Mohon tunggu...
Sartika Noriza
Sartika Noriza Mohon Tunggu... -

penikmat kopi dan senja

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kisah Secangkir Kopi Hitam Pahit

30 Agustus 2011   16:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:20 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Secangkir kopi hangat itu sudah tersedia di atas meja, kopi hitam pahit yang dipesannya di kedai kopi itu, mungkin pramusaji kedai kopi sudah hafal ketika gadis itu datang dan memesan minuman “Kopi hitamnya satu mas, jangan terlalu manis”. Pramusaji itu mungkin agak heran, seorang gadis menyukai kopi hitam yang pahit dan bukan seperti kebanyakan pengunjung wanita lainnya yang mungkin memesan secangkir cappucinno atau coffeemix. Seusai memesan. ia duduk di sudut kedai yang terletak di halaman, menunggu minumannya diantar. Ia duduk sendirian dalam malam yang seperti membungkusnya bersama sepi yang merengkuh tubuhnya. Ia bahkan tak tahu kenapa ia selalu menyukai secangkir kopi pahit itu, yang ia tahu ia selalu menikmatinya dan merasa secangkir kopi adalah sesuatu yang setia menemaninya. Dibiarkannya kopi itu tetap berada di meja, ia menyulutka api ke batang rokoknya.

“Ia belum tiba dan ia selalu memintaku mengerti” katanya dalam hati, kemudian menyeruput kopinya untuk pertama kali. Pahit.

“Ia diam dan ia minta aku mengerti” katanya sekali lagi sambil meneguk kopinya lagi. Pahit.

Lalu ia letakkan lagi cangkir kopinya di atas meja, menghisap kembali tembakaunya. Bukannya ia senang dengan tembakau itu, mungkin hanya sekedar pelarian dari semua pikiran-pikirannya. Saat ia sedang galau, saat ia merasa tersiksa. Sebatang rokok sudah ia hisap dan dibiarkan masuk ke dalam paru-parunya, diambilnya korek dan disulutkannya lagi pada batang yang kedua.

“Mengapa mala mini seperti lebih gelap dari biasa?” pikirnya. Diseruputnya kembali kopinya, masih terasa pahit.

“Ah, aku sakit” Kemudian ia habiskan kopi yang tersisa dalam cangkirnya, dan tentu saja rasanya pahit. Lalu ia berjalan meninggalkan meja dan melewati tempat pramusaji sembari tersenyum dan mengucapkan terima kasih, meski sebenarnya ia sedang tidak ingin tersenyum saat itu.

(keabisan ide.. hahahaha)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun