Sepertinya, masyarakat sedang mengalami kegalauan serentak -- tidak hanya pada sektor percintaan, Â pola konsumtif, atau bisnis, tapi juga urusan perkebunan.Â
Belum selesai masalah perubahan iklim, perkebunan  di Indonesia, mau tak mau, harus berhadapan dengan masalah yang lebih  baru lagi, yaitu era serba mutakhir dan generasinya. Jika para pelaku masih santuy dengan julukan "gagal paham teknologi", maka perkebunan Indonesia akan hanya tinggal kenangan.Â
Penggagas Acara BUN Award 2019, Media Perkebunan, menyelenggarakan pemberian apresiasi kepada pelaku perkebunan Indonesia, 19 Desember 2019, Hotel Aston Premeire, Jakarta, bertajuk "Bicara Perkebunan Indonesia".Â
Media perkebunan tidak sekadar memberikan penghargaan, acara tersebut juga diselenggarakan untuk merayakan Hari Ulang Tahun Perkebunan Indonesia, 10 Desember. Tanpa lupa menghadirkan lima narasumber beserta topik permasalahan perkebunan di Indonesia.
Bapak Fitrian  Ardiansyah, Chairman of Inisiatif Dagang Hijau (IDH) mengangkat sembilan permasalahan (benih berkualitas, sumber daya manusia dan mitra, lahan tumpang tidih, sinergi kelompok, akses ke pasar, dorongan prototyping, akses pembiayaan, hutang petani, dan aspek lingkungan), semuanya berhubungan dengan petani dan Bumi Pertiwi, semestinya menjadi cinta tanpa syarat.Â
Secara personal, Bapak Fitrian bercerita adanya kesenjangan antara komoditas sawit dan sumber hasil alam lainnya. Menurut Bapak Fitrian, tenaga penyuluhan di lapangan hanya menguasai sawit, dibandingkan tanaman lain. Padahal ada pasokan lain yang juga penting, seperti rempah-rempah yang sedang digerakkan menghasilkan benih-benih atau pupuk alami berkualitas. Sawit, sawit, dan sawit, lagi lagi sawit, mengapa tidak setara memperlakukan sumber hasil alam berpotensi lainnya, yang juga mampu memajukan perkebunan Indonesia?
Jika pengetahuan bertambah, benih juga harus diperhatikan. Pupuk berkualitas, pengolahan dan penyuluhan yang baik, serta pembiayaan yang bisa langsung ke tangan petani. Tidak hanya soal pendanaan, melainkan kondisi pasar juga perlu disampaikan petani sehingga produksi ekspor sesuai standar pasar dan tidak dikembalikan kepada petani. Â
Sebelum abad ke-17, penjajah asing dari "negeri-negeri di atas angin", bersusah payah mencari rute ke Nusantara, hanya untuk mendapatkan rempah-rempah, yaitu cengkeh dan pala, serta lada yang asal mulanya dibawa oleh pedagang India pada abad ke-1. Namun, kenangan bersama 'mantan' pada era kolonial, lebih ditonjolkan. "Jika tidak ada perkebunan, kita tidak bakal dijajah mereka," ucapnya seraya tertawa. Kamu pasti tahu maksud.'kan' maksudnya?Â
Sebelum sesi refleksi, yang menarik adalah ucapan Bapak Dr. Ir. Purwadi, MS, Rektor Instiper Yogyakarta, tahun 2009 -- 2019. Beliau bilang, "Masa Indonesia berkelimpahan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang murah, telah selesai!"