Mohon tunggu...
Den Baguse Sarno
Den Baguse Sarno Mohon Tunggu... -

Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawabannya atas yang ia pimpin...

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Moral Buruk Oknum Polisi

9 Januari 2014   12:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:59 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Institusi Polri dibentuk dalam rangka untuk penegakan hukum dan perlindungan masyarakat. Jika seluruh jajaran korps berseragam coklat memahami dan menghayati tugas dan fungsi yang diembankan di pundak mereka, keamanan dan ketentraman masyarakat adalah suatu hal yang niscaya.

Banyak berita positif yang mengapresiasi gebrakan-gebrakan progresif yang dilakukan kepolisian akhir-akhir ini. Sebagai contoh, penggunan mobil dinas berupa Toyota Innova oleh Kapolri baru, Jenderal (Pol) Sutarman, pengungkapan korupsi di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, pemberantasan terorisme dan sebagainya.

Namun demikian, berita negatif tentang oknum-oknum polisi nakal juga tidak sedikit. Seperti kejadian nyata yang dialami oleh teman sekantor saya dua hari yang lalu. Alkisah, teman kantor saya (Agung) ini punya adik ipar (Budi) yang saat itu lagi mengunjungi salah satu kerabat di Sukabumi bersama kedua orang tuanya. Singkat cerita, ketika dalam perjalanan pulang dari Sukabumi arah Bogor di malam hari terjadi kecelakaan yang melibatkan mobil yang dikendarai Budi, seorang pengendara sepeda motor dan mobil pick up. Salah satu saksi menyebutkan bahwa awalnya pengendara motor yang searah dengan mobil pick up bersenggolan, sehingga pengendara motor terjatuh dan terlempar ke arah kanan sehingga ditabrak mobil Budi dari arah yang berlawanan. Ada saksi yang juga menyampaikan bahwa pemotor tersebut dalam kondisi di bawah pengaruh alkohol.

Pengendara motor tersebut seorang anak muda laki-laki berusia sekitar 18 tahun. Sebenarnya Budi dan orang tuanya dibantu beberapa penduduk sekitar sudah berusaha untuk menyelamatkan si korban dengan membawanya ke beberapa klinik dan puskesmas terdekat untuk mendapatkan penanganan awal. Namun dikarenakan kondisi malam hari, beberapa puskesmas dan klinik tersebut sudah tutup dan sebagian menolak dengan melihat kondisi korban yang cukup parah. Sampai di salah satu rumah sakit di daerah Sukabumi, petugas kesehatan menyatakan bahwa korban sudah meninggal.

Inilah cerita awal buruk dimulai. Karena atas kecelakaan yang terjadi, mau tidak mau harus berurusan dengan pihak yang berwajib. Tempat kejadian perkara (TKP) masuk dalam wilayah Polres Skbm. Kebetulan Budi termasuk orang yang tidak pandai bicara (negosiasi), termasuk kedua orang tuanya, yang memang secara usia sudah termasuk lanjut sehingga meminta bantuan kakak iparnya (Agung) untuk membantu penyelesaian masalah di kantor polisi. Agung pun berinisiatif meminta bantuan temannya yang juga seorang anggota polisi yang bertugas di Polda Metro untuk membantu menangani kasus ini.

Orang tua korban dengan ditemani saudara dan kepala desa awalnya menerima kejadian ini sebagai musibah. Korban adalah remaja putus sekolah yang disebabkan oleh kondisi ekonomi orang tuanya yang lemah, meski sepanjang pembicaraan, orang tua korban tidak henti-hentinya menghisap rokok merk Dji S*m Soe.

Sebenarnya Budi ingin menyelesaikan permasalahan ini lewat mekanisme pengadilan karena dia merasa sama sekali tidak bersalah. Ketika dikonsultasikan hal tersebut ke temannya Agung yang anggota polisi, disampaikan bahwa bisa saja melalui pengadilan, namun apapun putusannya, karena dianggap telah menghilangkan nyawa orang, ada kewajiban lapor ke kantor polisi TKP dua kali dalam seminggu. Kebayang bagaimana ribet dan capeknya, jika opsi ini dipilih.

Di akhir pembicaraan, oleh orang tua disampaikan bahwa sebagaimana adat setempat untuk memberikan doa kepada orang yang meninggal di acara 7 hari, 40 hari, dan 100 hari, maka diminta pada keluarga Budi untuk memberikan bantuan berupa santunan dengan menyebutkan angka Rp 10 juta.

Jelas Budi merasa keberatan dengan angka tersebut, di samping karena ini murni musibah, kondisi keuangan yang bersangkutan juga sedang tidak sehat. Ketika dikonsultasikan ke teman Agung yang anggota polisi, dikatakan bahwa kalau kejadian perkara di wilayah DKI, biasanya tarifnya bisa lebih dari itu, sekitar Rp 25 juta.

Karena kondisi fisik yang sudah sangat cape dan tidak ingin berlarut-larut, meski dengan berat hati, Budi menyetujui angka sebesar itu dan pembayaran dilakukan secara tunai dengan berhutang kepada Agung. Done. Urusan dengan keluarga korban selesai sampai di sini. Namun untuk bisa kembali ke Jakarta masih ada satu urusan lagi yang harus diselesaikan. Apakah itu? Betul, mobil Budi yang menjadi barang bukti kecelakaan lalu lintas masih ngendon di kantor polisi.

Usut punya usut, untuk bisa mengambil mobilnya, disampaikan oleh petugas agar Budi menghadap ke komandan. Awalnya Budi menolak menghadap karena merasa urusan hukumnya sudah selesai dengan pihak korban dan pastinya terbayang extra cost yang akan dikeluarkan. Singkat cerita untuk bisa membawa mobilnya pulang, Budi harus membayar Rp 1 juta. Pastinya tidak ada kuitansi. Apes-apes.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun