Mohon tunggu...
Muhammed Rivai
Muhammed Rivai Mohon Tunggu... Konsultan - menulis, menlis dan menulis

...menjadi bermanfaat itu lebih bermakna...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jangan Golput Sayang…

27 Maret 2014   04:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:25 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jangan Golput Sayang…

oleh: Muhammad Rivai

Dalam politik individu dipandang sebagai mahluk rasional, namun benarkah pilihan individu untuk tidak memilih dalam pemilu adalah sebuah pilihan rasional..?.

Baiklah…. Saya akan sedikiti mengurai dampak dari pilihan individu yang memilih untuk tidak memilih dari kacamata politik dengan nalar intelektual bukan emosional.

Pertama, Golput tidak diakomodir oleh system. Kondisi ini bisa dilihat dengan sangat gamblang dimana dalam sistem politik dan pemilu yang kita anut atau dalam pandangan demokrasi secara umum pemilih yang tidak ikut berpartisipasi akan dianggap berada diluar sistem, sihingga pilihan individu untuk tidak berpartisipasi tidak akan mempengaruhi tingkat keterpilihan partai/kandidat yang maju dalam persaingan politik. Itu artinya pilihan individu untuk tidak ikut berpartisipasi tidak akan memberikan pengaruh siknifikan terhadap sistem politik. Apalagi jika Golput diartikan sebagai tindakan perlawanan terhadap sistem, tindakan perlawanan ini akan sisia-sia dan sistem akan tetap berjalan walaupun dengan  tingkat legitimasi yang sangat rendah sekalipun.

Olehkarena suara Golput tidak diperhitungkan, kita bisa melihat fakta bahwa perolehan suara Partai/kandidat selalu dihitung berdasakan jumlah suara SAH yang masuk dalam kotak suara.

Masih mau Golput….???

Kedua, punya wakil yang dipilihkan oleh sistem. Ini adalah fakta menarik yang mesti diketahui oleh para Golput-er. Taukah anda..? Golput dalam skala tertentu sangat dibutuhkan oleh partai/kandidat yang bersaing dalam perebutan kursi. Jika partai/kandidat sudah mengetahui peta kekuatan politik masing-masing maka Golput bukanlah masalah, bahkan dalam kondisi tertentu akan manjadi faktor kunci kemenangan seorang kandidat. Dalam konteks perebutan suara di parlemen Golput malahan akan menguntungkan bagi partai politik dan calon legislatornya. Logikanya jika tingkat partisipasi hanya 70% maka seharusnya kursi yang terisi hanya 70%, namun faktanya sisa kursi akan kembali diperbutkan melalui mekanisme perhitungan tahap II dan seterusnya, itu artinya sisa kursi akan dibagi secara proporsional kepada setiap partai politik dan mereka yang duduk ini akan sangat rendah jumlah perolehan suaranya. Maka tidak akan ada kursi di parlemen yang kosong hanya gara-gara golput, partai/calon legislator akan mendapat limpahan suara gratis sebagai akibat dari pilihan pemilih yang Golput. Ditambah lagi dengan diberlakukannya mekanisme ambang batas parlemen yang menyebabkan partai yang awalnya punya perelohan kursi, namun karena persyaratan ambang batas itu terpaksa meninggalkan kursinya untuk “dinikmati” oleh partai/kandidat lain.

Jadi, pemilih yang memutuskan untuk Golput sesungguhnya telah memutuskan untuk memberikan hak konstitusinya kepada sistem untuk dipilihkan wakil untuk duduk mewakilinya di parlemen. Dan wakil yang dipilih itu tidak pernah terbayangkan oleh mereka yang tidak memilihnya (hehehe…ribet ^_^). Maka jangan heran jika banyak anggota dewan yang tidak mendengarkan aspirasi rakyat, toh mereka terpilih juga dengan tingkat keterpilihan yang rendah dan mereka sadar  mereka memperoleh kursi atas patisipasi Golput. Sehingga anggota dewan ini merasa tidak ada aspirasi yang perlu di perjuangkan selain kepentingan pribadinya…(hehehe…emang Golput juga punya aspirasi…?)

Masih mau Golput…???

Ketiga, melanggengkan status-quo. Belakangan ini kita sering mendengar didengungkannya gerakan PERUBAHAN. Perubahan akan sangat sulit terwujut jika tingkat partisipasi dari warganya sangat rendah. Penguasa/elit lama akan tetap berada di kursi empuk kekuasaannya hanya dengan mempertahankan basis dukungannya dan dalam waktu yang bersamaan menciptakan jurang pemisah antara politik dan massa serta berupanya menciptakan stigma negatif dalam pikiran massa tentang politik yang berujung pada rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik. Sikap elit ini pada akhirnya akan semakin menumbuh suburkan massa mengambang yang tidak punya ketertarikan terhadap politik dan sangat mudah di propokasi sehinga mereka dengan sangaat mudah mengambil keputusan untuk Golput.

Pilihan untuk golput inilah yang kemudian akan melanggengkan kekuasaan dari elit-lama utuk tetap membari pengaruh atau bahkan akan tetap mengendalikan pemerintahan berikutnya. Masihkah kita ingin dipimpin oleh para pemimpin KORUP itu…???

Masih mau Golput juga….???

Keempat, bukti ketidak pedulian pada Negara. Sebagaimana diuraikan diatas bisa dilihat betapa besarnya efek buruk dari rendahnya tingkat partisipasi, sebagai warga Negara yang baik mestinya kita lebih mempertimbangkan maslahat yang lebih besar daripada hanya sekedar bicara kepentingan pribadi. Dan semestinya kita tidak perlu menuntut terlalu banyak kepada Negara apalagi berharap mendapatkan sesuatu yang sifatnya ideal, tapi berbuatah untuk Negara meskipun itu dimulai dari hal-hal yang kecil. Dan berpartisipasi dalam pemilihan umum merupakan salah-satu bentuk kepedulian kita pada Negara kita sendiri demi terwujudnya Negara yang demokratis yang mendapat legitimasi yang kuat dari warganya untuk memperjuangkan cita-cita proklamasi “mewujudkan kesejahterakan” bagi seluruh rakyat Indonesia.

Berkaca dari uraian diatas, masihkah Golput bisa dikategorikan sebagai pilihan rasional?, jika poin-poin diatas menjadi pertimbangan. Penulis melihat bahwa Golput bukanlah pilihan rasional namun hanya sikap emosional bahkan yang lebih parah lagi adalah sikap apatis yang sangat berbahaya atas masadepan Demokrasi. Oleh karena itu mari bersama berpartisipasi aktif dan menyalurkan aspirasi pada pemilu nanti.

Sampai pada titik ini saya ingin bertanya, dimanakah rasa Nasionalisme itu…??? jika sebagai warga Negara tidak peduli akan nasib bangsanya sendiri. Atau jangan-jangan Nasionalisme ‘kita’ hanya akan muncul Ketika Timnas bermain bola, (itupun jika tidak dibantai Malaysia…^_^), atau hanya akan membara ketika Singapura cari gara-gara?, atau ketiga Negara tetangga ramai-ramai mengklaim seni dan budaya kita yang kita sendiri tidak pamiliar dengan budaya itu.

Mari kembali kita memaknai bahwa pemilu adalah momentum peralihan kekuasaan secara damai yang memungkinkan setiap individu untuk terlibat secara aktif baik dipilih dan memilih. namun untuk sampai pada kondisi demokrasi yang stabil seperti saat ini telah banyak darah dan air mata dikorbankan, Maka sudah selaknya kita menghargai pengorbanan itu dengan partisipasi secara aktif.

Namun jika masih ada yang bersikaf skeptis dan  cendrung sinis, saya Cuma berharap cukuplah itu menjadi sikap pribadi dan jangan menjerumuskan orang lain untuk ikut dengan pilihan itu.

Mari sambut pemilu 9 april 2014 dengan 3 kata…

KOBARKAN SEMANGAT INDONESIA>>…!!!

@rivai19

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun