Hari ini, meskipun belum yakin benar, tapi rasanya cukup beralasan untuk bahagia merasakan pandemi covid-19 mulai melandai. Indikasinya mudah saja, yaitu tidak tampak lagi papan pengumuman di depan rumah-rumah bahwa penghuninya sedang terpapar. Pak Bupati dan bu Bupati tidak lagi secara berkala broadcast melaporkan perkembangan kasus di daerahnya.Â
Indikasi lainnya, ambulan tidak sering lagi mondar mandir ke sana ke mari meraung-raung meminta jalan. TOA di mushola tidak lagi berulang-ulang mengumandangkan berita duka karena covid-19. Juga tidak ada lagi berita tabung oksigen menjadi rebutan dan bahan pertengkaran. Pesan-pesan di grup media sosial juga sudah tidak didominasi berita pandemi.Â
Tidak menutup kemungkinan juga, kasus melandai karena telah tercapai herd immunity, kondisi ketika mayoritas orang telah memiliki kekebalan. Kekebalan bisa terbangun setelah banyak orang terpapar tetapi berhasil kembali sehat.Â
Herd imunity semakin kuat bila ditambah dengan banyaknya warga yang sudah menjalani vaksinasi. Teorinya, semakin banyak orang kebal terhadap suatu penyakit, semakin kecil peluang penyakit tersebut untuk meluas.Â
Walau begitu lebih baik selalu siaga dan tetap waspada. Masih banyak kemungkinan yang bisa terjadi terkait pandemi ini. Tidak ada yang tahu pasti. Mungkin pandemi pergi sementara atau mungkin juga sedang bersembunyi di balik kegelapan.Â
Sembari berharap pandemi tidak kembali mencuat, ada baiknya dicatat pengalaman bersama covid-19 selama dua tahun belakangan ini. Siapa tahu catatan itu bisa untuk bekal hidup kini dan esok hari.Â
Catatan paling membekas di benak banyak orang di awal pandemi adalah tingginya rasa saling curiga. Orang saling curiga dan was-was, orang lain adalah pembawa virus. Begitu curiganya sehingga  kekhawatiran dan kepanikan pun meninggi. Semakin curiga semakin bertambah panik.Â
Masuk akal, karena virus ini memang dikabarkan sangat mudah menular. Oleh karena itu salah satu langkah yang diambil di banyak Negara di dunia adalah menerapkan pembatasan kegiatan masyarakat. Tujuannya meminimalisir kontak antar warga.Â
Orang lalu dianjurkan untuk tidak bepergian dan tetap tinggal di rumah. Anjuran ini meskipun tidak luput dari protes dan ekspresi ketidaksetujuan, secara umum dipatuhi. Apalagi aparat pun tidak segan menindak tegas para pelanggarnya.Â
Maka, mulai saat itu dikenal WFH. Tidak pandang bulu, dari bos, pengusaha, buruh, karyawan, guru, dosen, mahasiswa, pelajar sampai pedagang kaki lima, semua Work From Home, pekerjaan dilakukan dari rumah. Tempat-tempat pelayanan umum membatasi jam kerjanya. Toko, warung dan sejenisnya harus mengurangi jam usahanya, tutup sementara atau malahan tutup selamanya.Â
Cukup berat bagi banyak orang yang hidup dari usahanya sendiri. Berat, karena sumber nafkahnya tertutup, padahal hidup harus terus berlanjut. Menjadi semakin berat karena beralih ke usaha yang lain untuk menafkahi keluarga, tentu tidak semudah membalik tangan.Â