Oleh : Dr. Sarmini
Pada Sabtu tanggal 23 Juli 2022  lalu kita memperingati Hari Anak Nasional 2022. Tetapi mirisnya yang harusnya diwarnai cerita tentang prestasi, akhlaq mulia, kemajuan Pendidikan, atau segala tentang keceriaan anak tetapi ternyata  maraknya kasus kekerasan dan perundungan terhadap anak mencoreng catatan Hari Anak Nasional.
Bagaimana kita sangat prihatin dengan pemberitaan di media bahwa banyaknya kasus bullying, perundungan pada anak, kekerasan baik fisik, psikis ataupun seksual. Bahkan ada anak yang  di lapas meninggal karena disiksa teman satu sel nya, bahkan di berita lain ada  anak diduga depresi berat karena dirundung teman sebayanya.
Seharusnya setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Itu adalah bunyi pasal 1, UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perindungan Anak
Dilansir TEMPO.CO, Jakarta, KPAI Ungkap Ada 12 Kasus Kekerasan Seksual Anak Sepanjang Januari-Juli 2022. Dari Januari-Juli tercatat 12 kasus kekerasan seksual yang terjadi di 3 (25 persen) sekolah dalam wilayah kewenangan Kemendikbudristek dan 9 (75 persen) satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama. Dari 12 kasus itu, sebanyak 31 persen kekerasan seksual terjadi pada anak laki-laki dan 69 persen anak perempuan.
Berdasarkan jenjang pendidikan, kasus kekerasan terjadi dijenjang SD sebanyak 2 kasus, jenjang SMP sebanyak 1 kasus, pondok pesantren 5 kasus, madrasah tempat mengaji/tempat ibadah 3 kasus; dan 1 tempat kursus musik bagi anak usia TK dan SD. "Rentang usia korban antara 5-17 tahun."
Maka kondisi seperti ini masuk pada darurat kekerasan anak. Bagaimana tidak ? Bahkan pada beberapa kasus pelaku kekerasan tersebut pelakunya adalah orang-orang terdekat, seperti orang tua, saudara kandung, tetangga, kerabat, teman sepermainan, bahkan guru. Di mana orang -orang tersebutlah yang harusnya melindungi anak . Bagaimana bila anak sudah tidak aman bersama orang-orang terdekatnya ?
Maka apa bila kekarasan tersebut dilakukan oleh orang terdekatnya, masuk pada UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perindungan Anak khususnya Pasal 13, yaitu  (1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran; d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan; dan f. perlakuan salah lainnya. (2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Kondisi seperti ini sudah selayaknya kita, guru dan orang tua harus jeli dan mampu memitigasi serta menelisik lebih awal  untuk melakukan deteksi Ketika  anak memiliki perubahan prilaku. Upaya peningkatan kapasitas terkait dengan deteksi awal penting juga sekaligus untuk membangun komunikasi intensif antara guru dan orang tua murid.
Perlakuan Salah terhadap Anak (Child Abuse) adalah kekerasan juga. Suatu tindak kekerasan disebut perlakuan salah terhadap anak jika dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan dekat dengan anak, seperti orangtua, kerabat, guru, pembina kelompok kegiatan, atau orang lebih tua lainnya yang punya hubungan dengan anak. Bentuknya juga bisa secara fisik, psikis, maupun juga seksual. Disebut perlakuan salah atau abuse karena pelaku menyalahgunakan kepercayaan anak kepada dirinya, kekuasaannya atas anak, dan atau posisinya yang lebih kuat terhadap anak secara fisik, mental, maupun sosial.