Seorang anak SD mengadu kepada Ibundanya, telah menemukan sebungkus rokok di dalam tas kerja ayahnya. Anak ini mengadu karena merasa aneh, bagaimana mungkin ada rokok di dalam tas ayahnya, sedangkan setahunya dia tidak merokok dan juga melarang anak-anak merokok.Â
Selama ini kedua orang tua si Anak mengajarkan pola hidup sehat, seperti antara lain jauh dari rokok. Anak-anaknya pun lalu tumbuh dan berkembang dengan kebiasaan hidup yang sehat.Â
Sayangnya, ternyata si anak telah membuka tas kerja ayahnya itu tanpa setahu pemiliknya. Sebuah perilaku kurang etis. Seseorang tidaklah elok membuka-buka "properti" orang tuanya maupun orang lain tanpa ijin. Keberhasilan si orangtua membangun pola hidup sehat rupanya tidak diikuti dengan keberhasilan mengajarkan pola hidup beretika.Â
Lepas dari mana asal-usul rokok di dalam tasnya, si Ayah merasa kecolongan. Diingatkan anaknya atas perbuatan yang kurang terpuji dan memintanya agar tidak mengulanginya. Tetapi, tidak seperti biasanya, kali ini si anak memprotes, karena ayah bundanya juga sering membuka-buka tas-nya.Â
Kedua orangtuanya tidak mau kalah, mereka beralasan, memeriksa tas anak adalah sebuah wujud pengawasan. Setiap orang tua berkewajiban mengawasi anak-anaknya untuk memastikan agar mereka senantiasa berjalan pada rel yang benar. Juga untuk meminimalisir potensi terjadinya perilaku menyimpang.Â
Dalam sebuah rumah tangga, Ayah atau Bunda adalah pihak yang paling bertanggungjawab atas masa depan kehidupan anak-anaknya. Maka lumrah saja kalau Ayah sebagai kepala keluarga sesekali langsung mengawasi, mengendalikan dan kalau perlu menindak anaknya.Â
Apalagi kini, di era yang serba longgar dan permisif, pengawasan yang ketat oleh orang tua kadang pun dirasakan belum cukup. Gempuran teknologi mutakhir telah membuka lebar-lebar semua pintu, jendela dan pagar rumah. Informasi dari manapun asalnya dan apapun jenisnya bisa keluar-masuk langsung dari dan ke kamar kecil sekalipun.Â
Maka, sepanjang untuk kepentingan keluarga dan demi masa depan anak, seorang Ayah boleh cawe-cawe. Cawe-cawe akan selalu ada dan hanya akan berkurang dengan sendirinya ketika si Anak sudah semakin bisa dipercaya dan si Ayah juga semakin bisa percaya. Atau kedua pihak bisa saling bisa dipercaya.Â
Beda lagi dengan urusan lingkup yang lebih besar dan luas, RT, RW, Kelurahan hingga kelola Negara. Pengawasan tidak bisa hanya mengandalkan saling percaya. Di sini "ayah" tidak bisa melakukan sendiri dan tidak bisa lagi seenaknya.Â
Ibarat penjual bakso. Saat masih berjualan keliling memakai gerobak dorong, bisa saja dia mengurus segala hal sendiri. Dari mulai belanja bahan, mengolah, menyajikan dan menerima pembayaran. Dia bisa menggunakan sumberdayanya semaunya. Otoritas sepenuhnya ada pada dirinya seorang.Â
Ketika jualannya membesar dan berkembang tersebar di mana-mana, dia tidak mungkin lagi mengurusnya sendiri. Untuk menjalankan bisnisnya diperlukan organisasi yang terstruktur rapi dengan pembagian tugas pokok dan fungsi masing-masing secara jelas dan tidak tumpang tindih.Â