Sudah berulang kali persoalan bendera Aceh dibahas. Tidak hanya di ranah lokal tapi sudah bolak-balik diangkat hingga ke tingkat nasional. Ada apa gerangan?
Ketika UU tentang Pemerintahan Aceh disahkan, wilayah Serambi Mekkah itu diberi sejumlah kekhususan. Di antaranya, Aceh boleh membentuk partai lokal dan dapat menetapkan bendera daerah sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan. Ketentuan tentang bendera dan lambang daerah itu tertuang pada Pasal 246 Ayat 2 UU Nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh.
Dalam implementasinya, Pemerintah Aceh dan DPRA menerbitkan Qanun (Perda) Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. Namun qanun tersebut hingga kini belum dapat dilaksanakan karena Pemerintah Pusat menilai bendera dan lambang yang ditetapkan dalam qanun bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi, yaitu Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah yang melarang penggunaan simbol-simbol dan atribut separatis sebagai lambang daerah. Tegasnya, bendera dan lambang Aceh tidak boleh mirip atau sama persis dengan Bendera yang pernah digunakan Gerakan Aceh Merdeka.
Rapat konsultasi
Persoalan bendera dan lambang Aceh ini sudah berusia tiga tahun. Rapat konsultasi sudah berulang kali digelar selama tiga tahun ini. Di antaranya, pertemuan konsultasi di Hotel Sultan Jakarta pada 17 Desember 2012 yang dihadiri perwakilan juru runding perdamaian Aceh (Jusuf Kalla dan Ahmad Farhan Hamid) serta pertemuan dengan Wapres Jusuf Kalla di Jakarta pada 28 April 2016.
Terakhir pada 2 Mei 2016 di Gedung Utama DPR Aceh yang dihadiri Gubernur dan Wakil Gubernur, Wali Nanggroe Aceh, seluruh Pimpinan DPR Aceh dan Ketua-ketua Komisi baik di Provinsi maupun Kabupaten/Kota serta pimpinan dan anggota Pansus Qanun 3/2013. Setelah melalui berbagai sharing pendapat, mayoritas peserta rapat tidak bersedia mengubah isi Qanun, walaupun Wali Nanggroe Aceh sudah menyarankan agar disain Bendera Aceh menggunakan lambang dan bendera yang pernah digunakan Kerajaan Aceh, sehingga tidak meninggalkan nilai historis ke Aceh-an.
Sudah ada sinyal, segera setelah Lebaran ini Pansus Qanun 3/2013 akan segera bersidang. Tetapi hasil akhirnya sudah bisa ditebak: deadlock seperti yang sudah-sudah. Persoalan bendera akan terus digantung dan diulur.
Ini patut dibaca sebagai sebuah strategi politik yang erat kaitannya dengan agenda Pilkada 2017. Partai Aceh (PA) sebagai pemilik kursi mayoritas di DPR Aceh memang terpecah dalam hal dukungan terhadap calon gubernur (cagub/cawagub) yang mereka usung. Tetapi dalam persoalan bendera, mereka tetap ‘satu kaki’. Dalam rumusan bahasa praktis, mereka sedang “menyandera” persoalan bendera untuk memenangkan sebuah pertarungan politik. Yaitu untuk mendapatkan dukungan dari partai-partai nasional (parnas) bagi cagub yang diusung PA.
Hasilnya, PA sudah mulai mendapatkan dukungan dari Gerindra. Saya membaca, dukungan Gerindra itu tidak semata-mata diberikan lantaran Muzakir Manaf (cagub dari PA) menggandeng TA Khalid (Ketua DPD Gerindra Aceh) sebagai cawagub, tetapi lebih sebagai keberhasilan PA ‘menggertak’ parnas. Sebentar lagi, mungkin PA akan mendapatkan dukungan yang sama dari Nasdem dan Golkar kendati kedua parnas ini sesungguhnya bisa berkoalisi satu sama lain untuk mengusung satu paket sendiri. Golkar dan Nasdem telah menyia-nyiakan 17 kursi miliknya di DPRA dengan hanya ‘menjajakan’ kandidatnya ke paket lain sebagai wakil kepala daerah. Sebuah strategi ‘cari aman’.
Maka tak heran kalau banyak prediksi mengatakan, Muzakir Manaf sesungguhnya sudah memenangkan Pilgub Aceh sebelum Pilkada 2017 digelar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H