Ilham sudah tidak bisa berlama-lama di tempat yang memiliki banyak sekali kenangan ini. Ia tidak terbiasa untuk melewati kenangan bersama dengan Elma di sini.
Sebuah tangan meraih tangan Ilham, sehingga membuat langkahnya terhenti. Hal itu membuat Ilham menoleh ke arahnya, dan bersikap seperti biasa di hadapan gadis kecil itu.
"Ada apa, Asya?" tanya Ilham, merasa sangat bingung dengan apa yang akan Asya lakukan padanya.
"Pak Ilham ... jangan pergi," pinta Asya, membuat Ilham bingung mendengarnya.
Sejenak mereka saling memandang satu sama lain, dengan tangan Asya yang masih menahan lengan tangan Ilham. Lama-lama, Ilham tersadar dan merasa tidak enak dengan keadaan mereka ini. Hal itu juga mengingat karena mereka masih berada di lingkungan sekolah.
Tangannya segera melepaskan dari tangan Asya, membuat Asya merasa sedikit terkejut dan memandang dalam ke arah Ilham.
"Pak Ilham, kenapa Bapak kasar banget sama saya?" tanya Asya, merasa sedih karena hal yang Ilham lakukan dinilai kasar baginya.
Ilham menghela napasnya kasar, sembari menepuk keningnya dengan cukup keras. "Maafin saya, Asya. Saya tidak bermaksud untuk melakukan hal yang kasar dengan kamu," ujarnya.
Keheningan terjadi, bagaimanapun juga Asya sudah beranjak remaja. Bagi Ilham, gadis remaja tidak bisa menyentuhnya seenaknya saja seperti itu. Ilham bahkan tidak ingin menyentuh para siswinya ketika hendak bersalaman. Itu semua ia lakukan, karena ia memiliki batasan yang harus ia jaga di hadapan orang lain yang melihat, terutama Elma, istrinya.
Asya terlihat murung. "Maafkan saya, Pak Ilham. Jangan pergi, dan tetaplah mengajar di sekolah ini," pintanya.
Kendati demikian, Ilham tidak bisa melakukan apa yang Asya inginkan. Ia tidak bisa berlama-lama di sekitar lingkungan sekolah ini. Hal itu karena ia selalu ingat Elma di sela kesendiriannya. Ia tidak bisa berlama-lama di tempat ini. Bahkan, ia pun berencana untuk pindah dari wilayah rumahnya, demi totalitas menghilangkan perasaan sedihnya karena ditinggal Elma untuk selamanya.