"Berapa lama kita tidak bertemu? Delapan atau sembilan tahun ya?" aku mengangguk.
"Lama juga ya?" tanyanya lagi retoris. Dan kamu pasti tahu bahwa sembilan tahun itu sangat menyiksaku bahkan nyaris membuatku gila, batinku.
"Keluarga sehat?" tanyaku berbalik.
"Sehat. Alhamdulillah." jawabnya dengan logat Garut-nya yang kental.
"Syukurlah." ucapku.
Hening. Sesaat kami pun terdiam. Langkah kaki sang pelayan yang mengantar pesanan kami dan sayup-sayup lagu Tears in Heaven-nya Eric Clapton yang terdengar lewat pengeras suara di kafe ini menyempurnakan keheningan kami.
Sejenak kulirik ia yang duduk di sebelah kiriku. Ada perih yang tertahan. Betapa waktu telah mengubah semuanya. Menenggelamkan harap dan berjuta mimpi yang pernah kureka. Pada akhirnya, harus kusadari, Rizal memang tak ditakdirkan Tuhan untuk dapat utuh kumiliki. Jarak dan terbatasnya sarana komunikasi menjadi alasan klise terputusnya jalinan kebersamaan kami. Tapi mungkin seperti itulah jalan Tuhan. Aku yang lebih dulu meninggalkan kampus dipaksa juga untuk kehilangannya.Â
Rizal yang aktif berorganisasi membuatnya lebih lama 'hidup' di kampus. Empat tahun setelah aku lulus, barulah Rizal benar-benar meninggalkan kampus. Ia memperoleh tiga gelar sekaligus: S.Pd, M.A. Sarjana Pendidikan dan Mahasiswa Abadi. Meskipun begitu, justru gelar M.A-nya lah yang membuatnya seperti sekarang.Â
Pengalamannya dalam berorganisasi di kampus membawa Rizal pada karier politik, yang sampai hari ini bisa dikatakan cemerlang. Di usianya yang baru menginjak 34 tahun, ia telah dikenal sebagai pengusaha muda dan seorang pejabat karena pekerjaannya sebagai wiraswasta sukses dan salah satu anggota legislatif di provinsi ini.Â
Malam ini pun kulihat Rizal yang jauh lebih dewasa. Badannya tampak lebih gemuk dan berisi. Lebih tepatnya, ia tampak lebih mapan. Tapi semoga bukan alasan itu yang membuatku tak bisa menghapus segala kenangan tentangnya dari benakku.
"Diminum atuh! Nanti keburu dingin." seloroh Rizal. Sejenak membuat mataku berkedip. Kuambil gelas Cappuccino di depanku dan segera menyeruputnya. Lumayan juga ternyata. Cappuccino panas yang mulai hangat ini sedikit melepaskan hawa dingin Bandung yang kurasakan.