“Ketika Anda memberi sesuatu kepada orang lain dengan ikhlas, maka pada hakikatnya Anda sedang memberi kepada Anda sendiri”. (Erbe Sentanu, Quantum Ikhlas)
Betapaberuntungnya kami. Belum punya kebun tetapi berulang kali merasakan hasil panen, seperti bengkoang, talas, ubi, singkong, pisang, dsb, dalam jumlah yang banyak, dan terpenting gratis! Aneka hasil kebun kami peroleh setiap dua-tiga bulan dan dinikmati bukan hanya oleh kami sekeluarga. Tak jarang saking berlimpahnya, teman-teman di omprengan atau tempat kerja ikut “kecipratan” rezeki tersebut. Suatu berkah yang patut disambut suka cita dan rasa syukur. Kebahagiaan menjadi berlipat-lipat, saat panen tiba di kala stock makanan di rumah menipis. Alhamdulillah...
Memaknai anugerah di atas, saya selalu ingat kutipan kalimat pada awal tulisan ini dan nasihat seorang ustadz tentang rezeki; datang dari pintu dan arah mana pun, tanpa disangka-sangka. It’s true!
Bagaimana kami bisa seberuntung itu? Rezeki merupakan salah satu perkara yang Allah tetapkan bagi umat-Nya, namun perlu kesungguhan doa dan ikhtiar untuk “menghadirkannya”. Kejadian di bulan Ramadhan dua tahun lalu, mengawali mengalirnya salah satu rezeki kepada kami hingga saat ini. Ujian keikhlasan Sang Maha Pengasih dan Penyayang yang berakhir indah. Selain itu, menjadikan sikap berbagi sebagai contoh baik anak-anak kami dalam meniti hidupnya kelak. Insha Allah...
Hari itu, saya memperoleh sebuah bingkisan kurma. Tampilannya menggiurkan dan sepertinya, saya belum pernah mencicipi kurma jenis itu. Packaging-nyabegitu menawan sehingga jangankan memakannya, membukanya saja kok rasanya sayang. Siapa pun yang mendapat hadiah seistimewa itu pastilah senang, namun entah mengapa hati kecil saya tergerak untuk menghadiahinya kepada orang yang “lebih tepat”. Tanpa bermaksud tidak menghargai niat baik si pemberi bingkisan, apalagi menolak rezeki. Hal tersebut terdorong semata-mata karena keinginan saya berbagi kebahagiaan kepada seseorang yang spesial di bulan penuh rahmat tersebut. Sesederhana itu.
Sesampainya di rumah menjelang saat berbuka puasa, tidak seperti biasanya kaki saya melangkah ringan menuju kebun yang terletak di samping rumah. Tampak seorang lelaki paruh baya sigap membersihkan kebun. Meski hari beranjak senja, namun ia tetap tekun melakukan pekerjaannya. Saya menyapa dan memperkenalkan diri sebagai salah satu penghuni rumah yang berada disamping kebun yang ia olah. Mang Iing namanya; ia berperawakan kecil-berkulit putih-berotot (sebagian besar pekerjaannya menuntut kekuatan fisik seperti menggali dan mencangkul). Ramah, senang bercerita, dan kadang berbahasa Sunda dengan intonasi kelewat cepat (saya sering meminta ia mengulangi apa yang dikatakan). Percakapan kami mengalir begitu saja, bak kerabat yang telah lama kenal.
Pengetahuan dan passion Mang Iing dalam mengolah lahan membuat saya kagum. Tak heran, kebun yang ia garap menjadi subur dan produktif; rutin panen dengan kualitas baik. Satu hal yang membuat nurani saya tersentuh, ia tetap menjalankan ibadah puasa Ramadhan dan Senin-Kamis meski bekerja di kebun sepanjang hari. Sebuah tanggung jawab dan perjuangan luar biasa sebagai seorang kepala keluarga dan muslim yang baik. Bagi saya, Mang Iing telah “lulus ujian”-Nya. Saya tertegun sejenak dan berkata dalam hati,“Nah, ini dia orangnya!”. Ya, Mang Iing adalah orang “terpilih” versi saya; orang paling tepat menerima bingkisan tersebut. Ia menyambutnya dengan begitu bahagia; kemudian membalasnya dengan ucapan terima kasih serta sebait doa untuk kami sekeluarga (doa orang berpuasa merupakan salah satu doa yang dikabulkan oleh Allah SWT, aamiin ya robbal alamin...). Sejak hari itu, layaknya saudara, kami saling memberi bahkan sesekali saling mengunjungi. Pintu rezeki kami terbuka lebar dan seketika rezeki mengalir hingga saat ini. Alhamdulillah...
Di lain waktu setelah Ramadhan berlalu, Mang Iing mengungkapkan betapa nikmatnya menyantap kurma tersebut setiap berbuka puasa. Saya penasaran bertanya,”Memang, kurmanya masih ada Mang? Ia menjawab dengan logat Sundanya yang kental,”Masih. Kurmanya enak dan harganya pasti mahal. Jadi, saya makan sedikit-sedikit saja.” Ehmmm... tak disangka, bingkisan tersebut bukan hanya “menghadirkan” rezeki, melainkan juga kebahagiaan tak ternilai bagi Mang Iing. Wahhh, senangnya!
Menurut para ahli, banyak manfaat yang diperoleh dari memberi (giving), di antaranya memperkaya diri. Ibarat “umpan”, memberi akan memancing datangnya rezeki. Bahkan, terkadang balasan atas memberi berjumlah lebih banyak; justru di saat kita ikhlas memberi dan pahala dari Allah SWT bukan lagi menjadi tujuan utama. Manfaat lainnya adalah hidup kita terasa lebih ringan dan bahagia. It’s true!
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H