satu tujuan dari dibentuknya KPK..?

Persoalan ini menunjukkan kepada kita semua bahwa kerja, kerja dan kerja saja tidak cukup untuk menyelesaiakan persoalan yang dihapi. Dibutuhkan juga Harmoni antar lembaga sehingga tidak ada nuansa saling berkompetisi yang cendrung arogan, tapi koordinasi dan bekerjasama itu juga menjadi faktor penting demi tercapainya tujuan mulia pemberantasan kurupsi dinegeri tercita.

Semoga Cinta menghilangkan permusuhan diantara keduanya sehingga bisa beKerja dalam Harmoni demi pemberantasan korupsi.

@rivai19.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun