“Selamat Hari Ibu, Mamah.. “
Aku sengaja tidak mengucapkannya kemarin ketika orang banyak merayakannya sebagai hari Ibu. Tidak Mah, karena bagiku semua hari sama saja. Hari mu, hari ku, hari kita.
Aku, dan Mamah pun tentu sama-sama tau kalau selama hampir 9 tahun terakhir ini aku hidup berpisah dari Mamah. Keadaan itulah yang membuat aku terbiasa menjalani hari tanpa mendengar suara Mamah yang cerewet, tanpa melihat senyum getir Mamah, bahkan tanpa merasakan kesulitan yang Mamah rasakan. Iya Mah, aku terbiasa seperti itu. Maka ketika Mamah menagih rindu dariku, maaf aku tak sebisa itu memberikannya. “ Kenapa gak pernah ngasih kabar, Nak? Mamah khawatir. Apa kamu sudah lupa sama Mamah? Apa kamu sudah tidak menganggap Mamah lagi?” . Dengan kata-kata itu, sekejap aku langsung luruh. Tak berdaya demi mendengar kata-kata itu. Benar kata pepatah, kasih Ibu sepanjang jaman, kasih anak sepanjang galah.
Sejujurnya aku pun rindu padamu, Mah. Tapi rasa rindu itu kadang bisa terusir karena kesibukanku. “Kamu lagi sibuk, Nak? Kapan kamu libur? Kalo libur jangan lupa main kesini ya. Mamah pengen ketemu”. Main? Mamah nyuruh aku main ke rumah sendiri? Ooohh Mamah, sebegitu jauhkah jarak kita? Sebetulnya tidak, Mah. Kini kita hanya terpisah oleh batas Provinsi, tak seperti dulu yang terpisahkan oleh gunung dan lautan.
Aku ingin membuatmu bangga dan bahagia, Mah. Itu janjiku dulu dan hingga kini aku masih berusaha meraihnya. Aku samasekali tak bermaksud membuatmu kecewa dan marah. Kata-kata Mamah kemarin itu bak kado pahit untukmu di momen hari Ibu yang semua orang merayakannya. Mafkan aku, Mamah :’(
Aku iri pada teman yang begitu dekat dengan Mamahnya. Aku iri pada teman yang begitu akrab dengan Mamahnya. Aku iri pada teman yang menganggap Mamahnya adalah sahabatnya.
Berkali-kali aku juga berusaha tidak mengingkari bahwa aku juga bisa dekat dengan Mamah, berteman akrab dan bersahabat dengan Mamah. Tentu saja. Tapi dalam beberapa hal aku tetap tidak bisa seperti itu. Sekali lagi, seakan jarak yang tak lagi begitu jauh ini menghalangi bak benteng pertahanan yang kokoh nan tangguh.
Dalam diam ini, aku selalu memujimu. Aku akan selalu menghargai dan menghormatimu sebagai Pahlawan yang namanya akan selalu terukir di sepanjang sejarah hidupku, sebagai Pejuang yang selalu rela berkorban dan pantang menyerah sepanjang hayatmu, sebagai Sahabat terbaik dan terhebat sepanjang masa.
Mamah, aku hanya bisa mengurai goresan kata dalam bingkai cerita yang terpahat di media. Semoga tanpa membaca tulisan ini pun, Mamah bisa melihat betapa pilunya aku kini karena menahan rindu dan rasa bersalah ini. Aku ingin pulang memeluk Mamah, memohon maaf dari Mamah...
*loveyousoooomuuccchhh, Mamah :*
Kota Atlas, 24 Des2013
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI