Mohon tunggu...
Muhammed Rivai
Muhammed Rivai Mohon Tunggu... Konsultan - menulis, menlis dan menulis

...menjadi bermanfaat itu lebih bermakna...

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Beringin Tua Diujung Senja

27 April 2015   08:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:39 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dimasa lalu Partai beringin -sebutan populer untuk partai Golkar- memengang peranan sentral dalam rezim otoriter era orde-baru. Partai ini disebut-sebut bukan hanya sebagai kekuatan politik yang memerintah (the ruling party) tapi telah berubah menjadi partai pemerintah (the ruler’s party). Golkar menjelma menjadi mesin politik orde-baru yang menempel pada kekuasaan dan menikmati kekuasaan hegemonik yang  mengakar kuat pada kader dan simpatisannya. Pengalaman panjang para kader dan pendukung partai Golkar yang telah merasakan ‘’nikmat’’-nya kekuasan tentunya mempunyai efek psikologis yang tidak akan serta-merta terkikis dengan berganitnya rezim yang berkuasa.

Hal ini setidaknya bisa dibuktikan pasca runtuhnya rezim orde baru, Golkar yang bertransformasi menjadi partai Golkar kembali mengorganisir diri untuk tetap berada dalam kekuasaan. Dalam pemerintahan era transisi dari mulai Habibie hinga SBY partai Golkar selalu menempel pada kekuasaan dengan berbagai macam taktik dan strategi yang digunakan. Pengalaman panjang yang dimiliki menjadikan partai Golkar menjadi kekuatan politik yang masih mempunyai pengaruh yang tidak bisa dianggap sebelah mata oleh para pesaingnya. Sehingga menjadikan partai Golkar sebagai mitra dalam kekuasaan adalah pilihan strategis walau terkadang dilematis bagi partai politik yang sedang berkuasa dengan  dukungan politik yang lemah. Kondisi ini menjadikan partai Golkar ibarat “nona manis” dalam barisan partai potensial untuk diajak berkoalisi dengan  partai manapun untuk berebut dan mengamankan kekuasaan.

Diawal masa transisi partai Golkar sempat menorehkan prestasi besar, partai Golkar berhasil melakukan re-organisasi dan menyelamatkan partai dari jurang kehancuran ditengah tekanan politik dan arus reformasi yang menganggap Golkar adalah bagian dari masalah rezim lama yang juga harus disingkirkan. Namun dengan kepiawaiannya Partai Golkar tetap mampu menunjukkan eksistensinya dengan menjadi pemenang kedua pada pemilu 1999 dan bahkan memenagkan pemuli pada tahun 2004.

Namun dalam perjalannya partai Golkar selalu gagal menempatkan kader partai sebagai Presiden yang memenangkan kompetisi lewat pemilu. Eksperimen konvensi penjaringan calon presiden yang digagas oleh Akbar tanjung untuk menyongsong pemilu 2004 sempat menuai pujian dan simpati publik. Namun fakta politik tidak semanis sanjungan dan pujian, kader hasil penjaringan konvensi harus gigit jari dironde pertama dihempaskan oleh popularitas SBY yang lagi naik daun. Kegagalan demi kegagalan partai Golkar untuk memengang tampuk kekuasaan tidak membuantnya serta-merta menjauh dari kekuasaan, posisi strategis di kementrian dan jabatan strategis lainnya tetap menjadi incaran. Posisi inilah yang kemudian menjadikan partai Golkar selalu berada dalam barisan koalisi pendukung pemeritah sebagai upaya untuk tetap mendapatkan jatah empuknya kursi kekuasaan.

Beranjak ke pemilu 2014, partai Golkar masih mampu menunjukkan eksistensinya dengan menjadi pemenang kedua. Namun pemilu kali ini merupakan anomali bagi partai Golkar, sebagai partai pemenang pemilu di urutan kedua Golkar tidak mampu mengajukan calon sendiri untuk berkompetisi dalam pemilihan presiden. Aburizal bakrie sebagai nahkoda partai lebih memilih bergabung dengan barisan koalisi merah puti (KMP) pimpinan Prabowo subiyanto, sebagai efek popularitasnya yang kalah bersaing dengan calon-calon lain. Kebijakan ini kemudian menumbuhkan bibit-bibit perpecahan di internal partai, apalagi lawan yang berkompetisi dalam pemilihan presiden ini adalah kadernya sendiri yang bergabung dengan koalisi Indonesia hebat (KIH) sebagai calon wakil presiden jokowi.

Bibit konflik dan perpecahan semakin mengkristal pasca pemilihan presiden ketika calon yang didukung oleh Golkar kalah dalam pemilu. Barisan muda partai menyuarakan untuk bergabung dengan pemerintahan Jokowi dan KIH tentunya dengan harapan akan mendapatkan insentif kekuasaan. Namun Aburizl bakrie tetap kukuh dengan pilihannya untuk tetap berada dalam barisan KMP dan tetap berjuang sebagai penyeimbang kekuasaan melalui parlemen. Konflik terbuka akhirnya tidak lagi bisa dielakkan ketika keduanya akhinya saling klaim sebagai pihak yang paling berhak atas kendali partai sebagai hasil dari munas yang dilakukan di dua tempat yang berbeda, persi Bali dan persi Ancol.

Meruncingnya konflik diinternal partai Golkar semakin memperkuat argumen bahwa adanya ketidak siapan dari sebagian elit partai untuk berada diluar kekuasaan. Sikap dan langkah politik yang diambil oleh Aburizal bakrie dan pendukungnya secara otomatis akan menutup rapat peluang elit partai lainnya untuk mendapatkan jatah kekuasaan yang dengan kasat mata menjadi salah-satu argumen dari usaha keras mereka merebut kendali terhadap partai sebagai respon terhadap tawaran dari pemerintahan saat ini yang masih bimbang dengan kekuatan politiknya sendiri.

Jika dilihat dari akar sejarah konflik diinternal partai Golkar, konflik kali ini adalah konflik yang paling brutal dimana para elitnya sudah tidak malu-malu mempertontokan pertengkaran “rumah tangganya” di hadapan publik. Pada konflik-konflik sebelumnya elit-elit partai masih bisa menahan diri dengan tidak mengumbar pertikaian mereka dihadapan publik, namun diekspresikan dengan cara yang masih demokrastis walaupun pada akhirnya kekecewaan terhadap kebijakan partai akan berujung pada pengunduran atau pemecatan dan munculnya partai baru.

Namun kali ini jiwa besar dan kedewasaan berpolitik para elit partai sudah dibutakan oleh ambisi untuk berkuasa sehingga apapun keputasannya masing-masing pihak merasa yang paling benar. Jika merujuk pada argumentasi implementasi demokrasi internal partai politik, faksionalisasi ditubuh partai politik jika dikelola dengan baik akan menjadikan partai politik lebih terbuka dan kompetitif sehingga partai politik yang bersangkutan akan berjalan bergairah dan dinamis. Namun kegagalan dalam mengelola dinamika internal ditengah demokratisasi dinternal akan menyeret partai politik kedalam jurang kehancuran dan ancaman perpecahan ditengah menguatnya pragmatisme politik dan kuatnya godaan untuk berkuasa dan memperoleh insentif kekuasan.

Sikap elit partai yang dipertontonkan dihadapan publik ini adalah tontonan tidak mendidik dari sebuah partai politik yang sudah lama berkecimpung dalam dunia politik. Umur yang panjang ternyata tidak mampu menjadikan partai ini menjadi dewasa. “ Tua itu pasti, Dewasa itu pilihan. Semoga elit partai segera berbenah diri dan mencari titik temu untuk menyelesaikan konflik ini, bagaimanapun juga partai Golkar adalah aset bangsa yang harus diselamatkan. Namun jika konflik terus berlanjut partai Golkar akan mengalami kerugian elektoral yang telah susah-payah diraih selama ini, simpati publik akan menurun drastis yang berujung pada beralihnya pemilih untuk melirik dan memilih partai lain. Penyelesaian konflik internal ini akan mencerminkan kualitas dan kapasitas partai yang bersangkutan, bagaimana mungkin sebuah partai bisa diharapkan melahirkan kader-kader yang berkualitas untuk mengelola negara dengan segala persoalannya jika mengurus partai saja tidak becus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun