Mohon tunggu...
Saroni Asikin
Saroni Asikin Mohon Tunggu... -

Pemungut kata dari udara untuk ditebar dalam tawa, canda, dan duka

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Si Bisu Bernyanyi

26 September 2010   09:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:57 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belasan kali saya melihatnya tampil di atas bus trayek Semarang-Surabaya. Selalu dengan aksi dan ekspresi yang sama. Naik dari pintu belakang, membawa ukulele, pengamen itu berjalan pelan ke bagian tengah bus. Lalu, mulutnya komat-kamit tanpa sedesis bunyi pun terdengar. Kali pertama melihatnya, saya berpikir dia sedang merapal mantra agar mantap beraksi.
Panjang komat-komitnya itu. Matanya sering dipejam-pejamkan. Lalu... jreng, jreng, jreng. Bukan petikan bermelodi atau genjrengan berirama. Seperti asal genjreng, dan monoton. Dan selama jrang-jreng itu, tetap tak ada suara dari mulutnya yang terus komat-kamit seolah-olah tengah bernyanyi. Kami, para penumpang, tak pernah tahu lagu apa yang dia mainkan. Mungkin sama dengan lagu wajib para pengamen lainnya. Ya, macam ''Kehilangan'' dari Firman, atau tembang ciptaan para pengamen yang liriknya mirip balada apologis; ''Kula ngamen namung adol swara, luwih becik ketimbang kerja ala''.
''Penyanyi tanpa nyanyian''. Aneh? Tak selalu. Mungkin dia bisu, mungkin juga tidak. Saya tak pernah mendengar satu vokal pun dari mulutnya. Dari orang bisu kadang masih bisa kita dengar suaranya meski hanya ah-uh saja. Kalau dia benar-benar bisu, baiklah kita sebut saja dia ''si bisu yang bernyanyi''. Ini bisa mengingatkan kita pada Charlie Chaplin semasa film bisu. Bedanya barangkali, aksi konyol lelaki berkumis Hitler itu bisa menggugah tawa, namun mimik memelas pengamen kita itu menggugah belas kasih.
Ketika dia akan mengakhiri aksinya, ukulelenya dia cangking, dan mulutnya kembali bergerak-gerak tanpa satu bunyi pun terdengar. Itu pasti ''khotbah penghabisan'', ritus yang dilakukan hampir semua pengamen sebelum bergerak menyorongkan tempat uang.

***

BEBERAPA hari lalu, saat kembali ''menikmati'' aksi ''si bisu bernyanyi'' itu, saya teringat Justin Beiber, Shinta-Jojo, dan Toni Blank. Lho, citra apa yang menghubungkan mereka? Lagi pula, kalau dilihat dari segi popularitasnya saja bak semut dan gajah. ''Si bisu bernyanyi'' hanya dikenal para penumpang bus trayek Semarang-Surabaya, sedangkan ketiga nama itu sudah mundial alias mendunia.
Sudah kita tahu, Justin jadi selebritis berkat ibunya yang mengunggah video ke Youtube. Shinta-Jojo pun begitu, mengunggah karya lipsync mereka ke situs yang sama. Toni Blank yang lalu tercitrakan bak komentator serbabisa berkibar namanya berkat X-Code Films lewat Facebook dan Youtube. Dan tak termungkiri, kita rupanya tengah hidup di bawah panji-panji Facebook, Twitter, atau Youtube. Mereka yang tadinya zero bisa menjadi hero hanya dalam beberapa menit proses pengunggahan di internet.
Ironisnya, atau mungkin dahsyatnya, untuk jadi semacam ''hero'', orang tak perlu berlarat-larat meyakini peribahasa ''bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian''. Jujur saja, Justin memang layak jadi selebritis karena bakat menyanyinya yang oke. Shinta-Jojo, maaf saja, bahkan dibandingkan dengan Cinderella atau Rapunzel yang harus menahan penderitaan sekian lama sebelum bertemu sang pangeran penyelamat, pun tak bisa.
Toni Blank lebih mirip Justin dalam hal punya ''celebrity maker''. Tapi Toni memang unik. Dia dikenal kurang waras dan penghuni panti sosial di Yogyakarta. Mungkin tadinya Toni hanyalah objek (meski dengan alasan kreativitas) dari X-Code Films. Objek agar kita yang menikmati videonya bisa tertawa. Tapi buktinya Toni riang-riang saja.
Mungkin saja Toni Blank Show adalah sebuah antitesis dari tayangan diskusi-diskusian atau talkshow eksklusif di televisi yang menghadirkan para pakar dengan embel-embel mentereng: pengamat anu, pemerhati inu, pakar unu, et cetera. Mungkin kita memang sudah jenuh dengan hal seperti itu. Pakar berbicara, tapi persoalan tak kunjung bersua solusi. Mending dengar komentar Toni saat ditanya arti men sana in corpore sano. ''Sesuatu nilai lelaki dan perempuan yang mempunyai nilai bobot maskulin,'' ujarnya dengan mimik mantap meski matanya tetap terlihat culun.
Ya, terhadap omongan para pakar kita mendengarkan dan berharap suatu penyelesaian persoalan. Terhadap omongan Toni, kita hanya ingin tertawa. Lalu apa hubungannya dengan ''si bisu bernyanyi'' itu? Silakan Anda menemui dia saat menunggu bus. Utarakan bahwa Anda ingin memfilmkannya dan mengunggahnya ke Facebook atau Youtube. Jangan lupa bikin tagline yang menggoda: Mau tahu orang bisu yang bisa bernyanyi? Inilah dia si Charlie Chaplin baru!
Silakan. Kalau saya sih, ketimbang menyaksikan mimik memelasnya mending melihat aksi Aura Kasih kalau dia ikut acara Selebriti Ngamen yang ditayangkan sebuah stasiun televisi. Hehehe.... (*)

(Epilude, Suara Merdeka, 26 September 2010)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun