Partai Nasdem (NASDEM) merupakan pendatang baru dipanggung politik nasional, dengan dukungan finansial dan jaringan media yang dimiliki pendirinya (Surya Paloh) partai ini menjadi salah-satu partai dari sedikit partai yang lolos seleksi ketat KPU untuk menjadi peserta pemilu 2014. Kesuksesan ini semakin sempurna ketika NASDEM muncul sebagai kekuatan politik yang langsung melejit dengan perolehan suara yang cukup mengagumkan, 6,72 %. Perolehan suara ini menjadikan NASDEM menjadi salah-satu pemain penting dalam rebutan kursi pemilihan presiden 2014 lalu, NASDEM menjadi bagian dari koalisi pendukung duet Jokowi-JK yang berhasil memenangkan persaingan ketat terkesan panas itu.
Munculnya NASDEM sebagai kekuatan politik tidak bisa dilepaskan dari peran sentral Surya Paloh (SP) yang menjadi sosok penting yang melekat dengan partai ini. SP adalah mantan politisi senior partai Golkar yang “tersingkir” dari permainan politik yang berlangusung penuh intrik dalam perebutan kursi ketua umum di Riau beberapa tahun lalu. Kegagalan ini membuat SP mendirikan ormas NASDEM sebagai ekspresi kekecewaan dan sarana aktualisasi yang baru. Munculnya NASDEM (ormas) mendapat sambutan positif dari publik sehingga ormas ini mendapat dukungan luas dari berbagai kalangan yang menjadikan ormas ini cepat tumbuh dan bersemi menjadi ormas yang cukup populer.
Diawal pendiriannya ormas ini sempat di klaim oleh SP sebagai gerakan sosial murni yang tidak akan dijadikan kendraan politik oleh anggotanya ataupun berubah menjadi partai politik. Namun argumentasi ini tidak bertahan lama, ormas NASDEM memamang tetap berdiri, tapi dengan format dan sistem yang sama SP mendeklarisikan berdirinya partai Nasdem yang secara kasat mata susah dibedakan dengan pendahulunya yang masih berstatus ormas. Sebagian kalangan yang awalnya mendukung NASDEM sebagai ormas pada akhirnya mundur teratur dari organisasi ini.
Terlepas dari perdebatan diatas, NASDEM secara politik dapat dikatakan sukses dalam memobilisasi pendukungnya, dengan dukungan amunisi dan sumberdaya yang dimiliki partai ini muncul sebagai kekuatan alternatif baru yang membuat peta politik nasional mengalami perubahan. Perang terhadap korupsi dan perbaikan sistem ketatangaraan menjadi salah satu daya tarik tersendiri dari partai ini yang dikenal dengan slogan “restorasi”. Bahkan dalam berbagai kesempatan SP dengan lantang menyulut emosi pendukungnya tentang pentingnya agenda restorasi tersebut, lebih dari itu SP dengan percaya diri mengumbar janji dihadapan publik “JIKA KADER NASDEM TERLIBAT KORUPSI LEBIH BAIK NASDEM DI BUBARKAN”.
Semangat “restorasi” dan semangat anti korupsi yang didengungkan SP mendapat sambutan dan dukungan dari publik yang sudah bosan dengan dagelan pemberantasan korupsi yang belum jelas ujungnya akan berahir dimana. Namun apa yang terjadi beberapa bulan terahir terkait kasus korupsi dana bantuan sosial dan suap terhadap hakim di sumatera utara menjadikan NASDEM terancam kehilangan reputasi, keterlibatan kadernya dalam kasus ini semakin membuat NASDEM dalam posisi sulit. Bahkan penetapan tersangka kepada Sekjen NASDEM semakin memojokkan partai ini terutama terkait janji yang pernah disampaikan ketua umumnya.
Tulisan ini akan sedikit mengulas janji politik SP terkait sikap ‘beraninya’ untuk membubarkan NASDEM jika kadernya terlibat kasus korupsi. Secara politis tentunya argumentasi ini akan menjadi magnet elektoral yang akan menarik dukungan luas dari publik, dan ini adalah strategi politik. Namun secara moral ini adalah tindakan mulia dan sekaligus sangat berbahaya, karena secara sadar SP telah menyiapkan tiang gantungan bagi partainya sendiri. Dalam kondisi politik yang sembraut dan sistem politik dan pemerintahan yang belum mapan dan stabil peluang politisi dan pejabat publik untuk “tergelincir” terbuka lebar, termasuk politisi dari NASDEM. Dari titik ini, argumentasi SP tersebut terbilang berani dan terkesan nekat.
Namun terlepas dari itu semua, janji SP tersebut jika ditinjau dari sisi akademis sesungguhnya jauh dari kata-kata LOGIS. Argumentasi tersebut dianalisis dari kacamata pelembagaan politik dan pelembagaan sistem kepartain (pendekatan institusionalisme) terkesan ngawur dan asal ngomong. Secara sederhana argumentasi pelembagaan politik itu salah-satunya adalah terhindarnya institusi (dalam hal ini partai politik) dari personifikasi terhadap individu, institusi bisa dikatakan terlembaga jika institusi tersebut terlepas dari bayang-banyang personal yang mengendalikannya. Personifikasi institusi kedalam sosok atau figur tertentu akan membahayakan organisasi dalam jangka panjang sehingga organisasi yang bersanngkutan cendrung akan melanggengkan oligarki yang akan merusak tatanan demokrasi itu sendiri.
Dalam kacamata yang sangat sederhana kita bisa mengambil contoh lain dari bahaya personifikasi individu ini terhadap organisisasi, contoh: kelakuan bejat anggota polisi dijalanan yang “memalak” kendraan bermotor, sikap dari anggota kepolisian ini tentu tidak serta-merta akan membuat kita menuntut dibubarkanya institusi kepolisian. Atau ada anggota DPR terlibat korupsi, tidak logis juga menuntut agar DPR dibubarkan. Presiden misalnya terindikasi korupsi, jangan minta Indonesia dibubarkan (ini ngawur tingkat dewa, hehehehe).
Olehkarena itu hingar-bingar politik akhir-ahir ini terutama terkait dengan penetapan petinggi NASDEM sebagai tersangka dalam kasus korupsi oleh KPK perlu kita sikapi dengan cermat dan logis jangan terjebak pada kesalahan berlogika dan sikap emosional yang cendrung reaktif dalam menghadapi setiap persoalan. Jika argmen untuk membubarkan NASDEM ini di lakukan dengan “konsisten” negara inipun akan ikut bubar hanya karena kesalahan individu yang ada didalamnya. Yang perlu dikritisi adalah sikap sebagian dari kita yang begitu percaya pada janji manis dan gombalan politisi tanpa menelaah dan memikirkan secara logis apakah janji tersebut realistis atau tidak, dan rasional atau tidak.
Namun kepada sebagian kalangan yang sudah termakan janji “irrasional” dan gombalan polik ini, saya sarankan bersabar saja karena sistem politik memberi peluang untuk menghukum partai ini dengan tidak memilihnya pada pemilu berikutnya. Bukan dengan menyuarakan pembubabaran partai, ini adalah tindakan emosional dan tidak demokratis, kecuali ada indikasi pelanggaran hukum yang masif dilakukan terstruktur dari kebijakan partai yang bersangkutan (ini suatu yang mustahil-sejauh ini-). Sikap politik dari publik yang semakin rasional yang kebal pada janji manis dan gombalan politisi pada saatnya nanti akan membuat partai politik “pendusta” akan tersingkir dari panggung politik nasioanl dan memaksa mereka membubarkan diri tanpa kita sibuk meneriakinya untuk membubarkan diri. Semoga ingatan kita bertahan lama dan tidak terjangkit ‘amnesia akut’ yang kambuh menjelang pemilu dan kembali tersadar setelah pesta demokrasi itu berahir.