Mohon tunggu...
Muhammed Rivai
Muhammed Rivai Mohon Tunggu... Konsultan - menulis, menlis dan menulis

...menjadi bermanfaat itu lebih bermakna...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membaca Ulang Terorisme

27 Januari 2016   12:48 Diperbarui: 28 Januari 2016   10:37 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

          Kedua pertanyaan ini dengan sangat mudah untuk dijawab dengan menggunakan logika dan akal sehat. Pertama, untuk pertanyaan pertama penulis aka memberikan ilustrasi sederhana. Seorang koruptor “mencatut” nama presiden untuk memuluskan langkahnya dalam melakukan tindakan pelanggaran dan penyalahgunaan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri. Dalam kasus ini siapakah yang patut dipersalahkan..? orang yang mencatut atau nama yang dicatut..? (silahkan pikir sendiri). Tapi anehnya dalam kasus terosime logika publik dikaburkan dengan sibuk mempersalahkan dan mengait-ngaitkan agama pelaku teror ketimbang mengusut tuntas aksi teror itu sendiri. Agama adalah ajaran suci yang tidak layak dikaitkan dengan tindakan teror yang keji dan nista, walaupun pelakunya berteriak sampai ke ujung langit mengatasnamakan agama dalam tindakannya. Di sisi lain pihak yang menuduh (terutama institusi penegak hukum)  semestinya berpikir rasional dan bertindak objektif dalam mengatasi persoalan bukan justru memperkeruh suasana dengan analisis yang mengada-ada diluar konteks permasalahan.

       Kedua, para pelaku teror berargumen sedang memperjuangkan Islam?. Ini adalah logika paling absurd sejagat, peradaban Islam dibangun atas dasar fondasi Ilmu dan Iman yang kokoh dan tidak mungkin diperjuangkan oleh orang atau kelompok manapun yang kapasitas keilmuannya masih diragukan. Silahkan identifikasi kapasitas keilmuan para pelaku teror di belahan bumi manapun, apakah mereka layak untuk mengusung panji kemulian Islam?. Sekali lagi penulis menekankan bahwa mengkait-kaitkan tindakan teror dengan Islam adalah kerancuan yang sangat fatal dalam cara berpikir. Kerancuan ini adalah dampak dari stigma yang dibangun musuh-musuh Islam melalui propaganda media yang setiap hari masuk ke rumah-rumah kaum muslimin.

 

Akar masalah

            Sudah menjadi tradisi dinegeri ini penggiringan opini memalui propaganda media melahirkan gerombolan orang-rang “latah”. Penggiringan opini ini pada akhirnya menjadikan setiap persoalan yang dihadapi keluar dari konteks dan cenderung meributkan sesuatu pada “kulitnya” sehingga esensi dari persoalan luput dari perhatian. Dalam banyak kasus kecenderungan ini bisa dilihat dengan sangat jelas, termasuk dalam penangan terorisme. Energi bangsa ini terkuras hanya untuk tindakan yang sifatnya reaktif dan menyibukkan diri dalam perdebatan yang tidak produktif.

          Jika dianalisis secara mendalam terorisme mengakar kuat pada radikalisme sebagai dampak dari ketidak ADILAN. Pertanyaannya, Apakah KEADILAN telah ditegakkan di negeri ini..?, Apakah KEADILAN telah ditegakkan dalam tatanan kehidupan global..?. mata dan telinga kita setiap hari dipertontonkan dengan praktik arogansi dan ketidak adilan negara baik di level nasional maupun global. Ribuan nyawa melayang percuma demi kepentingan politik tertentu, namun karena mereka punya otoritas dan kuasa mereka tidak dituduh sebagai teroris namun dengan angkuhnya mengampanyekan diri sebagai pejuang demokrasi dan pelindung hak asasi.

        Oleh karena itu langkah yang paling penting dilakukan untuk menghentikan aksi-asi terorisme dimanapun adalah upaya menegakkan KEADILAN dalam tatanan kehidupan. Terutama kepada AS dan sekutunya untuk menghentikan tindakan eksploratif dan diskriminatifnya diberbagai belahan dunia. Terkhusus kepada pemerintah Indonesia, terorisme tidak akan punya tempat di negeri ini jika pemerintah melaksanakan amanat konstitusi dan menegakkan keadilan. Bukan justru ikut tergiring pada kepentingan AS yang  ujung-ujungnya pemerintah menjadikan rakyatnya sendiri sebagai musuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun