Â
[caption caption="suasana di DPR Aceh"][/caption]Sungguh menarik mengamati dinamika politik di Aceh saat ini. Lebih menarik lagi jika kita mengarahkan pandangan pada lembaga DPR Aceh (DPRA). Sepuluh bulan menjelang hari pencoblosan, (Pilkada serentak pada Februari 2017), lembaga wakil rakyat di ujung Barat Indonesia ini tengah menunjukkan wajah tak ramah.
Beberapa produk dari lembaga yang didominasi kader-kader Partai Aceh ini (29 kursi dari 81 kursi DPRA) serta perilaku politik sejumlah anggotanya dengan mudah dapat ditebak apa motif dan modusnya. Maka tak heran belakangan ini ia nyaris tak pernah sepi dari cercaan rakyat. Cercaan tidak hanya datang dari masyarakat lokal  tetapi juga dari sejumlah tokoh masyarakat Aceh di perantauan, seperti di Medan dan lebih-lebih di Jakarta.
Setidaknya ada dua sebab mengapa lembaga DPR Aceh ini menjadi sasaran hujatan.
Pertama, Revisi Qanun Pilkada
Dinamika politik lokal Aceh memang tidak bergerak dari satu poros, tetapi manuver politik lokal yang paling menonjol saat ini berasal dan mengarah kepada poros yang sama. Yakni bagaimana memenangkan atau sebaliknya bagaimana mengalahkan Muzakir Manaf. Muzakir Manaf yang akrab disapa Mualem ini dan orang-orang di seputar kekuasaannya menjadi subyek sekaligus obyek berbagai manuver politik lokal. Ini lantaran Mualem memiliki power politik yang mumpuni. Ia adalah Wakil Gubernur Aceh dan juga Ketua Umum sebuah partai lokal (Partai Aceh/ PA) yang memiliki massa pendukung sangat banyak. Dengan 29 wakil di DPRA serta mendominasi sejumlah lembaga wakil rakyat di mayoritas kabupaten/kota (DPRK) di seluruh Aceh.
Saingan Mualem di Pilkada 2017 cukup berat, yaitu tokoh-tokoh Aceh yang juga memiliki basis pendukung dari kalangan eks kombatan GAM. Di antaranya adalah Irwandi Yusuf (mantan Gubernur Aceh 2007-2012), Zaini Abdullah (Gubernur Aceh saat ini), dan Zakaria Saman. Selain itu juga ada tokoh-tokoh Aceh lainnya yang tak kalah populer di mata Rakyat Aceh seperti Tarmizi A Karim, Ahmad Farhan Hamid, dan mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh. Mereka sudah menyatakan tekadnya untuk maju bertarung dalam panggung politik Pilgub 2017.
Dari deretan nama-nama itu, baru Irwandi Yusuf yang memiliki kendaraan politik sendiri, yaitu Partai Nasional Aceh (PNA). Irwandi juga mengklaim dirinya telah didukung oleh Partai Demokrat dan Partai Daulat Aceh. sementara kandidat-kandidat lainnya belum memiliki kendaraan politik yang jelas. Maka jalur independen menjadi pilihan terakhir mereka.
Muzakir pun bermanuver. Badan Legislatif (Banleg) di DPR Aceh mulai pekan lalu membahas Rancangan perubahan Qanun (Raqan) Pilkada yang diajukan oleh Pemerintah Aceh. Banleg lantas memperketat syarat calon independen. Calon harus melampirkan salinan KTP konstituen. Tidak hanya itu. Masing-masing konstituen wajib harus menandatangani surat pernyataan dukungan bermeterai cukup, mengetahui Keuchik (lurah). Dokumen ini menjadi bagian tak terpisahkan dalam kelengkapan administrasi pendaftaran calon, persyaratan yang sebelumnya tidak ada dalam draf (Raqan) yang diajukan Gubernur Aceh maupun dalam Qanun No. 5Â Tahun 2012 tentang Pilkada Aceh.Â
Dengan persyaratan baru ini, langkah para calon gubernur Aceh dari jalur independen semakin sulit. Makanya, reaksi keras datang bertubi dengan berbagai tuduhan ke tubuh PA maupun DPRA. Diantaranya tudingan dari Ketua Forkab Aceh, Ahmad Yani bahwa PA pengecut. Â Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Aceh menuding elit politik Aceh sedang membuat kekacauan politik jelang Pilkada.
Irwandi dan Zaini Abdullah juga mengeluarkan sindiran keras kepada PA.