Kamis, 12 Desember 2013
Akhir-akhir ini aku sering sekali menulis curhatku di buku harian. Bagiku, dengan menulis isi hatiku, aku merasa galauku hilang dengan sendirinya. Aku merasa dengan menulis, aku benar-benar bebas. Selain menulis curhat, aku juga sering curhat dengan paman Daniel teman ayahku.
Tadi siang setelah pulang sekolah, aku pergi ke rumah paman Daniel. Paman adalah teman ayah waktu mahasiswa dulu. Kata ayahku, paman itu orangnya sangat idealis dan selalu melawan oknum pemerintah yang jahat.
Karena semangat perlawanannya, paman Daniel akhirnya di kejar-kejar sama para tentara pada orde baru. Banyak teman paman dan ayah yang diculik, paman dan ayah berhasil meloloskan diri.
Setelah reformasi, ayah sibuk dengan urusan politik, sedangkan paman hanya menjadi seorang dosen saja. Paman sering mengajariku berbagai hal, termasuk masalah politik yang tidak aku mengerti.
Paman sering menceritakan tentang kenangan masa lalunya bersama ayah. Kata paman, dulu ayah dan paman sering juga pergi demo. Tapi kata paman, setelah selesai kuliah, ayah sudah berubah dan cenderung melupakan idealismenya.
Paman khawatir, jangan sampai ayah terjerumus korupsi setelah ayah menjadi Anggota DPR. Aku begitu khawatir dengan semua itu, aku tidak mau menjadi anak koruptor, aku tidak mau menjadi anak pencuri, aku harus selalu ingatkan ayahku kalau ayah sudah menjadi Anggota DPR.
Kata-kata paman membuatku shock, aku lansung pulang ke rumah setelah mendengar hal itu. Setelah sampai di rumah, aku lansung masuk ke kamar dan menangis. Aku benar-benar takut jangan sampai hal itu terjadi.
Satu hal yang membuat hatiku sedikit tenang, yaitu duduk di atas meja dan menulis dukaku pada diari. Menceritakan kesedihanku pada goresan pena di atas kertas putih.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H